Apa yang akan kau lakukan jika kau mempunyai waktu 2 jam untuk dibunuh sebelum pesawat terbang yang menjemputmu menjejak di apron ? Itu pun jika tidak ada penundaan berikutnya.
Kau membawa buku ? Menghabisi waktu dengan menghujamkan matamu pada armada aksara yang berbaris rapi di halaman-halaman putih kecoklatan ?
Kau menenteng gawai ? Memborbardir papan kunci dengan kedua jempolmu dan menghujani media sosial dengan status terkinimu ? Mencantol corong suara dan menabuh gendang telingamu dengan rentak irama dari biduan dan  kelompok pelantun kegemaranmu ?
Atau kau mau menyeruput kopi di salah satu gerai ? Berselonjor di sofa empuk ruang bertanda 'executive lounge' ? Memelototi apstv yang menayangkan warta dan pariwara ? Memandangi runway menyaksikan burung-burung raksasa aneka rupa  mendarat dan membubung ?
Atau kau mencari seorang teman berbincang - berbasa-basi tentang hujan, Lion Air hingga Jokowi ?
Atau kau ingin sepertiku yang sedang terpacak di Husein Sastranegara ? Aku ditemani Raisa. Ya, Raisa yang itu. Dia mengenakan baju ungu dan kupikir dia sedang  asyik dengan telpon genggamnya. Tapi, matanya tak pernah lepas dariku. Ya, matanya yang itu, yang indah bening.
Mata itu mengawasiku yang dari tadi manyun karena jadwal  penerbangan yang tertunda. Aku jadi malu. Kucuri pandang wajahnya, masih serupawan yang kuingat ketika terakhir kali melihatnya di sebuah bandar perbelanjaan. Keindahan yang membuatku bertanya-tanya bagaimana Tuhan bisa mencipta karya sesempurna Raisa.
Menunggu lama di bandara bisa membuatmu  sedemikian bosan hingga bertingkah seperti orang kurang kerjaan. Sementara menunggu pelantang suara menyebut nomor penerbanganmu dan memanggil naik ke wahana, mungkin khayalmu melantur  karena melihat Raisa yang memamerkan peranti komunikasi di kotak neon.
Menunggu bersama Raisa...tampaknya akan berakhir. Pengumuman dalam bahasa Inggris, Indonesia dan Sunda sudah memanggil.