Mohon tunggu...
Fanny Citra
Fanny Citra Mohon Tunggu... Pelajar -

Hard words breaks no bones

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Mikom UPH Bekerjasama Dengan Kominfo Selenggarakan Seminar “Hate Speech Kenapa Diributkan?”

23 November 2015   11:46 Diperbarui: 23 November 2015   12:23 55
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

MIKOM UPH Bekerjasama dengan Kominfo Selenggarakan Seminar “HATE SPEECH Kenapa Diributkan?”Magister Ilmu Komunikasi (MIKOM) UPH bekerjasama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), menyelenggarakan seminar bertema “Hate Speech, Kenapa Diributkan?” di kampus Pascasarjana UPH, Plaza Semanggi, tanggal 21 November 2015. Seminar 'Hate Speech Kenapa Diributkan?' di Kampus Pascasarjana UPH

Sejak Kapolri Jenderal Badrodin Haiti mengeluarkan Surat Edaran No. SE/6/X/2015 tanggal 8 Oktober 2015 tentang Penanganan Ujaran Kebencian (hate speech), kontroversi bermunculan. Berbagai kalangan masyarakat mengecam dan menuding Kapolri hendak merampas kebebasan menyatakan pendapat di Indonesia. Pimpinan Komnas HAM bahkan berkilah, “Kita sudah berjuang berdarah-darah 16 tahun lalu, mengantarkan Indonesia ke alam demokrasi seperti sekarang, tetapi 16 tahun kemudian (sekarang), pengekangan ini tiba-tiba muncul,” ungkapnya. Kalangan LSM dan sejumlah media massa, khususnya media sosial, khawatir bahwa SE Kapolri akan mengekang kebebasan berbicara, termasuk kebebasan pers (freedom of the press).

Di pihak lain, tidak sedikit kalangan yang mendukung SE Kapolri. Partai Nasdem, misalnya, secara spontan menyatakan dukungan terhadap SE Kapolri dengan alasan bahwa kebebasan memang harus ada batasannya, tidak bisa tanpa batas. Beberapa tahun lalu Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia (Pusat), Drs. Margiono, mengemukakan keprihatinannya terhadap kebebasan menyatakan pendapat di media sosial, seakan-akan di media sosial siapa saja boleh berbicara apa saja. Pada saat itu sebenarnya muncul wacana apakah perlu dibuat kode etik untuk  media sosial.

Berangkat dari masalah ini, Magister Ilmu Komunikasi (MIKOM) UPH bekerjasama dengan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo), menyelenggarakan seminar bertema “Hate Speech, Kenapa Diributkan?” di kampus Pascasarjana UPH, Plaza Semanggi, tanggal 21 November 2015. Mengundang beberapa pembicara terkemuka yang ahli di bidang komunikasi politik serta perwakilan dari pihak Kepolisian RI, yaitu Brigjen Pol Drs. Agus Rianto, Karopenmas DivHumas POLRI, Ir. Azhar Hasyim, M.IT., Direktur e-Business, Kementerian Kominfo dan Dr. Gun Gun Heryanto, M.Si., Dosen Komunikasi Politik UIN Jakarta dan Pascasarjana Universitas Paramadina. Sebagai moderator, hadir Prof. Dr. Tjipta Lesmana, M.A., Ketua Panitia Seminar yang merupakan Ketua Program Studi MIKOM UPH. 

Prof. Tjipta sebagai moderator mengawali seminar

Prof. Tjipta mengawali dengan menyampaikan situasi kontoversial yang terjadi saat ini, dimana Kapolri diserang dan dipertanyakan motif dari peluncuran SE ujaran kebencian secara tiba-tiba yang dianggap merenggut hak kebebasan berbicara rakyat. Dalam ilmu komunikasi, menurutnya, kebebasan mengeluarkan pendapat tidak boleh tanpa batas. Bahkan di Negara maju, masalah ujaran kebencian pun diatur dalam berbagai ketentuan perundang-undangan negara tersebut. “Nah, bagaimana di Indonesia? Inilah yang menjadi dasar diskusi kita hari ini, saya berharap peserta sekalian dapat menuangkan pendapat yang berguna mengenai masalah ujaran kebencian di Indonesia,” ungkap Prof. Tjipta. 

Brigjen Pol Drs. Agus Rianto sebagai pembicara pertama memaparkan esensi dari SE Kapolri yang sebenarnya. Ia mengungkapkan bahwa penanganan hate speech telah lama didiskusikan dan atas dorongan sejumlah LSM, tahun 2012 telah diadakan seminar hate speech untuk menampung masukan dari sejumlah pakar dan juga masyarakat. Selain itu Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) juga telah melakukan penelitian di empat kota besar di Indonesia yaitu Bandung, Surabaya, Makassar dan Banten, tentang penanganan ujaran kebencian oleh Polri di daerah. Hasil penelitian menunjukan bahwa anggota Polri kurang memahami tentang ujaran kebencian, serta adanya kegamangan anggota Polri dalam menangani masalah ujaran kebencian. Selanjutnya Kompolnas merekomendasikan pada Kapolri untuk membuat suatu produk naskah dinas tentang tata cara penanganan ujaran kebencian, dan setelah dikaji produk yang tepat adalah naskah dalam bentuk surat edaran (bukan dalam bentuk peraturan ataupun keputusan), mengingat sifat dan tujuan SE adalah untuk memberitahukan mengenai tata cara yang berlaku atau ketentuan yang harus dilaksanakan (Perkap No. 15 tahun 2007 tentang naskah dinas di lingkungan Polri).

Brigjen Pol Drs. Agus Rianto  

Ia menjelaskan bahwa dalam SE yang termasuk ujaran kebencian antara lain, penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut dan penyebaran berita bohong. Lebih lanjut Brigjen Agus mengatakan bahwa SE Kapolri ini sebenarnya ditujukan untuk internal Polri saja, yaitu untuk distribusi A, B, C, dan D Mabes Polri, bukan untuk masyarakat dan bukan perintah untuk penegakan hukum tetapi mengupayakan pencegahan. “SE adalah pemberitahuan mengenai tata cara yang berlaku atau ketentuan yang harus dilaksanakan. Sehingga SE ini bukan regulasi atau peraturan, jadi tidak memuat norma baru,” ungkapnya tegas. 

Menanggapi pemaparan yang diberikan Brigjen Agus, Dr. Gun Gun, dari sudut pandang akademis, menyampaikan bahwa secara umum keputusan Kapolri untuk mengeluarkan SE tentang penanganan Hate Speech ini sangat baik. Menurutnya, SE ini adalah pedoman dan acuan bagi anggota Polri di lapangan ketika terjadi duagaan ujaran kebencian. Namun yang disayangkan Dr. Gun Gun mengenai isi SE ini, dan menjadi penyebab terjadinya kontroversi adalah adanya beberapa hal yang kurang sesuai dan tidak jelas.

 

Dr. Gun Gun Heryanto 

Ia menjelaskan bahwa dalam SE yang termasuk ujaran kebencian antara lain, penghinaan, pencemaran nama baik, penistaan, perbuatan tidak menyenangkan, memprovokasi, menghasut dan penyebaran berita bohong. Lebih lanjut Brigjen Agus mengatakan bahwa SE Kapolri ini sebenarnya ditujukan untuk internal Polri saja, yaitu untuk distribusi A, B, C, dan D Mabes Polri, bukan untuk masyarakat dan bukan perintah untuk penegakan hukum tetapi mengupayakan pencegahan. “SE adalah pemberitahuan mengenai tata cara yang berlaku atau ketentuan yang harus dilaksanakan. Sehingga SE ini bukan regulasi atau peraturan, jadi tidak memuat norma baru,” ungkapnya tegas. 

Pertama, proses komunikasinya menjadi sangat politis (karena tersebar di media), dimana seharusnya SE ini hanya untuk internal Polri, tetapi justru menjadi konsumsi khalayak luas dengan keragaman background saat menginterpretasi SE. Kedua, dalam elemen pesan, tercantum hukum yang sudah dibatalkan MK yaitu tentang frasa ‘perbuatan tidak menyenangkan (dalam pasal 335 KUHP)’ sehingga seharusnya tidak dapat dijadikan landasan untuk melakukan penindakan seperti yang tercantum dalam SE. Selanjutnya, tidak adanya definisi yang ajek tentang Hate Speech dalam SE. Dr. Gun Gun mengutip definisi Hate Speech menurut Kent Greenawalt yaitu, ucapan dan/atau tulisan yang dibuat seseorang di muka umum untuk tujuan menyebarkan dan menyulut kebencian sebuah kelompok terhadap kelompok lain yang berbeda baik karena ras, agama, keyakinan, gender, etnisitas, kecacatan dan orientasi seksual. 

“Jika kita mengacu kepada pengertian di atas, yang tentu saja telah digunakan di negara-negara maju, berarti ada ketidaksinkronan dengan bentuk Hate Speech yang disebutkan dalam SE, meliputi penghinaan, pencemaran nama baik, perbuatan tidak menyenangkan, karena subjeknya individual, sehingga hal tersebut tidak termasuk dalam kategori Hate Speech. Seperti yang kita ketahui, untuk hal tersebut sudah ada peratuan dan undang-undang yang mengatur,” ungkap Dr. Gun Gun.

 Dari sudut pandang kominfo dan pemerintah, Ir. Azhar Hasyim mengatakan bahwa ujaran kebencian sudah seharusnya diatur dalam sebuah perundang-undangan. Dalam negara demokrasi, masyarakat memang memiliki kebebasan untuk menyampaikan pendapat seperti yang dituliskan dalam Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (HAM), namun harus kembali melihat Pasal 29 tentang hak negara untuk membatasi kebebasan berekspresi demi alasan moralitas, tatanan publik dan kenyamanan masyarakat umum. “Apalagi dalam dunia maya, di mana ujaran kebencian terpampang berjibun, dengan 88,1juta dari 252,4juta penduduk Indonesia pengguna internet, bayangkan jika satu saja ujaran kebencian disampaikan melalui dunia maya, apalagi media sosial, maka 88,1juta orang akan terganggu atau bahkan menjadi penerus ujaran kebencian yang tentunya meresahkan kelompok tertentu dan menimbulkan perpecahan di tengah masyarakat,” ungkapnya.

Ir. Azhar Hasyim Mendukung Dr. Gun Gun dan Ir. Hasyim, Prof. Tjipta memberikan kesimpulan bahwa Polri membutuhkan tim panel yang terdiri dari para pakar dan ahli komunikasi politik untuk membahas SE ini agar menjadi lebih baik dan tidak menimbulkan keresahan dan kontoversi di antara masyarakat. Selain itu, ia juga berpesan kepada peserta yang hadir untuk menggunakan kebebasan berpendapat dengan bijaksana, karena segala sesuatu tetap ada batasan dan undang-undangnya. “Kami berharap diskusi ini dapat bermanfaat dan disebarluaskan untuk kepentingan perbaikan SE dan mencegah berkembangnya Hate Speech,” tutupnya. 
Peserta Seminar 'Hate Speech' Diskusi berjalan apik dengan partisipasi aktif sekitar 50 peserta yang merupakan mahasiswa MIKOM UPH, perwakilan lembaga Hukum, Dosen PR dan Komunikasi Politik, wartawan serta publik.(FC)  UPH Media Relations 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun