Mohon tunggu...
Fanny F. Putri
Fanny F. Putri Mohon Tunggu... Administrasi - stay at home mom, writer, translator

a lifelong learner in the school of life

Selanjutnya

Tutup

Hobby Pilihan

Pengalaman Mendebarkan di Kaki Gunung Papandayan

13 September 2021   15:41 Diperbarui: 13 September 2021   15:45 838
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kawasan Perkemahan Papandayan, Cisurupan, Garut (dok. pribadi)

Selalu ada yang pertama.

Weekend lalu, untuk pertama kalinya dalam 35 tahun hidup, saya merasakan tidur di alam bebas. Beralaskan matras tipis di dalam tenda berukuran 2 x 2 meter, saya dan suami berkemah di kawasan kaki Gunung Papandayan, Garut, Jawa Barat. Kesannya indah dan romantis ya? Monmaap, jangan senang dulu pemirsa...

Berangkat dari Jakarta setelah makan siang, sejatinya kami belum tahu mau ke mana. Sudah kepikiran sih mau ke Garut untuk berendam air panas, tapi masih galau. Sambil jalan, saya browsing tempat-tempat penginapan, komunikasi dengan beberapa hotel untuk tanya kamar kosong dan ternyata pada penuh. Lalu tercetuslah ide cemerlang itu: kemping. Mumpung gak bawa anak-anak, saya pikir kenapa tidak. Apalagi dari info yang kami dapat, di kawasan perkemahan ada pilihan rumah pohon dan kabin juga kalau tidak mau tidur di tenda. So, gaskeunlah!

Keluar dari tol Cileunyi, waktu sudah pukul 16.30 WIB. Petunjuk dari Waze bilang jarak tempuhnya sekitar 60 km dengan waktu 1,5 jam. Selama perjalanan, mata kami dibuai oleh keindahan alam parahyangan. Pepohonan tinggi berganti bukit-bukit pasir, dilanjut sawah dan kebun-kebun warga. Sesekali kami juga ketemu pasar dan rombongan anak sekolah. Karena sudah mulai lapar, kami memutuskan mampir makan di Namina Resto, sekitar 10 km sebelum tempat tujuan.

Tuhan memang maha baik. Resto Namina ini ternyata keren dalamnya. Tema interiornya industrial gitu, dengan puluhan pot berisi bunga anggrek dan monstera. Untuk makanannya gimana? Saya pesan nasi, ayam goreng, tempe mendoan, dan tumis kangkung, semuanya juara. Ayamnya gurih dan empuk, kangkungnya hijau segar garing krenyes-krenyes, sambalnya juga enak. Dari segi harga cukup wajar, makan berdua ini kita bayar Rp 60 ribuan. Alhamdulillah sudah kenyang, kami lanjut jalan lagi.

Perjalanan lanjutan ini membuat saya was-was karena sangat minim penerangan dan banyak tanjakan terjal. Sebagai navigator amatir, saya coba memandu suami yang saya yakin sedang deg-degan juga, hehe. Sesampainya di lokasi, kami cukup terkesima dengan tempatnya. Untuk mencapai lokasi kemah, kita harus melewati jembatan kayu yang di bawahnya ada air mancur mini dan kandang kelinci (katanya). Di sana juga banyak kursi-kursi kayu untuk ngopi-ngopi cantik plus beberapa spot buatan untuk berfoto. Sudah ada 5-6 tenda yang berdiri di sepanjang bukit yang cukup berkontur ini, namun yang menarik perhatian saya adalah rumah-rumah pohonnya. Sayangnya, dengan harga sewa Rp 600 ribu, rumah pohonnya kurang terawat, kasurnya agak kotor, dan minim fasilitas, sehingga kami urung. Saya dan suami sepakat untuk kemping di tenda saja, hitung-hitung menambah pengalaman dan cerita untuk anak-anak nanti.

Dengan membayar Rp 300 ribu, kami mendapat tenda yang sudah dirakit, matras, dan dua buah kantung tidur. Tenda boleh dipasang di mana saja sesuai keinginan, kami pilih di tempat yang agak ke pinggir, yang katanya merupakan spot bagus untuk melihat sunrise. Setelah tenda berdiri tegak, hal pertama yang saya rasakan ketika masuk ke dalam tenda adalah gelap. Sambil menaruh barang-barang, saya sadar kalau matrasnya agak bau apek, tapi ketolong sama sepreinya yang lumayan wangi. Saya cek sinyal hp juga lemah. Saya mulai tertawa dalam hati, what do you expect. Namanya juga di tengah gunung, memang sensasi kembali ke alam ini yang dicari orang kota macam saya, iya kan?

Sebelum tidur, saya dan suami sempat rebahan sambil memandangi langit. Ada bulan sabit dan bintang-bintang, kontras sekali dengan sekeliling kami yang begitu gelap. Waktu sudah pukul 21.30 WIB dan udara dinginnya mulai gak santai. Kami gak bawa selimut dan riskan dengan kebersihan kantung tidur pinjaman, jadilah saya tidur pakai sweater dan mukena sementara suami cuma mengandalkan jaket dan kaos kaki. Tenda ditutup, lampu darurat saya taruh dekat kepala, bersiap-siap untuk tidur. 

Entah karena takut atau apa, malam itu saya gak bisa tidur sama sekali. Mendadak telinga saya jadi peka sekali dengan suara-suara di sekitar. Setiap mencoba merem, saya langsung melotot dan jantung melocot begitu ada suara dari luar. Mulai dari langkah kaki penjaga kemah, suara kletekan kayu bakar dari api unggun tetangga, hembusan angin dan rintik hujan, sampai yang paling ultimate adalah suara anjing berantem persis di samping tenda saya. Bernapas juga rasanya sulit, terasa sesak dan pendek-pendek. Ya Tuhan, semoga saya gak mati di sini, begitu doa lebay saya dalam hati.

Terjaga hingga pukul 01.00 WIB, saya kedinginan, kelaparan serta kehausan, dan juga kebelet pipis. Tak tahan lagi, akhirnya saya dan suami hujan-hujanan ke toilet terdekat. Kena air tambah menggigil, buru-buru balik ke tenda. Saya makan stok cemilan yang ada, minum obat flu biar ngantuk. Antara sadar dan tidur, akhirnya saya mendengar suara azan subuh. Thank God!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hobby Selengkapnya
Lihat Hobby Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun