Mohon tunggu...
Abdullah Faqih
Abdullah Faqih Mohon Tunggu... Petani - Mahasiswa Universitas Gadjah Mada

Tertarik dengan isu masyarakat lokal.

Selanjutnya

Tutup

Gadget

"Bertani dengan Teknologi": Anak Muda dan Modernisasi Pertanian Kita

22 Mei 2019   21:25 Diperbarui: 22 Mei 2019   21:43 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Kompas, 2018

Selama empat dekade terakhir, struktur perekonomian Indonesia telah banyak berubah: dari yang semula sangat mengandalkan sektor pertanian menjadi sangat bertumpu pada sektor industri. Hal itu terlihat dari pesatnya pertumbuhan industri, tetapi tidak dibarengi dengan bertumbuhnya sektor pertanian. Pada periode 1962 hingga 2011, sektor industri di Indonesia, baik manufakrur maupun non-manufaktur, mampu memberikan kontribusi pada total Produk Domestik Bruto (PDB) dari sebesar 11,9% menjadi 47,2%. Di periode yang sama, kontribusi sektor pertanian pada PDB justru menurun dari 56,3% menjadi 14,7%.

Penurunan produktivitas pertanian tidak terjadi tiba-tiba; ada berbagai persoalan yang menyertainya. Masalah alih fungsi lahan dinilai menjadi salah satu faktor utama penyebab menurunnya produktivitas pertanian. Di tahun 2018, luas lahan pertanian kita hanya tinggal 7,1 juta hektar. Padahal, di tahun sebelumnya masih ada 7,75 hektar lahan yang tersisa.

Munculnya fenomena gerontrokasi yang ditandai dengan dominannya sumber daya manusia usia lanjut di sektor pertanian juga menjadi faktor determinan penyebab persoalan tersebut. Saat ini, hampir 61 persen petani kita berada pada kelompok umur 50 tahun ke atas. Mereka kebanyakan adalah lulusan SD, sedangkan sebagian kecil lainnya mengenyam pendidikan SMP. Sementara itu, anak muda sama sekali tidak menaruh minat pada sektor ini, karena dirasa tidak lagi menjanjikan.

Di samping itu, praktik pertanian kita saat ini juga masih dikerjakan dengan cara-cara tradisional. Para petani belum terpapar modernisme akibat ketidakmampuan mereka memiliki dan mengendalikan alat-alat pertanian modern.

Persoalan tersebut adalah ironi, mengingat sektor pertanian selama ini telah menjadi salah satu pilar paling penting bagi perekonomian Indonesia. Sektor ini juga menjadi penopang kebutuhan pangan nasional sekaligus sumber pendapatan dan kesempatan kerja bagi penduduk pedesaan yang sebagian besar adalah petani. Melihat arti penting sektor pertanian bagi hajat hidup masyarakat, Kementerian Pertanian (Kementan) tidak membiarkan kondisi tersebut berlarut-larut. Berbagai langkah strategis ditempuh dalam rangka membangkitkan kembali sektor pertanian yang sempat terpuruk. Salah satu bentuk kebijakan Kementan yang dampaknya paling terlihat adalah upaya modernisasi usaha pertanian.

Sejak tahun 2015, Kementan melakukan refocusing anggaran dengan memberikan porsi lebih besar pada pengadaan alat dan mesin pertanian (alsintan) modern untuk petani. Alsintan tersebut diberikan secara cuma-cuma, mulai dari alsintan yang berfungsi untuk mengelola lahan sampai dengan panen dan paska-panen. Jenis-jenis alsintan pun bermacam-macam: ada traktor roda dua, traktor roda empat, pompa air, rice transplanter, cultivator, hingga excavator. Dalam praktiknya, Kementan juga melakukan pendampingan, monitoring, dan evaluasi untuk memperkecil kendala-kendala teknis yang mungkin dihadapi petani selama mengoperasikan alsintan.

Selama rentang tahun 2010-2014, sudah ada lebih dari 50.000 unit alsintan yang didistribusikan oleh Kementan. Di periode berikutnya, jumlah bantuan alsintan terhitung lebih masif, yaitu di tahun 2015 sejumlah 157.493 unit; tahun 2016 sejumlah 110.487 unit; tahun 2017 sejumlah 321.000 unit. Jumlah tersebut diperkirakan terus meningkat di tahun-tahun berikutnya, seiring dengan tingginya komitmen Kementan untuk mentransformasi pertanian Indonesia dari tradisional menuju ke pertanian modern. Upaya tersebut dinilai sebagai momen bersejarah, sebab baru kali ini Kementan terbukti benar-benar menunjukan upaya serius untuk memodernisasi sektor pertanian Indonesia --melalui distribusi alsintan dalam jumlah besar.

Kerja keras Kementan pun berbuah manis. Ada jutaan petani di seluruh Indonesia yang kini terpapar sistem pertanian modern. Melalui modernisasi pertanian itu, para petani dapat melakukan efisiensi pada usaha pertaniannya --sejak periode pengolahan lahan hingga periode panen dan paska-panen. Sebagai misal, penggunaan mesin transplanter atau metode jarwo transplanter untuk penanaman padi yang menggantikan metode tanam manual, telah berhasil membantu petani mengefisiensi biaya tanam sekaligus meningkatkan produktivitas padi.

Para petani di Kabupaten Kubu Raya, Kalimantan Barat contohnya, mereka kini mampu mengefisiensi biaya tanam dari Rp1,8 juta per hektar menjadi Rp1,4 juta per hektar. Produktivitas padi mereka juga naik dari 3,3 ton per hektar menjadi 4,7 ton per hektar.

Hal serupa juga dialami oleh para petani di Kabupaten Subang, Jawa Barat. Dengan beralih dari tanam manual ke jarwo transplanter, mereka dapat menghemat ongkos tanam dari Rp3,5 juta per hektar menjadi Rp1,8 juta per hektar. Rata-rata produktivitas padi yang dihasilkan dari peralihan metode tanam tersebut adalah sebesar 7,6 juta ton per hektar. Peningkatan produktivitas padi juga dialami oleh para petani di Kabupaten Klaten, Jawa Tengah. Untuk pertama kalinya, mereka dapat memanen padi sampai 10 juta ton per hektar, berkat modernisasi sistem pertanian yang digagas oleh Kementan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Gadget Selengkapnya
Lihat Gadget Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun