Mohon tunggu...
fanny s alam
fanny s alam Mohon Tunggu... -

Pengelola Bandung's School of Peace Indonesia (Sekolah Damai Mingguan Indonesia Bandung) dan penggiat komunitas di kota Bandung untuk kota yang ramah bagi semua

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Quo Vadis" Toleransi Indonesia?

13 Februari 2018   08:55 Diperbarui: 13 Februari 2018   17:27 604
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber foto: hudsonvalleyone.com

Beberapa hari ini masyarakat dikejutkan dengan beberapa berita yang berhubungan dengan praktek intoleransi oleh beberapa orang tertentu. Praktek-praktek tersebut beredar secara massal, terutama di media sosial. Hari Minggu kemarin, 10 Februari, terjadi penyerangan terhadap beberapa jemaat dan satu pastur di Gereja Santa Lidwina, Sleman Yogyakarta. 

Hari sebelumnya, beredar video penolakan terhadap seorang biksu Buddha, Muryanto Nurhalim, di Legok, Banten, Tangerang karena dianggap menyalahi penggunaan tempat tinggal menjadi sarana ibadah dan dikhawatirkan menjadi media penyebaran agama Budha. Pada akhir bulan Januari, terjadi tindak penganiayaan terhadap KH Umar Basri, pengasuh pesantren Al Hidayah, Cicalengka, Jawa Barat. Semua terjadi dalam waktu relatif dekat, beruntun. Bukan kebetulan juga jika pada akhirnya banyak pikiran menghubungkan praktek-praktek intoleransi di atas dengan tahun 2018 sebagai tahun politik.

Tahun politik memang masih menjadi tahun krusial dimana para petahana saling berkampanye menggunakan isu-isu yang diharapkan dapat menggalang suara dalam pemilu, terutama pemilihan kepala daerah pada 2018 ini. Salah satu isu yang paling krusial untuk terus diangkat adalah isu agama. Para petahana menyadari bahwa mengelaborasi isu agama dalam program-program kampanyenya merupakan salah satu "selling point" dalam memenangkan suara masyarakat, terutama secara psikologis isu isu agama akan selalu mendapatkan dukungan secara tanggap emosional dari masyarakat (Hidayat, Komarudin, 2017).

Tetapi, di luar masalah yang melingkupi tahun politik ini, apakah selalu pada akhirnya toleransi yang akan dikorbankan, terutama mengorbankan hak-hak beragama dan kepercayaan masyarakat minoritas? Apakah situasi tahun politik akan selalu ditandai dengan peristiwa-peristiwa yang berhubungan dengan eskalasi tindak intoleransi dan diskriminasi terhadap kelompok masyarakat minoritas dalam beragama dan kepercayaan sehingga mampu membuat sekelompok masyarakat melakukan tindakan persekusi melawan hukum tanpa melihat hak-hak mereka yang sedang melakukan ibadah?

Toleransi Sebagai Perekat Indonesia

Kemajemukan negara kita dari latar belakang suku, etnis dan agama merupakan hal yang tak terbantahkan di Indonesia. Sejak awal berdirinya negara ini, kesadaran akan kemajemukan ini telah muncul dalam semangat persatuan untuk mengusir penjajah lewat sumpah pemuda, kongres perempuan Indonesia pertama, hingga tiba kemerdekaan Indonesia yang lalu memunculkan Pancasila dan UUD 1945 yang menjamin kehidupan masyarakat sebagai warga negara tanpa melihat latar belakang suku, etnis, dan agama yang berbeda.

 Semua dijamin negara hingga hal melakukan ibadah sesuai kepercayaan masing - masing. Pada saat itu pemerintah sadar untuk mengimplementasikan prinsip politik identitas (S. Alam, Fanny, 2017) secara proporsional karena melihat kemajemukan negara kita. Politik identitas dilakukan dengan sistem politik yang merangkul kepentingan setiap masyarakat yang berbeda kepentingan dan agama, karena itu Pancasila dan UUD 1945 tidak pernah mengelaborasi prinsip agama tertentu untuk dijadikan fondasi kebangsaan dan kenegaraan di Indonesia. 

Hal ini juga yang menumbuhkan sikap toleransi, yaitu suatu keinginan untuk menerima perilaku dan nilai-nilai kepercayaan yang ada dan dimiliki walaupun sangat mungkin secara personal tidak sepakat akan hal-hal tersebut (Cambridge Dictionary, definition). Perkembangan negara dalam tatanan globalisasi dengan pesatnya pertukaran informasi membuat batas antar daerah bahkan antar negara menjadi sangat tipis dan untuk itu pula toleransi merupakan prinsip penting untuk melihat pentingnya melihat perbedaan satu sama lain dalam skala besar, terutama dalam agama, suku, etnis, dan budaya serta ekonomi (Gulen, Fetullah, dikutip S. Alam, Fanny, 2017) melibatkan nilai-nilai kemanusiaan universal untuk kemajuan masyarakat di negara kita dengan mempertimbangkan potensi-potensi konflik yang dapat muncul karena perbedaan-perbedaan di atas (S. Alam, Fanny 2017). 

Tidak dapat disangkal bahwa menjaga toleransi dalam keadaan negara multi dimensi dalam banyak segi ini bukan perkara mudah, apalagi ketika hal tersebut muncul tepat di tahun politik. Hal-hal ini yang secara dominan mudah luput dari para kandidat petahana, ditambah kondisi konflik yang melibatkan perilaku intoleransi dan diskriminasi terhadap kelompok minoritas beragama.

Quo Vadis Toleransi Indonesia?

Kesadaran pentingnya menjaga toleransi di negara ini perlahan pupus, dan kejadian-kejadian yang disebut di atas semakin memperkuat pemikiran ekspos penguatan kelompok-kelompok radikal mengatasnamakan agama untuk merepresi kelompok-kelompok minoritas beragama dan kepercayaan. Sangat disayangkan karena kejadian-kejadian tersebut terjadi di daerah-daerah yang relatif sesama masyarakat sudah mengetahui akan kegiatan kegiatan ibadah kelompok tersebut. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun