Juga beberapa di antara mereka memiliki paham ateis (tidak percaya dengan konsep ketuhanan) dulunya, hingga menjadi agnostic (tidak percaya dengan konsep agama). Setiap hari berbincang soal itu. So, bisa dinilai kualitas ibadahnya.Â
Setiap malam sabtu dan malam ahad, mereka pesta anggur. Di minum seperti biasa. Dan beberapa di antara mereka ada yang mulai narkoba. Saya sudah berpikiran tidak beres. Sepertinya bukan tempat seperti ini yang saya butuhkan. Seakan Allah menegur, "Kamu harus belajar agama lebih dalam".
Akhirnya saya putuskan untuk berhenti kuliah di Jogja dengan pergaulan yang seperti itu. Tapi, jangan menggeneralisasikan bahwa Jogja semuanya seperti itu. Tidak. Kebetulan saya dapat situasi yang demikian.Â
Sebenarnya ada satu lagi cerita romansa anak muda ketika berpetualang ke Boyolali. Hanya saja itu cerita kosong. Cuma soal surat yang tak sampai. Tidak penting.Â
Barang-barang sudah siap. Ingin segera cepat meninggalkan tempat itu. Menikmati obrolan ringan sebelum berangkat pergi, saya menemukan satu fakta. Ternyata, pemilik kos adalah seorang mafia. Satu hal yang membuat langkahku semakin terburu-buru.Â
Tiket kereta api sudah di tangan. Jaket hitam merek Respiro setia menemaniku berkelana. Keringat menetes di kening kepala. Muka sudah penuh dengan minyak. Membayangkan menjadi orang besar suatu saat nanti.Â
Tujuan selanjutnya adalah BOGOR.Â