Mohon tunggu...
Faraby Gustafa
Faraby Gustafa Mohon Tunggu... -

Saya hanya manusia biasa.. dan saya tetap saya dan itulah saya

Selanjutnya

Tutup

Politik

“Meretas Perdamaian Aceh; menyisakan darah dan air mata” (Sebuah catatan Tragedy Kemanusian menuju Perdamaian dan penyelesaian yang Hampa

11 Maret 2011   20:44 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:52 279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Masih ingatkah kita kasus pembantaian tgk Bantaqiah,

Simpang KKA, Idi Cut, tragedy Rumoh Gedong, gedung KNPI dan banyak lainnya?

Semua itu adalah bagian dari bentuk kejahatan kemanusiaan di Aceh!!!

Air mata dan darah yang mengalir di bumi Serambi Mekkah adalah, bahagian sejarah kelam tragedi manusia dan kemanusiaan. Fenomena yang tak lazim dan tidak wajar, telah terjadi saban hari. Ada saja orang yang secara tiba-tiba kehilangan nyawa karena di bunuh dan di bantai, di tangkap, di culik, dianiaya, bahkan diperkosa dan harta bendanya di jarah, serta tempat tinggalnya dibakar semasa itu. Kejadian yang sama, terjadi hingga ribuan kasus dan mutlakmusti dicatatkan sebagai sejarah kelam bagi Aceh. Semua berbalut sebagai bentuk kekerasan terhadap kemanusiaan yang berlangsung sekurang-kurangnya selama tiga dasawarsa terakhir, disaat Aceh dinyatakan sebagai daerah konflik. Ekses konflik menjadikan puluhan ribu nyawa melayang, kerugian yang diderita masyarakat tidak terhitung lagi jumlahnya, baik secara materi maupun immateri. Ribuan perempuan menjadi janda seiring ribuan anak harus menjadi yatim-piatu karena kehilangan orang tuanya. Tragedy itu terjadi secara sporadis, semenjak Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 5 Desember 1976 memproklamirkan dirinya sebagai gerakan perlawanan bersenjata, untuk memisahkan Aceh dari Republik Indonesia (RI). Dimana disambut dengan respon agresif dari Pemerintahan Indonesia dengan melakukan berbagai operasi penumpasan,melalui Operasi Jaring Merah, Operasi Wibawa, Sadar Rencong I dan II, Cinta Meunasah, sampai Darurat Militer I dan II. Alhasil, berbagai bentuk pelanggaran HAM pun akhirnya menjadi-jadi.Dua paragraf diatas merupakan sebuah prolog awal bagi kita semua, untuk bersama-sama mengingat kembalibahwasannya, konflik Aceh selama tiga puluh tahun terakhir, telah sukses menjadikan ribuan orang menjadi korban pelanggaran HAM,menjadikan Inong Aceh sebagai janda, serta anak-anak menjadi yatim dan piatu. Selain itu, kehidupan masyarakat menjadi tidak normal, rasa takut dan trauma menjadi makanan keseharian yang harus ditelan paksa kendatipun pahit, ribuan orang terpaksa harus mengungsi,hingga arus eksodus besar-besaran kian menjadi-jadi untuk menghindarkandiri mereka menjadi korban selanjutnya. Kesemuanya itu merupakan tragedymanusia dan kemanusiaan dalam catatan sejarah kelam Aceh maupun Negara Indonesia.

Atas nama kemanusiaan, tentu saja setiap orang akan mengutuk berbagai tindakan biadab yang terus berlangsung di Aceh ketika itu dan tidak akan membiarkan darah terus mengalir di bumi Aceh, sehinggainkulminasinya berwujud pada kemauan kuat yang menyatakan; isak tangis keluarga korban atas kepergian keluarganya yang tidak wajar akibat konflik, harus segera dihentikan!

Harapan besar rakyat Aceh untuk bisa keluar dari ladang kekerasan ini-pun, akhirnya bersambut dandiawalidengan adanya pembicaraan di khalayak ramai, baik didalam negeri maupun dunia internasional. Setidaknya terdapat dua issue utama dalam setiap pembicaraan yang dilakukan, yakni: Issuepertama, teriakan dan tekanan kuat untuk mencabut status Daerah Operasi Militer (DOM)di Aceh selama kurun waktu 1989 dan 1998. Alasan dari pencabutan DOM ini, didasarkan pada fakta atas terjadinya praktek pelanggaran Hak Azasi Manusia di Aceh yang harus segera diakhiri. Alhasil, Pemerintah Indonesia melalui Panglima TNI, mencabut status DOM bagi Aceh dengan wujud penarikan pasukan, sekaligusdalam prosesnya, Wiranto meminta maaf kepada rakyat Aceh.

Berselang beberapa tahun, nyatanya konflik kembali berlanjut dengan eskalasinya yang kian meningkat dan berakibat pada jatuhnya korban.Aceh-pun kembali menjadi ladang kekerasan padaimplementasi pemberlakuan Darurat Militer dan Sipil di Aceh, yakni semasa pemerintahan Megawati.

Rasa khawatir melihat Aceh terus berkonflik dengan diikuti berbagai bentuk kekerasan terhadap kemanusiaan, tentunya kian berimplikasi buruk bagi kehidupan social-politic, ekonomi serta budaya Aceh. Disisi lain, ekses konflik tentusaja mengakibatkan kerugian material dan imaterial yang tidak sedikit nilai nominalnya, serta memporak porandakan kembali struktur social kehidupan rakyat Aceh yang mulai tertata.

Atas dasar semua ini, cukup sudah alasan yang diperlukan dalam memperkuat peluang mendorong terselenggaranya kesepakatan Damai di Aceh. Cara ampuh yang di pakai sebagai Issue Kedua, akhirnya tidak lain yakni, dengan mengkampanyekan bahwa di Aceh telah terjadi kekerasan dalam bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia sepanjang periode konflik berlangsung. Dengan mengunakan issue pelangaran Hak Asasi Manusia ini,kampanye menjadi massive dan menjadi komsumsi publik ditingkat lokal, nasionalhingga internasional.

Untuk memutuskan rantai kekerasan di Aceh pada masa konflik, maka pihak internasional melaluiHenri Dunant Centre (HDC) memfasilitasi pertemuan antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka. Karena pada asumsinya,mereka meyakini benar bahwa kekerasan bisa di hentikan, sehingga diharapkan tidak akan ada lagi permusuhan antara kedua belah pihak.

Dengan perintisan kesepakatan untuk mengakhiri konflik bersenjata, yang pada waktu itu Pemerintah Indonesia di bawah Kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid,hasilnya dapat diterima secara positif oleh pihak GAM. Selain itu, banyak juga pihak internasional yang memberikan respon positif untuk mendukung berakhirnya konflik di Aceh.

Pemberhentian kekerasan antara Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka atau yang di sebut dengan Jeda kemanusiaan pada tahun 2001,nyatanya tidak berlangsung lama dan menemui kegagalannya dengan pemberlakuan Keppres No. 28 tahun 2003 pada tanggal 19 Mei 2003.Materi muatannya adalah, sebuahPernyataan Keadaan Bahaya Dengan Tingkatan Keadaan Darurat Militer di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.Setelah itu, di lanjutkan juga dengan PenurunanstatusKeadaan Bahaya Dengan Tingkatan Keadaan Darurat Sipil. Kegagalan Jeda kemanusiaan ini dan dengan di berlakunya DaruratMiliter dan Darurat Sipil,maka angka kekerasan dan pelanggaran HAM justru terus bertambah.

Aceh menjadi terpuruk akibat praktek kekerasan dalam bentuk pelanggaran HAM melalui kebijakan tersebut. Tak cukup disitu, karena pada tanggal 25 desember 2004,Provinsi Aceh dihantaman oleh bencana Gempa dan Tsunami.Sehingga dalam hitungan menit, ratusan ribu jiwa manusia melayang menjadi korban gelombang tsunami, yang kian menambah luka dan derita bagi rakyat Aceh. Dengan dua tragedy yang maha dasyat itu, telah menempatkan Aceh menjadi daerah dengan persoalan yang semakin kompleks.

Bersandar pada kondisi inilah maka, tidak ada alasan untuk tidak mewujudkan Perdamaian bagiAceh, apalagi seluruh mata dunia Internasionaltelah tertuju ke Aceh.Rasa empati dari dalam dan luar negeri telah mendorong percepatan dan membuat kans tersendiri yang cukup besar bagi Aceh untuk meretas solusi penghentian konflik yang berkepanjangan secara permanent.

Dengan campur tangandari pihak Internasional kembali, dalam hal ini oleh Crisis Management Initiative (CMI) yang di pimpin oleh mantan Presiden Firlandia Marthi Arthisari,untuk kembali mempertemukan Pemerintah Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka, makaperundingan demi perundingan terus di lakukan oleh kedua belah pihak yang di fasilitasi oleh pihak CMI.Sehingga pada tanggal 15 Agustus 2005, terjadilah sebuah kesepakatan bersama melalui penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) Perdamaian untuk mengakhiri konflik bersenjata di Aceh. Point Kesepakatan yang dituangkan dalam MoU,akhirnya menjadi acuan untuk membangun kembali Aceh pasca konflik dan Tsunami.

Semenjak perjanjian damai di tanda tangani itulah perang di Aceh pun berakhir, hal ini diikuti dengan ditariknya pasukan TNI/POLRI dan Penyerah senjata GAM untuk di musnahkan. Cenda dan tawa rakyat Aceh mulai terdengar kembali, karena perang telah berhenti.Maka dengan sendirinya, hantu yang bernama kekerasan terhadap kemanusiaan berakhir. Banyak orang yang kembali pulang dari tempat pengungsian dan ada orang yang di sibukkan kembali mencari anggota keluarga yang hilang dan di culik pada masa konflik. Anak-anak yang yatim, tetap menjadi yatim dan janda tetap menjadi janda, ini adalah residu konflik.

Pertanyaan mendasar yang harus kita cermati kembali secara bersamaadalah mengenai, bagaimana nasib korban pelanggaran HAM di Aceh pasca konflik dan perdamaian? Apakah kita akan menerimanya sebagai hal yang wajar atas kematian dan pergorbanan mereka atau kita akan menganggapnya sebagai kecelakaan sejarah saja, tanpa ada proses pengungkapan kebenaran dan keadilan bagi para korban?Kendatipun penyelesaian persoalan HAM,sesungguhnya telah tertulis dalam MoU pada point 2.2. dan Point 2.3 dan tentunya mengikat kedua belah pihak, baik RI maupun GAM. Selain itu, ketentuan ini telah di atur lebih lanjut dalam Undang-Undang No. 11 Tahun 2006 Tentang Pemerintahan Aceh, yang sekaligus merupakan derivasi kebijakan dari MoU Perdamaian, terutama Pasal 228 ayat (1)dan (2), Pasal 229 ayat (1) s/d (4) serta pasal 230.

Darah dan air mata akibat kekerasan di Aceh memang telah berhenti mengalir seiring perdamaian terajut di Aceh. Akan tetapi, tragedimanusia dan kemanusiaan yang suram dalam sejarah Aceh itu tidak akan dilupakansepanjang hidup parakeluarga dan korban pelanggaran HAM, yang hingga saat ini terus menunggu pengungkapan kebenaran dan keadilan. Harapan untuk mendapatkan keadilan dan kebenaran ini, terus merekanantikan dengan mendorong lahirnya itikad baik dari para pengambil kebijakan untuk mengimplentasi point MoU dan Pasal UUPA, yang menyangkut dengan penyelesaian HAM.

Sehari, dua hari, seminggu, sebulan, setahun, hingga 4 tahun telah berlalu, namun pada kenyataannya itikad baik itu tidak jua kunjung datang dan berpihak terhadap para korban dan keluarganya. Hingga hari ini, belum ada instrument yang di bentuk untuk menyelesaian persoalan HAM, baik yang namanya pengadilan HAM maupun Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Dengan demikian, dapat kita asumsikan bahwa penyelesaian persoalan HAM bukanlah agenda utama bagi Pemerintah Aceh, lebih-lebih Pemerintah Republik Indonesia. Sehingga,sepanjang empat tahun ini, pihak keluarga dan Korban pelanggaran HAM hanya menunggu harapan penyelesaian yang hampa….!!! Maka mutlak untuk kembali kita catat semua ini, sebagai lanjutan perjalanan suram tragedy manusia dan kemanusiaan di Aceh. Wallahualam

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun