Mohon tunggu...
Fandy Arrifqi
Fandy Arrifqi Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Sedang berusaha menjadi manusia

Selanjutnya

Tutup

Analisis

Pilpres 2019, Fenomena Agama adalah Candu Masyarakat

22 Mei 2019   20:55 Diperbarui: 22 Mei 2019   21:04 278
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Dalam gelaran pilpres tahun ini, agama menjadi isu yang sangat laris. Kedua pasang calon presiden dan wakil presiden sama-sama menggunakan isu agama untuk mendulang suara. Bahkan isu agama dijadikan alat untuk menggerakan massa pasca gelaran pemilu. Hal ini menunjukan sebuah fenomena yang Karl Marx sebut sebagai agama adalah candu bagi masyarakat.

Sejatinya agama adalah obat bagi manusia. Ia membawa berbagai manfaat bagi para pemeluknya. Tapi, jika disalahgunakan, obat ini dapat menjadi candu yang membawa berbagai kemudharatan bagi pemeluknya. Penyalahgunaan obat (agama) inilah yang dimaksud Karl Marx dengan agama adalah candu masyarakat.

Menurut Karl Marx, agama ini disalahgunakan oleh para kaum pemilik modal untuk memberikan halusinasi kepada rakyat yang tertindas supaya tidak melawan hegemoni kaum pemilik modal. Kenapa harus agama? Karena melawan agama sama dengan melawan Tuhan, entitas paling tinggi nan maha suci. Melawan Tuhan dianggap sebagai pembangkangan paling buruk. Maka dari itu, mereka (pemilik modal) berlindung dibalik sosok "Tuhan" ini.

Dari halusinasi ini terciptalah sebuah ilusi. Sebuah ilusi yang menggambarkan bahwa nasib buruk yang kaum tertindas rasakan merupakan takdir dari Tuhan. Dengan begitu, berusaha memperbaiki nasib merupakan perbuatan yang melawan kehendak Tuhan. Hal ini menyebabkan mereka terpaksa untuk menerima takdirnya. Dari ilusi ini, agama dapat dijadikan sebuah alat kontrol sosial untuk menjaga dan menggerakan rakyat sesuai kehendak si pemilik modal.

Dalam kasus pilpres, kedua pasang calon sama-sama menggunakan agama sebagai legitimasi atas "kebenaran" diri pasangan calon tersebut. Mereka sama-sama "mengklaim" sebagai "utusan" Tuhan untuk menjadi khalifah di Indonesia. Dari sini kita dapat melihat bagaimana mereka menciptakan sebuah ilusi bahwa kemenangan pasangan calon tersebut sebagai sebuah takdir dari Tuhan yang tidak dapat ditolak, bahkan harus diperjuangkan.

Masalah ilusi ini terus berlanjut sampai pada KPU mengumumkan hasil pilpres 2019, dimana salah satu calon dinyatakan kalah. Hal ini jelas bertentangan dengan "takdir" Tuhan, sehingga mereka, kaum pendukung yang kalah, merasa wajib membela dengan dalih membela Tuhan dan agama. Dalam kasus ini, agama dijadikan sebuah alat kontrol sosial untuk menggerakan massa menuju KPU untuk menolak hasil pilpres.

Dari penjelasan diatas dapat kita Tarik kesimpulan bahwa agama hanya dijadikan alat untuk mendulang suara dalam pilpres. Derajat agama yang tinggi direndahkan oleh mereka, kaum elit politik, menjadi sebuah barang dagangan yang laku dijual untuk keuntungan diri mereka sendiri. 

Merekalah penista agama yang sesungguhnya! Maka dari itu, mari kita melakukan jihad fi sabilillah untuk memperbaiki derajat agama kita yang telah direndahkan. Hentikanlah jihad fi sabi Jokowi dan jihad fi sabi Prabowo, jihad-jihad palsu itu. Kita tidaklah membela agama, tapi membela elit politik. Sadarlah!

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun