Mohon tunggu...
Fandy Arrifqi
Fandy Arrifqi Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Sedang berusaha menjadi manusia

Selanjutnya

Tutup

Politik

Pengaruh Oligarki dalam Politik Indonesia Ditinjau dari Perspektif Marxisme

25 Februari 2021   00:48 Diperbarui: 25 Februari 2021   00:58 870
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Dalam perspektif marxisme, negara dianggap sebagai alat kelas borjuis untuk menindas kelas proletar. Kaum borjuis memanfaatkan negara untuk menerbitkan aturan-aturan yang menguntungkan kaum borjuis dan menindas kaum proletar. 

Dengan disahkannya UU Cipta Kerja, yang diklaim oleh pemerintah akan mempermudah penanaman modal di Indonesia dan dianggap merugikan kaum buruh, dapat menjadi petunjuk bahwa negara Indonesia telah menjadi alat kaum borjuis sebagaimana dijelaskan oleh perspektif marxisme?

Menurut Marx, masyarakat terbagi menjadi dua kelas utama, yaitu kelas borjuis dan proletar. Pembagian ini didasarkan pada kepemilikan faktor produksi. Kelas borjuis adalah kelas yang memiliki faktor produksi. Di sisi lain, kaum proletar adalah kelas yang tidak memiliki faktor produksi. Dua kelas sosial ini terus terlibat dalam pertentangan antar kelas sosial sebagaimana pertentangan kelas selalu terjadi sepanjang sejarah umat manusia (Maliki, 2012).

Pembagian kelas ini dimulai sejak revolusi industri yang dibarengi dengan kemunculan kapitalisme. Hal ini disebabkan oleh ditemukannya alat-alat produksi modern yang mengalahkan efektivitas dan efisiensi dari alat-alat produksi tradisional. Karena alat-alat produksi modern mampu memproduksi barang lebih banyak dan lebih murah, ada beberapa konsekuensi yang terjadi. 

Pertama, terciptanya sebuah pasar global. Efisiensi dari alat produksi modern menyebabkan produk yang dihasilkan menjadi lebih banyak. Oleh sebab itu, diperlukan pasar yang lebih luas. Produk tersebut pun dijual ke negara lain yang tidak mampu memproduksi produk serupa. Dari sinilah terciptanya sebuah pasar global dimana masing-masing negara saling bergantung satu sama lain. 

Kedua, pertumbuhan kekayaan kelas borjuis beriringan dengan pertumbuhan jumlah kelas proletar. Semakin maju sebuah industri, maka ia membutuhkan lebih banyak pekerja. Dari permintaan atas pekerja yang meningkat ini, maka orang-orang dari pedesaan akan ditarik ke kota untuk memenuhi permintaan akan pekerja (Marx & Engels, 1970).

Penindasan terhadap kelas proletar dimulai ketika kaum borjuis mulai bersaing dengan sesamanya. Dalam persaingan produk itu, tentu yang paling murahlah yang akan terjual paling banyak. Oleh karena itu, kaum borjuis akan menekan biaya produksi sampai ke titik paling rendah. Salah satu upaya untuk mengurangi biaya produksi ini adalah dengan menurunkan upah pekerja. Upah pekerja akan ditekan semaksimal mungkin sampai pada titik dimana upah ini hanya cukup supaya si pekerja bisa bekerja lagi keesokan harinya (Engels, 1977).

Menurut Kautsky, negara adalah alat dari kelas yang berkuasa untuk menindas kelas yang lain. Negara muncul untuk mengendalikan pertentangan kelas yang terjadi di masyarakat. Oleh sebab itu, lazimnya negara dikuasai oleh kelas yang berkuasa, dalam kasus ini adalah kaum borjuis. Dengan begitu, kelas borjuis akan menjadi kelas yang dominan dalam politik. Dominannya kelas borjuis dalam politik dapat digunakan sebagai instrumen untuk mengeksploitasi kelas proletar. Hal ini diperkuat oleh pendapat Engels yang menyatakan bahwa kekayaan adalah sebuah kekuataan tidak langsung yang dapat mempengaruhi dengan cara menyuap pejabat dan kerjasama antara pemerintah dengan pasar (Lenin, 1964).

Oligarki adalah relasi kekuasaan di antara kelompok yang menguasai ekonomi dan politik untuk kepentingan dirinya sendiri. Di Indonesia, oligarki lahir di era orde baru. Oligarki ini memiliki sifat kapitalistik dengan tiga karakteristik. Yang pertama adalah oligarki memiliki kemampuan instrumental dan struktural untuk memanfaatkan negara demi kepentingannya sendiri. Yang kedua, terdapat disorganisasi dalam hubungan antara negara dengan civil society. Yang ketiga adalah adanya relasi patronase yang kuat dan luas (Ananta, 2016).

Proses demokratisasi pasca runtuhnya orde baru tidak semerta-merta menghapus kekuasaan oligarki yang sudah terbangun di era orde baru. Oligarki ini kemudian ikut bertransformasi mengikuti perubahan politik yang terjadi. Keberhasilan oligarki untuk tetap bertahan tidak terlepas dari fleksibilitas jaringan politik dan ekonomi yang dimiliki oleh oligarki. Kebijakan desentralisasi yang dijalankan pun menjadi pembuka lahan baru untuk dikuasai oleh oligarki (Ananta, 2016).

Ada beberapa cara yang dilakukan oleh kekuatan oligarki untuk meraih keuntungan. Yang pertama adalah dengan menggunakan jaringan relasi dengan institusi negara untuk meningkatkan akumulasi kapital. Kedua, dengan membentuk koalisi yang cair. Dengan begitu, oligarki dapat bergerak dengan fleksibel dalam mengejar keuntungan. Ketiga, menggunakan kekuatan finansial dalam bentuk politik uang. Praktek ini dilakukan untuk mendapatkan posisi strategis dalam jabatan publik. Keempat, menggunakan kekuatan non-negara untuk mengamankan kepentingan (Ananta, 2016).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun