Lega rasanya mendengar Joko Widodo - dan dengan kesepakatan partai pengusungnya - memilih KH Ma'ruf Amin sebagai pendampingnya dalam pemilihan presiden Indonesia tahun 2019 yang akan datang.
Akhirnya, saya bisa melihat solusi cerdas mengatasi kedunguan yang selama ini menggelayut di langit Indonesia. Saya mulai bisa berharap lagi, Indonesia masih akan melanjutkan perbaikan negeri yang - meskipun tak secepat yang diharapkan - dimotori oleh Presiden Joko Widodo.
Pasti ada, bahkan mungkin banyak, yang kecewa dengan keputusan Jokowi dan partai pengusungnya ini. Tapi, tentu juga ada sangat banyak bersukacita. Efek Ma'ruf Amin terhadap elektabilitas Joko Widodo dalam pilpres tak lama lagi tentu akan bermunculan dari lembaga survey. Itu akan memberikan indikator yang lebih baik daripada tebak-tebakan saat ini.
Salah satu alasan keberatan para pendukung Jokowi terhadap penetapan Ma'ruf Amin sebagai cawapres adalah karena hal tersebut sepertinya merupakan kompromi terhadap politik identitas yang marak digunakan dalam berbagai pilkada di negeri ini. Mereka lebih menginginkan sosok yang nasionalis. Mahfud MD - yang sampai sore tadi santer diperkirakan sebagai pilihan Jokowi - Â disebut-sebut sebagai sosok yang lebih layak mendampingi Jokowi dengan berbagai alasan yang rasional.
Sebagai seorang yang anti kedunguan, saya pun setuju seharusnya memilih pemimpin tersebut seharusnya berdasarkan pertimbangan yang rasional. Tapi, fakta menunjukkan di banyak negeri alasan rasional tak cukup untuk menjadikan seorang kandidat terbaik akan terpilih. Bahkan, di negara maju pun - seperti dicontohkan Amerika Serikat - sentimen primordial masih jadi komoditas yang laris dalam pemilu.
Kegagalan Ahok di Pilkada Jakarta cukuplah jadi "kode keras" betapa penduduk negeri ini tak bisa dirangkul dan diajak untuk membangun negeri dengan alasan-alasan rasional. Pepatah  seperti "mangan ora mangan asal ngumpul" yang tidak rasional, bisa menjadi petunjuk bahwa di negeri ini ada local wisdom yang tak selalu sejalan dengan rasionalitas.
Sebelum pengumuman cawapres sore tadi, saya sudah tak berharapan Jokowi masih akan bisa melanjutkan kepemimpinannya. Tokoh-tokoh nasionalis yang menjadi idola saya pasti akan terpental begitu diserang dengan isu-isu "kurang atau tidak mencerminkan aspirasi umat" dan sejenisnya. Jangankan tokoh nasionalis, tokoh yang dekat dengan kalangan religius saja seperti Mahfud MD (mantan idola saya) sudah langsung dipinggirkan oleh kalangan internal sendiri dengan alasan "bukan kader NU".
Sebagai pengagum Jokowi apa adanya, saya tak pernah menganggap Jokowi sangat hebat, apalagi super hebat. Karena itu, saya sangat mengerti mengapa kompromi harus diambilnya. Dan ketika Jokowi memilih KH Ma'ruf Amin, seorang religius yang tegas mendukung Pancasila dan UUD 1945, sebagai pasangannya untuk menghadapi pilpres, saya lega. Itu adalah kompromi yang patut. Bravo, Pak Jokowi!