Mohon tunggu...
Fandy Arrifqi
Fandy Arrifqi Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Sedang berusaha menjadi manusia

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Mengurai Kemunculan Fenomena Dinasti Politik

20 Desember 2019   21:43 Diperbarui: 20 Desember 2019   22:32 342
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Dinasti menurut KBBI berarti semua berasal dari satu keluarga. Secara harfiah, dinasti politik merupakan fenomena dimana kekuasaan politik diteruskan berdasarkan hubungan darah dan kekerabatan (Susanti, 2017). Umumnya fenomena ini muncul di tingkat daerah. Kepala daerah yang sudah 2 periode menjabat tapi enggan melepaskan kekuasaannya akan mendorong sanak familinya untuk maju dalam pilkada dan meneruskan kekuasaan "keluarganya".

Fenomena dinasti politik di tingkat daerah muncul setelah diterapkannya kebijakan desentralisasi. Dengan adanya pembagian kekuasaan kepada daerah-daerah, maka mulai bermunculan elit-elit lokal yang berusaha untuk menguasai daerah tersebut (Effendi, 2018). Walaupun masa jabatan kepala daerah sudah dibatasi hanya 2 periode, hal ini tidak menghentikan elit lokal untuk mempertahankan kekuasaan mereka. Kepala daerah yang sudah dipenghujung masa jabatan akan mendorong kerabatnya untuk maju menggantikannya supaya tampuk kekuasaan tetap berada di tangannya. Hal ini tentu tidak baik karena dapat menyebabkan ketidakadilan dalam distribusi kekuasaan politik. Ini akan mencederai semangat dari demokrasi dimana kekuasaan politik harus didistribusikan secara merata kepada masyarakat.

Fenomena dinasti politik ini tidak muncul dengan sendirinya. Ada faktor-faktor yang mendorong fenomena ini muncul dan terus berkembang. Faktor yang pertama adalah proses kaderisasi di internal partai politik. Partai politik cenderung berorientasi pada kekuasaan. Hal ini berdampak pada proses kaderisasi di internal partai politik dimana partai cenderung akan merekrut kader yang memiliki kedekatan dengan sejumlah elit (Effendi, 2018). Tentu saja hal ini semakin memuluskan praktek dinasti politik.

Faktor yang kedua adalah pandangan masyarakat mengenai calon kepala daerah. Masyarakat cenderung lebih memandang kepada koneksi politik dan keturunan seorang kandidat ketimbang melihat kualitasnya (Suharto et al., 2017). Hal ini disebabkan karena masyarakat ingin menjaga status quo daerahnya dengan mendorong seorang kepala daerah untuk terus berkuasa. Karena masa jabatan dibatasi hanya 2 periode, maka masyarakat akan mendorong keluarga atau orang dekat kepala daerah untuk menggantikan petahana (Effendi, 2018). Ini membuktikan bahwa warisan feodalisme masih menancap kuat di masyarakat.

Faktor yang ketiga adalah kultur birokrasi. Petahana yang sudah menjabat pastinya telah membangun kultur birokrasi kepada aparat pemerintah di bawahnya. Aparat pemerintah pun mau tidak mau harus mendukung petahana agar karir dan sumber penghasilannya tidak terganggu (Prianto, 2016). Hal ini tentu semakin mengukuhkan kekuasaan dinasti politik karena mereka mendapat dukungan dari aparat pemerintah.

Walaupun fenomena dinasti politik dapat menyebabkan ketidakadilan dalam pendistribusian kekuasaan, masyarakat cenderung menerima dinasti politik jika kinerjanya, terutama di bidang ekonomi, memuaskan (Prianto, 2016). Hal ini sejalan dengan pendapat Tan Malaka yang mengatakan bahwa masyarakat hanya peduli pada kepentingan yang terdekat, yakni kepentingan ekonomi (Malaka, 2016). Artinya, dinasti politik juga bisa berakhir jika kinerjanya di bidang ekonomi tidak memuaskan.

  Desentralisasi yang memberikan kuasa penuh kepada kepala daerah supaya dapat menjalankan kebijakan yang sesuai dengan daerahnya malah disalahgunakan untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan semata. Hal ini memunculkan fenomena dinasti politik di daerah. Fenomena ini juga di dorong oleh buruknya proses kaderisasi di internal partai politik, pola pikir masyarakat yang hanya melihat garis keturunan dan koneksi politik serta kultur birokrasi yang dibangun oleh petahana. 

Walaupun begitu, dinasti politik tidaklah selalu buruk di mata masyarakat. Jika dinasti politik dapat memberikan kinerja maksimal di bidang ekonomi, maka masyarakat akan cenderung menerima dinasti politik. Begitu pula sebaliknya, jika kinerja ekonomi sebuah dinasti politik buruk, maka dinasti politik tersebut dapat berakhir.

Referensi:

Didik Gunawan Suharto, Ismi Dwi Astuti Nurhaeni, Mantrini Indri Hapsari, Lungid Wicaksana. (2017). Pilkada, Politik Dinasti dan Korupsi. Konferensi Perkumpulan Dekan Ilmu-ilmu Sosial PTN Se-Indonesia (FISIP, FISIPOL, FIA, FIKOM dan STIA LAN), 30-49.

Effendi, W. R. (2018). Dinasti Politik dalam Pemerintahan Lokal Studi Kasus Dinasti Kota Banten. Jurnal Trias Politika, 98-113.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun