Mohon tunggu...
Fanni Carmila
Fanni Carmila Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu rumahtanga. Mantan wartawan. Wiraswasta. Hobi mengarang

Asyik kalau bisa berkomunikasi dengan orang yang punya hobi sama.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Hati Seorang Ibu

23 Mei 2021   07:00 Diperbarui: 23 Mei 2021   07:18 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku belajar menjadi seorang ibu dari nenekku.

Ia berasal dari desa Meizhou, provinsi Guangdong. Menikah dengan kakek karena dijodohkan. Tahun 1930 mengikuti suami berimigrasi ke Indonesia. Tepatnya ke Purwokerto, tempat seluruh keluargaku lahir dan tinggal hingga kini.

Sedari kanak-kanak aku mengenalnya sebagai perempuan energik. Ia bangun sekitar jam tiga pagi. Langsung terjun ke dapur untuk menyiapkan sarapan bagi keluarga. Sekitar jam tujuh - sebelum suami dan anak-anaknya bangun - ia sudah membuka tokonya yang menjual sembako di jalan Sawangan. 

Selesai keluarganya sarapan dan menggantikannya di toko ia  ke pasar.  Pulang dari sana langsung ke dapur mempersiapkan masakan untuk makan siang. Setelah masakan matang nenek akan duduk di pojok dapur. Mengambil semangkok nasi dan sejumput sayur. Menikmati sarapan yang ia gabung dengan makan siang. Acara dilanjutkan dengan pergi ke perigi untuk memberi makan ayam peliharaan. Lalu mencuci perabot maupun pakaian kotor seluruh keluarga. Ia selalu memakai bakiak yang menimbulkan suara nyaring. Menandakan kehadiran serta kesibukannya bekerja hingga menjelang petang.

Aku tidur bersama nenek semenjak kakekku meninggal. Setiap pagi selalu dibangunkan oleh bau asap yang menguar dari dapur tatkala nenek menanak nasi di atas tungku arang. Disusul keharuman bawang goreng yang ia bubuhkan ke sayur tumis maupun ayam rebus. Bau yang tak terlupakan, hasil olahan tangan seorang ibu yang senantiasa tekun memasak dan menyajikan makanan bagi keluarganya. Bau cinta!

Hubungan nenek dan ayah sangat cukup rumit. Ia adalah cucu lelaki pertama yang dimiliki marga Tsen. Sesuai tradisi kakek harus mengirimkan putra pertamanya untuk dipelihara dan tinggal bersama kedua orangtuanya di daratan Cina. Dengan sedih dan berat hati mereka pun mematuhi tradisi itu. Menyerahkan bayinya yang waktu itu baru berumur tiga bulan kedalam pengasuhan orangtuanya.

Sungguh menyedihkan masa kecil ayahku. Ia tidak mendapat curahan kasih sayang yang sepantasnya dari kakek-neneknya. Sering kekurangan makan. Harus menempuh perjalanan dua km menembus hujan salju dengan pakaian tipis dan bertelanjang kaki untuk pergi ke sekolah. Ia dijadikan  sandera agar kakek tidak lalai mengirimkan uang setiap bulan guna membiayai hidup kedua orangtua maupun putranya. Ia baru dijemput balik ke Indonesia sesudah usia remaja. 

Tatkala kakek-nenek buyutku sudah meninggal. Penderitaan masa kecil menimbulkan kemarahan ayah terhadap nenek. Ia iri terhadap kelima adiknya yang sejak lahir tidak pernah berpisah dengan ibunya. Kemarahan itu merasuki dirinya sepanjang hidup. Ia tumbuh menjadi pribadi yang keras kepala. Senang  berkonfrontasi dengan orangtua, terutama ibunya.

Nenek bukan orang yang pandai mengungkapkan isi hatinya kepada siapapun, termasuk kepada ayah. Dengan kalimat pendek ia menceritakan awal masa perpisahannya dengan ayah kepadaku. Ia sering menangis karena puting susunya berdarah. Begitu rindu untuk menyusui bayinya.

Hingga meninggalnya ayah mereka tidak pernah punya kesempatan memperbaiki hubungan. Kenangan paling memilukan tentang nenekku terpatri ketika aku menyaksikan ia menangis meraung-raung sambil memeluk peti jenazah ayahku. Perasaan itu selalu muncul setiap kali aku mengikuti ibadah Paskah. Menyelami sengsara bunda Maria tatkala menunggui PutraNya meregang nyawa di kayu salib. Kesengsaraan yang juga diderita nenekku sewaktu mengantar kepergian ayahku.  

11 Januari 1942 Jepang masuk Indonesia. Menandai berakhirnya pendudukan pemerintah kolonial Belanda beralih ke tangan Jepang. Masyarakat Purwokerto turut merasakan situasi yang serba tak pasti, menimbulkan kepanikan. Toko kakekku yang menjual kebutuhan hidup sehari-hari langsung diserbu pembeli untuk menyelamatkan persediaan makanan. Kakek dan nenek terbenam dalam kesibukan luar biasa. Melayani pelanggan dari subuh hingga jam 2 esoknya nyaris tanpa sempat makan dan tidur.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun