Mohon tunggu...
Fandy Arrifqi
Fandy Arrifqi Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Sedang berusaha menjadi manusia

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dinasti Politik sebagai Konsekuensi Demokrasi

20 Oktober 2020   14:37 Diperbarui: 20 Oktober 2020   14:56 330
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Majunya Gibran di pilwalkot Solo menuai kontroversi. Sebagai anak dari Presiden Joko Widodo, majunya gibran di pilwalkot tahun ini dinilai sebagai pembentukan dinasti politik. 

Gibran pun bukan satu-satunya kandidat yang memiliki hubungan kekerabatan dengan elit politik yang maju di pilkada 2020. Ada putri Ma'ruf Amin, Siti Nur Azizah dan Keponakan Prabowo Subianto, Rahayu Saraswati, yang maju di pilwalkot Kota Tangerang Selatan (Warta Ekonomi, 2020). Dengan bermunculannya kandidat yang memiliki hubungan kekerabatan dengan elit politik yang dinilai sebagai pembentukan dinasti politik, apakah nilai-nilai demokrasi di Indonesia mengalami penurunan?

Menurut KBBI, demokrasi adalah sistem pemerintahan yang seluruh rakyatnya turut serta memerintah dengan perantaraan wakilnya. Partisipasi masyarakat dalam pemerintahan dapat dilihat dari pemilu. Pemilu pun sering dianggap sebagai tolok ukur tingkat demokrasi. Pemilu yang dianggap demokratis adalah pemilu yang terbuka dan bebas dimana tiap orang punya hak untuk memilih dan dipilih tanpa adanya paksaan (Budiardjo, 2008).   

Dinasti menurut KBBI berarti semua berasal dari satu keluarga. Secara harfiah, dinasti politik merupakan fenomena dimana kekuasaan politik diteruskan berdasarkan hubungan darah dan kekerabatan (Susanti, 2017). Umumnya fenomena ini muncul di tingkat daerah. Kepala daerah yang sudah 2 periode menjabat tapi enggan melepaskan kekuasaannya akan mendorong sanak familinya untuk maju dalam pilkada dan meneruskan kekuasaan "keluarganya".

Fenomena dinasti politik di tingkat daerah muncul setelah diterapkannya kebijakan desentralisasi. Dengan adanya pembagian kekuasaan kepada daerah-daerah, maka mulai bermunculan elit-elit lokal yang berusaha untuk menguasai daerah tersebut (Effendi, 2018). Walaupun masa jabatan kepala daerah sudah dibatasi hanya 2 periode, hal ini tidak menghentikan elit lokal untuk mempertahankan kekuasaan mereka. Kepala daerah yang sudah dipenghujung masa jabatan akan mendorong kerabatnya untuk maju menggantikannya supaya tampuk kekuasaan tetap berada di tangannya.

Fenomena dinasti politik ini tidak muncul dengan sendirinya. Ada faktor-faktor yang mendorong fenomena ini muncul dan terus berkembang. Faktor yang pertama adalah proses kaderisasi di internal partai politik. Partai politik cenderung berorientasi pada kekuasaan. Hal ini berdampak pada proses kaderisasi di internal partai politik dimana partai cenderung akan merekrut kader yang memiliki kedekatan dengan sejumlah elit (Effendi, 2018).

Faktor yang kedua adalah pandangan masyarakat mengenai calon kepala daerah. Masyarakat cenderung lebih memandang kepada koneksi politik dan keturunan seorang kandidat ketimbang melihat kualitasnya (Suharto et al., 2017). Hal ini disebabkan karena masyarakat ingin menjaga status quo daerahnya dengan mendorong seorang kepala daerah untuk terus berkuasa. Karena masa jabatan dibatasi hanya 2 periode, maka masyarakat akan mendorong keluarga atau orang dekat kepala daerah untuk menggantikan petahana (Effendi, 2018).

Faktor yang ketiga adalah kultur birokrasi. Petahana yang sudah menjabat pastinya telah membangun kultur birokrasi kepada aparat pemerintah di bawahnya. Aparat pemerintah pun mau tidak mau harus mendukung petahana agar karir dan sumber penghasilannya tidak terganggu (Prianto, 2016). Hal ini tentu semakin mengukuhkan kekuasaan dinasti politik karena mereka mendapat dukungan dari aparat pemerintah.

Melihat faktor-faktor munculnya dinasti politik, tidak bisa dikatakan bahwa dinasti politik menyalahi nilai-nilai demokrasi. Kerabat-kerabat elit politik yang mencalonkan diri juga mengikuti proses pemilu seperti kandidat lainnya. Melarang kerabat-kerabat elit politik ini untuk mengikuti pemilu justru akan bertentangan dengan salah satu nilai demokrasi, yakni persamaan hak. Kerabat-kerabat elit politik ini juga merupakan warga negara yang memiliki hak untuk memilih dan dipilih dalam pemilu.

Maka, langgengnya dinasti politik justru disebabkan oleh masyarakat. Hal ini bisa dilihat dari salah satu faktor munculnya dinasti politik, yakni masyarakat yang cenderung melihat koneksi dari para kandidat. Siapa pun yang terpilih di pemilu adalah pilihan masyarakat, baik itu dinasti politik atau bukan. Yang bisa menghentikan dinasti politik adalah masyarakat itu sendiri dengan tidak memilih kandidat yang memiliki hubungan kekerabatan dengan elit politik. Hal ini hanya mungkin jika masyarakat menilai kandidat dari kinerja dan kualitasnya.

Pandangan masyarakat ini juga mempengaruhi orientasi partai politik dalam mengusung calon di pemilu. Melihat masyarakat yang cenderung menilai kandidat dari hubungan kekerabatannya, maka partai politik juga akan mengusung kandidat yang memiliki hubungan kekerabatan dengan elit politik. Walaupun tindakan ini bisa dianggap sebagai bentuk partai politik yang haus kekuasaan karena lebih memilih mengusung kandidat yang memiliki hubungan kekerabatan ketimbang kandidat yang memiliki kualitas, tetapi tindakan ini dilakukan dengan berangkat dari realita yang ada di masyarakat. Dengan kata lain, partai politik berusaha menyalurkan aspirasi masyarakat yang menginginkan kandidat yang memiliki hubungan kekerabatan dengan elit politik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun