Mohon tunggu...
Fanni Carmila
Fanni Carmila Mohon Tunggu... Lainnya - Ibu rumahtanga. Mantan wartawan. Wiraswasta. Hobi mengarang

Asyik kalau bisa berkomunikasi dengan orang yang punya hobi sama.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Yenny dan Hujan

10 Mei 2021   15:59 Diperbarui: 10 Mei 2021   16:02 78
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Yenny datang menyapaku di waktu hujan.
Bersama titik-titik air yang jatuh dari langit tubuhnya yang ringan bertumpu di ujung jari-jari kaki kanan sementara kaki kirinya yang panjang tertekuk membentuk sudut. Ia berusaha menyeimbangkan tubuhnya dengan tangan terentang. Jari-jarinya yang lentik dan kurus bergerak seraya berputar.  Makin lama makin pesat sehingga aku hanya bisa melihat ia berubah jadi bayangan. Timbul-tenggelam mengikuti kilatan petir yang sesekali menyambar. Wajahnya yang segar dan basah nampak muda dan riang. Tanpa kerutan tanda ketuaan. Ia ada bersama kecantikannya yang abadi. Ditopang tubuhnya yang jangkung  terbungkus gaun panjang yang basah melekat,  menerakan lekukan tubuhnya yang pipih. Ia terus berputar sambil meliuk-liuk. Sesekali kepalanya yang ditopang oleh lehernya yang jenjang menoleh dan dimiringkan. Yenny membuat hujan menjadi sebuah orkestra yang mengiringinya menari. Ia seorang penari alam yang seluruh gerakan tubuhnya spontan, tanpa keteraturan karena memang tidak pernah menerima latihan menari dari manapun.
Ia pandai mengekspresikan perasaannya melalui bahasa tubuh. Aku bisa membaca suasana hatinya cukup dengan mengamati gerak-geraknya. Caranya menggidikkan bahu, menyibakkan rambut, menggerakkan tubuh atau tatkala ia berdiri sambil menenderkan punggungnya ke dinding. Ia punya senyum merekah dengan bibirnya yang sensual.

Yenny dan aku sama-sama mencintai hujan. Kami mengukir masa kanak-kanak yang indah bersama mutiara yang jatuh dari langit menyelimuti bumi. Ia menarik ku ikut berbasah-kuyup sembari memberi aba-aba: putar kanan, tangan melingkar, selangkah geser ke kiri, kembali ke kanan..........  Aku bukan seorang penari. Kuikuti gerakannya dengan canggung sambil sesekali menyeka wajah dan mataku yang terhalang oleh siraman air, sehingga ia hanya terlihat samar. Acap kali aku salah menirukannya. Akibatnya kami saling bertabrakan. Ia menjerit nyaring ditingkah tawaku yang menggelegar. Yenny dan hujan membuat dunia masa kanak-kanakku begitu bermakna.

Kami sebenarnya bukan teman sebaya. Ia empat tahun lebih tua dariku. Namun sifatnya yang periang tanpa beban membuat waktu serasa berhenti berputar ketika sedang bersamanya. Hampir tiap akhir pekan aku berlari-lari ke rumahnya yang bisa kutempuh hanya dalam sepuluh menit. Tempat tinggalnya memiliki tata letak yang unik. Sekitar tahun 50an merupakan sebuah Toserba paling besar untuk wilayah Purwokerto barat. Luasnya hampir 2000 meter berikut bangunan rumah di belakangnya. Kalau tak salah nama nya toko NAM. Setelah generasi pertama tiada bangunan dan toko itu dipetak menjadi tiga : toko Lawas-Lancar-Anyar.  Temanku merupakan generasi ke tiga. Tokonya, toko Anyar terletak di pojok kanan sementara tempat tinggalnya berada di pojok kiri. Ibunya adalah anak sulung keluarga tersebut. Jadi kalau  ingin berkunjung ke rumahnya dan masuk melewati tokonya mau tidak mau aku harus menerobos rumah kedua paman Yenny. Kalau sedang terburu-buru aku lebih suka masuk dari toko Lawas yang anak-anaknya usianya jauh di atasku. Jadi bukan temanku. Tapi mereka  tidak keberatan rumahnya dijadikan jalan pintas.

Aku pernah ikut sekolah minggu yang diselenggarakan pemilik toko Lawas.
Tujuannya bukan untuk bertemu Tuhan. Tapi karena senang diberi gambar-gambar yang dikutip dari kitab suci. Ukurannya sebesar kartu remi. Warnanya cantik sekali. Ada Adam dan Hawa di Taman Eden, Musa dengan tongkat saktinya memimpin eksodus bangsa Israel meninggalkan Mesir atau Nabi Nuh dengan bahtera raksasanya. Kami disuruh antri oleh pendeta mudanya. Masing-masing anak diberi dua lembar kartu. Aku sering menyusup kembali ke antrean sehingga bisa mendapat empat atau enam kartu untuk ku koleksi atau dijadikan pembatas buku.

Salah satu alasanku senang main ke rumah Yenny karena di tengah ketiga rumah keluarga besarnya ada sebuah taman yang luas berikut kolam yang di atasnya dibangun sebuah jembatan batu. Ketika hujan tiba aku dan Dia senang berdiri di atas jembatan sambil mengikuti jatuhnya air ke kolam yang disambut ikan-ikan dengan riang. Mereka muncul ke permukaan sambil membuka dan mengatupkan mulutnya.
Sejajar dengan rumah Temanku kira-kira berjarak seratus meteran ada sebuah pasar kecil, namanya pasar Kaliluhur. Di situlah pak Sanasir membuka warung mie goreng tradisional yang cara pembuatannya masih digilas dengan botol. Lalu dipotong agak tebal memanjang. Aku dan Yenny senang makan malam di situ. Diterangi lampu teplok kami menikmati mie yang dimasak memakai tungku arang. Rasa mienya khas sekali. Bertekstur kasar. Adonan terigu bercampur telor bebeknya terasa liat. Tetapi enak sekali. Sayang aku kehilangan jejak warung tersebut setelah pasar dibongkar dan dijadikan toko.
Kadang-kadang kami ke pasar Pereng yang letaknya di seberang toko Yenny. Membeli gorengan atau makan keong pedas yang ditusuk dengan tusuk gigi atau langsung dihisap kuat-kuat.

Aku belajar menyederhanakan hidup dari Temanku. Menikmati apa yang mampir dalam hari-hari kita tanpa beban. Padahal problem kami sama: kesepian. Di tengah keluarga aku selalu merasa sendirian. Terutama hari-hari libur. Semua saudara lelakiku asyik berkeliaran keluar rumah bersama teman mereka. Kakak perempuanku enggan main denganku. Kedua orangtua jarang di rumah. Situasi Yenny nyaris sama. Ibunya sakit-sakitan. Lebih banyak mengurung diri di kamar. Ayahnya jarang pulang. Kami mirip anak terbuang yang mencoba menyatukan energi bukan untuk melawan dunia, tetapi hanya ingin membingkai hari-hari masa kecil dengan kenangan indah. Kami sering duduk di bangku batu, di bawah kerindangan pohon jambu  taman milik keluarganya. . Bersenda-gurau dengan adik perempuannya serta teman-teman lainnya.
Bila mendung tiba rombongan bubar. Tinggal aku dan Yenny menunggu dan menangkap hujan. Aku pulang dalam keadaan basah kuyup. Di depan pintu ibu menghadangku sambil mencengkeram sebatang rotan, siap dipukulkan. Ternyata ia sering dilapori kakak sulungku akan kebiasaanku main hujan-hujanan dan sengaja menangkap basah ulahku. Benar-benar basah!

Yenny berhenti sekolah setelah SMP. Ia senang mempelajari tata-rias dan memotong rambut. Untuk memperdalam ketrampilan ia bekerja membantu sepupunya yang membuka salon Ana. Bila rambutku panjang aku sering meminta jasanya untuk memotongnya.
Ketika itu ia sudah remaja sementara aku masih terbelenggu dalam dunia kanak-kanakku. Ia kerap membawaku ikut acara dansa yang diselenggarakan kaum muda Purwokerto. Dengan bodoh aku melihatnya melantai. Gerakannya halus dan anggun. Itu membuat beberapa pemuda jatuh cinta kepadanya. Aku mulai merasakan perbedaan pola hubungan kami karena faktor selisih umur. Ia sudah tidak mau lagi ku ajak berhujan ria. Tapi lebih condong bermain dengan teman-teman dewasa. Piknik atau berdansa.
Kami saling menjauh begitu saja. Namun menjelang kepindahanku ke Bandung untuk kuliah aku sengaja menemuinya. Waktu itu Yenny sudah mengontrak toko kecil untuk membuka salonnya sendiri. Aku merasa begitu sedih harus berpisah darinya. Berpisah dengan masa kanak-kanak kami yang gegap-gempita. Kugenggam tangannya seraya menjanjikan akan sering menyuratinya untuk bertukar kabar. Empat kali suratku tak dibalas sehingga komunikasi diantara kami nyaris terputus. Ia juga tidak mengabari ku ketika menikah.

Hubungan kami tersambung kembali setelah aku menikah dan dikaruniai seorang anak. Putra pertamaku seumur dengan putranya yang kedua. Waktu itu aku sudah pindah dari Tegal, tinggal bersama kedua orangtuaku. Aku sering membawa anakku ke salonnya untuk berbincang-bincang seperti dulu. Kami bukan lagi anak-anak, tetapi sudah menjadi ibu.  Dunia kami sudah berubah. Tidak seriang dulu. Masing-masing harus menghadapi tantangan berbeda. Aku sedang membantu suami merintis usaha agar bisa mandiri tanpa tergantung orangtua. Sementara Dia sedang dibelit masalah rumahtangga. Suaminya jarang pulang dan tidak pernah memberi uang untuk keluarganya. Namun Yenny adalah ibu yang tangguh. Menafkahi kedua putranya sendiri sambil mengurus proses perceraian. Masa itu aku hampir tak menemukan lagi tanda-tanda keceriaan dalam wajahnya. Tawanya tak meledak seperti dulu, berganti menjadi senyum samar. Perjalanan waktu telah melempar kami berdua ke alam dewasa yang nyata, berat dan butuh kekuatan serta ketabahan untuk menjalaninya.  
Suatu hari ia pamit kepadaku. Ingin mengajak putra keduanya yang sebentar lagi akan kuliah di Bandung untuk melakukan perjalanan ke Jogja.
"Anakku belum pernah lihat Borobudur," katanya penuh semangat. "Mumpung ada kesempatan aku ingin mengajaknya jalan-jalan." Ia tersenyum. Wajahnya memancarkan kelembutan dan kehangatan seorang ibu. Membuat hatiku sejuk.
Ku rengkuh dan kupeluk dia erat sekali. Pelukan seorang sahabat yang pernah saling berbagi masa kanak-kanak. Ini bukan sesuatu yang lazim kulakukan.

Malam itu hujan turun deras sekali. Aku sedang duduk di pinggir jendela sambil membaca buku ketika samar-samar melihat Yenny mendatangiku. Ia memakai gaun panjang putih kesukaannya yang  basah-kuyup. Melambai mengajakku keluar bergabung dengannya bermain hujan seperti dulu. Suara kami tertahan oleh lapisan dinding kaca yang tebal disertai bunyi petir yang bersahutan. Kami hanya bisa berkomunikasi dengan bahasa isyarat. Aku menggeleng sambil menunjuk langit "Aku tidak mau!"  Ia mengangguk, "ya sudah!" Ia membalikkan badan menjauhi ku. Bayangannya menghilang bersama sambaran petir berikutnya.
Esoknya jam tujuh pagi aku Ditelpon sepupunya yang mengabarkan Yenny dan anaknya tewas tertimbun runtuhan dinding rumah saudaranya ketika berusaha lari keluar menyelamatkan diri dari gempa berkekuatan 5,6 skala Richter yang meluluh-lantakkan Jogja dan sekitarnya. Seluruh keluarga yang terjebak di dalam rumah justru selamat. Hari itu tanggal 27 Mei 2006. Temanku dan anaknya ikut  tewas bersama enam ribu korban jiwa lainnya.

Tigabelas tahun telah berlalu. Aku masih mencintai hujan beserta romantikanya. Sering kuamati jatuhnya titik-titik air dari balik jendela rumahku sambil merenungi kepekatan hubunganku dengan Yenny.  Aku rindu sekali tawanya yang renyah dan mampu menyusupi relung-relung hatiku. Namun semenjak kepergiannya, hujan terasa sepi. Bukan lagi orkestra yang mengiringi sahabatku menari dengan gerakannya yang lentur dan alami. Curahan air dari langit kelabu senantiasa membangkitkan sisi melankolis diriku. Hujan telah berubah. Ia telah membawa sahabatku dengan caranya yang luar biasa pergi menembus langit. Bersatu dengan Tuhan dan seribu kenanganku kepadanya

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun