Mohon tunggu...
Fandy Ahmad Salim
Fandy Ahmad Salim Mohon Tunggu... Peternak - Lahir tahun 2003 dan selalu berusaha menggarap apa saja. Mulai dari tulisan, karya grafis, sampai usaha.

Pelajar di SMAN 1 Surakarta. Menulis, Membaca, dan merancang grafis. Penggemar karya sastra, non-fiksi dan karya lain. Dapat disapa lewat Instagram di @fandysalim_

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Mayat-Mayat Tertabur Semen di Pegunungan Kendeng

5 Oktober 2020   21:22 Diperbarui: 5 Oktober 2020   21:26 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

            Aku membantah, "Tidak. Macan kumbang memang tersebar di Pulau Jawa. Mereka memang berkeliaran bebas di Jawa Barat. Tapi tidak di sini. Tidak di pegunungan kapur ini."

            "Bagaimana dengan harimau jawa?"

            "Goblok! Mereka sudah punah puluhan tahun lalu karena diburu!" tukasku.

            "Atau mungkin makhluk halus?" seorang lagi nyeletuk.

            "Ah, otakmu banyak khayal, cuk," temannya mengejek.

            "Eh, benar ini. Mana mungkin hewan bisa menaburkan semen di tubuh mangsa-mangsanya?"

            "Benar juga."

            "Tapi mahluk halus macam apa? Malaikat? Setan? Jin? Tuhan?"

            Tak ada yang tahu: siapa pelakunya atau mengapa jatuhnya korban hanya terjadi pada para pekerja, tanpa satu pun dari para penduduk desa.

Salah seorang karyawanku bercerita, ia pernah diperingatkan oleh seorang tetua desa di sini. Bahwa tanah Kendeng ini adalah salah satu tanah tertua di muka bumi. Para leluhur yang telah lama hidup dan telah lama mati di sini tak akan membiarkan sembarang orang melakukan sembarang hal. Katanya, arwah para leluhur itu menjelma dalam bentuk seekor macan putih besar. Terkadang ia mengambil bentuk tubuhnya semasa masih hidup sebagai manusia untuk menghilang dalam keramaian.

            Gagasan tentang mahkluk halus ini sedari awal tak masuk akal buatku. Maksudku, ayolah! Ini abad 21. Semuanya pasti dapat dijelaskan lewat nalar dan sains. Setidaknya begitu yang aku pegang kukuh semasa masih mahasiswa. Masa kuliahku mungkin tak jauh beda dengan mahasiswa-mahasiswa itu. Bahkan aku pun dulu juga kerap ikut berdemonstrasi, turun ke jalanan untuk memprotes seorang presiden tua yang tak mau lengser dari tahtanya selama berpuluh-puluh tahun. Aku berjuang, lebih dari itu: berjuang untuk suatu alasan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun