Mohon tunggu...
Fanni Carmila
Fanni Carmila Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu rumahtanga. Mantan wartawan. Wiraswasta. Hobi mengarang

Asyik kalau bisa berkomunikasi dengan orang yang punya hobi sama.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Bahasa Jawa

13 Mei 2021   05:06 Diperbarui: 13 Mei 2021   05:13 972
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Bahasa Jawa adalah bahasa paling penting dalam hidupku. Aku bahkan sudah mempelajarinya semenjak sebelum lahir. Selagi masih dalam kandungan ibu membawaku ke seorang bidan di jalan Pereng, Purwokerto. Menggunakan stetoskop dari kayu ia sering menyapaku dalam bahasa Jawa.

"Priwe kabarmu Nduk, Sugeng?"

Berkat keramahan sang bidan yang sering menjalin komunikasi denganku menggunakan bahasa itu aku jadi betah berdomisili di perut ibu. Sampai sepuluh bulan.  Andaikan waktu itu sang bidan mengajakku berbicara dengan bahasa Perancis, aku mungkin lahir prematur. Tidak tahan ingin segera melihat wajah sang bidan .

Bahasa Jawa adalah bahasa yang membingungkan, semakin lama belajar, kita malah makin bodoh. Contohnya orangtuaku. Mereka yang mengenal bahasa China sebagai bahasa Ibu sering mencampur-adukkan bahasa kalau ngomong. Pernah aku mengalami patah pergelangan kaki dan ayah membawaku ke dokter umum. Ia tanya ke dokter dengan nada cemas, apakah kakiku perlu difotocopy?  Padahal maksudnya dirontgen! Saat itu secara spontan Dokter, suster dan aku tertawa terpingkal-pingkal. Anehnya Kakiku langsung sembuh tanpa diapa-apakan. Sepanjang jalan pulang Ayah menyeretku sambil  bersungut-sungut, "wong tuwa kok ngo gojekan!". Itulah akibatnya kalau bahasa Jawa dicampur bahasa Inggris. Bisa buat hiburan!

Bahasa Jawa adalah bahasa paling sulit di dunia. Jauh lebih sulit dari bahasa Sansekerta, Spanyol atau Eskimo ( mungkin! Soalnya saya juga gak pernah mempelajari bahasa-bahasa tersebut. Buat apa?). Buktinya semenjak SD hingga SMP nilaiku empat terus. Tidak pernah kurang maupun lebih. Pas! Padahal upayaku gak kurang-kurang: belajar dari pembantu, menteror guru, minta pertolongan dukun. Aku pernah menghubungi Mbok Sableng -tetanggaku yang kalau dimintai nomor togel jitu banget - agar guru yang berani memberi nilai empat dibuat mencret tiga hari tiga malam. Hasilnya: beliau tetap sehat walafiat sementara nilaiku tetap empat.

Semasa SMP aku punya guru bahasa Jawa orang Solo. Penampilannya mirip kulkas model mutakhir: dingin dan tidak berisik. Barangkali teman-temanku di SMP Kristen Purwokerto masih ingat?  Namanya pak Soemantri. Dia satu-satunya guru yang membuatku bodoh permanen bagaimanapun kerasnya aku belajar. Masa anak yang nilai bahasa Indonesianya sembilan kok bahasa Jawanya bisa empat?  Benar-benar tidak logis dan melecehkan. Dia punya dua putri, kelas satu dan tiga SD. Tiap melihat mereka asyik bermain di halaman sekolah amarahku kumat. Mereka aku teriakin dan aku kejar-kejar. Akibatnya keduanya lari terbirit-birit sambil nangis histeris. Menghambur masuk ke ruang guru seraya mengadu ke bapaknya. Aku memelototi mereka yang menunjuk-nunjuk diriku dari jauh. Pak Mantri hanya melirikku sekilas, tidak bereaksi apapun selain memeluk dan menghibur kedua anaknya. Dua hari kemudian ulangan bahasa Jawa. Ia memanggil kami satu-persatu untuk membagikan hasilnya. Aku merasa lega karena yakin upayaku mengintimidasi dirinya melalui kedua buah hatinya pasti manjur. Benar saja, waktu menerima kertas ulangan aku melihat angka EMPAT. Angka yang biasanya hanya bertengger di sudut kanan lembar jawaban kali ini ditulis Gede banget ditengah sambil dilingkari spidol merah. Ekspresi pak Mantri tetap datar dan tenang. Tapi aku malah mengharapkan wajahnya  berubah jadi permen karet. Agar bisa kukunyah-kunyah lalu aku ludahkan: puih!

Semenjak hari itu aku berhenti berupaya memperbaiki nilai bahasa Jawa. Percuma melawan takdir. Aku anak Cina, dapat nilai empat untuk bahasa yang sejak jaman nenek moyang  tidak dikenal dalam keluarga adalah wajar. Kalau nilainya ketinggian takutnya malah dianggap penyimpangan gen atau kelainan. Toh tidak etis juga demi angka tujuh bahasa Jawa aku terpaksa mencekik anak guru. Aku ini pelajar SMP lho, bukan teroris!

Aku  melihat dunia yang lebih indah setelah masuk SMA. Bisa menyongsong masa depan lebih optimis. Kebodohan permanenku pun berakhir. Aku punya harapan menjadi pintar, syukur bisa dipermanenkan juga. Semuanya terjadi hanya karena satu faktor: di SMA tidak ada pelajaran bahasa Jawa. Efek sampingannya banyak. Yang paling penting aku berhenti mencemaskan  para binatang dan keturunannya yang untungnya cukup bertahan hanya di dua generasi: ayam-pitik, bebek-meri, kambing-cempe. Bayangkan kalau mereka punya silsilah keluarga sepanjang umat manusia hingga tujuh generasi! Apa panggilan untuk kakek moyang-kakek-ayah-cucu-buyut-cicit-canggahnya monyet coba? Saya rasa pakar bahasa Jawa paling canggihpun bakal bingung menyebutnya. Seandainya itu dimasukkan kedalam kurikulum sebagai materi yang harus dihafal ku jamin angka kebodohan pelajar SD dan SMP provinsi Jateng pasti meningkat dua ratus hingga tiga ratus persen.

 

Hidupku tercerahkan setelah menikah dan membuka toko peralatan rumahtangga di Bobotsari. Ternyata kita mudah belajar bahasa apapun di dunia asal dapat duit. Berhubung penduduk di lingkungan kami tidak paham bahasa Rusia, aku terpaksa belajar bahasa Jawa untuk menyapa dan berkomunikasi dengan mereka. Bagi yang derajatnya lebih tinggi atau usianya lebih tua aku menggunakan Kromo-Inggil, sementara kepada yang sederajat atau lebih muda pakai bahasa Ngoko. Pembeli senang, karena ada wong Cina bisa berbahasa sefasih mereka. Mau menawar sungkan "Karo wonge dewek".  Itu semua tidak ada hubungannya dengan pelajaran bahasa Jawa yang kudapat dibangku sekolah, jauh panggang dari api! Apa jadinya bila ada pembeli masuk ke toko lalu aku sapa dengan "anak sapi namanya apa? Bisa gawat. Jangan-jangan mereka langsung keluar, pindah beli ke toko sebelah yang penjualnya sedikit lebih waras!

Kesimpulannya, untuk bisa mencari uang dan bertahan hidup kita harus belajar dari mana saja, kecuali dari bangku sekolah. Termasuk bahasa Jawa. Bisa dimanfaatkan buat berdagang, tapi jangan dipakai untuk pacaran. Bisa membingungkan pasanganmu.  Kamu ini sedang merayu dia apa marah-marah. Karena nadanya sama saja: ngapak dan mledug. (fani.c)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun