Mohon tunggu...
Farah Aliyah Syahidah
Farah Aliyah Syahidah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Long life learner

Pembelajar yang berkecimpung di dunia psikologi pendidikan, literasi, bisnis dan kerelawanan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Kenapa Ya Aku Malas dan Mudah Menyerah?

4 Juli 2021   00:08 Diperbarui: 4 Juli 2021   00:19 236
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Assalamu'alaikum, sobat. Selamat malam, waktu menunjukkan pukul 23.09 sementara aku masih berkutat pada imajinasi dan ide-ide yang begitu liar. Terpaksa, namun dengan senang hati akhirnya kupotong ranting-ranting itu menjadi sebuah tulisah yang semoga membantu kita dalam sedikit memahami diri sendiri karena sejatinya, yang paling memahami kita tentunya Allah SWT. Yups, kali ini aku akan review sebuah buku yang semoga bermanfaat untuk kita. Sejujurnya, buku ini kubeli secara impulsif sekitar satu atau dua bulan lalu di Gramedia karena emosiku yang sebenarnya tidak bisa meledak, perkara suatu masalah.

Sepulang mengajar, aku sengaja pulang terlambat dan memutuskan untuk ke Gramedia, entah mengapa intuisiku menggerakkan kakiku ke rak psikologi dan pengembangan diri, sampai akhirnya aku menemukan beberapa pilihan buku yang sebetulnya cukup sulit untuk kupertimbangkan hingga aku membeli tiga buku sekaligus dan segera detik itu juga kantong ATM ku berteriak amuk. Salah satu yang menarik minatku adalah buku self theories karangan Carol Dweck, psikolog Amerika dengan gelar Ph.D. yang salah satu bukunya sudah tidak tersegel lagi, kucoba untuk membaca kata pengantar dan bab pertama, ya, di sana ada beberapa konsep tentang pembelajaran, di tambah di cover buku yang menuliskan bahwa tulisan buku ini berdasarkan riset psikologi terbaru. Maka kuputuskan segera membelinya karena merasa sangat membutuhkannya.

Kegagalanku dalam mengajar anak-anak di sebuah lembaga informal, membuatku banyak belajar dan instropeksi, dari enam anak yang menjadi muridku, tidak ada satupun yang lulus untuk melanjutkan kelas ke jenjang yang lebih tinggi, meski ada faktor pandemi, dimana sistem pembelajaran beralih ke daring yang menyebabkan pembelajaran di rumah tidak terkontrol, tapi tidak dapat dipungkiri pasti ada kekecewaan luar biasa di hati setiap orang tua murid karena telah mengeluarkan biaya yang tidak sedikit, maka aku memutuskan untuk membeli buku ini, guna memperbaiki sistem pembelajaran di kelas.

Benar saja, bahkan sebelum aku menyelesaikan buku ini, aku mendapatkan banyak pelajaran berharga yang membuatku sering berhenti sejenak untuk merefleksikan pengalaman-pengalaman dimasa lalu yang sebenarnya memberikan luka begitu dalam bahkan trauma, namun berubah menjadi sebuah ketabahan dan kekuatan untuk terus bertumbuh. Petualangan buku ini tentu saja dimulai dari bab pertama, bab yang menceritakan hal-hal remeh dan kreatif yang tidak akan pernah dipilih orang-orang pada umumnya.

 Hal yang cukup mengejutkan adalah tentang sebuah pilihan yang harus dilakukan oleh pemain bola saat hendak melakukan tendangan finalti. Mayoritas pemain bola, akan memilih menendang bole ke sisi kiri maupun kanan gawang dan atas gawang, hamper tidak ada yang memilih sisi tengah gawang, padahal jika dipikir secara logika, justru hal inilah kadang yang perlu dilakukan, melakukan sesuatu yang tidak terpikirkan pada orang lain yang justru membuat probabilitasnya lebih besar. Namun, pemain bola tidak memilih pilihan tersebut, hal itu diibaratkan seperti kita yang tidak ingin terlihat bodoh dengan seolah memilih hal-hal remeh  yang ada dalam hidup kita. Kita cenderung memilih suatu pilihan atau tindakan untuk terlihat pintar.

Ya, pada akhirnya kebanyakan dari kita melakukan suatu hal hanya karena ingin terlihat begini dan begitu, ingin mendapat validasi ini dan itu. Maka inilah perjalanan buku ini, sebuah penelitian eksperimen yang dilakukan oleh Dweck, membagi dua kelompok pelajar, yakni pelajar yang selalu mendapat nilai tertinggi di sekolah dan kelompok pelajar yang tidak pernah mendapat nilai tinggi di sekolah. 

Pada penelitian eksperimen ini dilakukan uji coba dengan cara anak-anak diberikan soal-soal yang awalnya mudah, kedua kelompok ini memberikan respon sama, dapat menjawab soal dengan baik. Namun, saat level soal ditingkatkan ke level soal yang lebih tinggi, tanpa memberi tahu mereka, responnya berubah. Anak-anak yang mendapat nilai tinggi di sekolah, cenderung memberikan respon tak berdaya, dimana mereka menyerah terhadap soal-soal tersebut. Sementara pada anak-anak biasa, mereka justru terus berusaha memecahkan soal-soal yang sulit, bahkan soal yang seharusnya ada di tingkat yang lebih tinggi.

Tidak berhenti di sana, Dweck kemudian mengujikan apa saja yang digumamkan kedua kelompok ini saat mengerjakan soal, dan sangat mengejutkan bahwa anak-anak yang mendapat nilai tinggi di sekolah cenderung bergumam kata-kata seperti ingin menyerah, sementara anak-anak biasa cenderung bergumam hal-hal seperti mereka tidak takut gagal, gagal adalah sahabat mereka, mereka akan terus mencoba. 

Di sinilah riset Dweck dimulai, Dweck mengumpulkan data-data berdasarkan wawancara, observasi dan lain sebagainya, hingga pada kesimpulan bahwa yang membedakan kedua kelompok anak-anak ini adalah karena kelompok anak-anak cerdas cenderung mempercayai teori kecerdasan entitas, dimana kecerdasan bersifat tetap, permanen dan tidak dapat berubah sehingga menyebabkan respon ketidakberdayaan, sementara anak-anak dengan prestasi biasa bahkan rendah cenderung memercayai teori inkremental dimana ia selalu bisa berubah suatu hari nanti ke arah yang lebih baik dan cenderung berorientasi pada penugasan.

Di sini kemudian Dweck terus mengulik hal-hal yang menyebabkan anak memiliki pemikiran demikian, dan bagaimana cara menanganinya, di sini kemudia Dweck memaparkan penjelasan bahwa kita seringkali memberikan pujian yang berlebihan pada kemajuan anak yang tidak signifikan atau terlalu banyak memberi kritik tanpa adanya pujian. Banyak pujian yang banyak motivator katakana akan memberikan kepercayaan diri justru melemahkan mental anak dan malah memberikan respon tidak berdaya. 

Pujian terkadang memberikan ilusi atau bias kemampuan pada seseorang sehingga membuat seseorang memercayai teori entitas. Sehingga Dweck mengatakan bahwa pujian dari kemajuan anak harus disertai dengan pujian terhadap strategi apa yang baik dan membuat anak sukses membuat sebuah kemajuan. Hal inilah yang nantinya membantu anak untuk terus mengevaluasi diri mengenai pembelajaran dirinya di masa yang akan datang secara mandiri, dan bukan hanya memikirkan tentang harga diri yang akan jatuh ketika mereka gagal dalam melakukan sesuatu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun