Mohon tunggu...
Fandy Arrifqi
Fandy Arrifqi Mohon Tunggu... Freelancer - Mahasiswa

Sedang berusaha menjadi manusia

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pendidikan Arena Persaingan

13 Desember 2018   21:02 Diperbarui: 15 Januari 2019   20:25 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Persaingan menurut KBBI berarti usaha memperlihatkan keunggulan masing-masing yang dilakukan oleh perseorangan pada bidang perdagangan, produksi, persenjataan, dan sebagainya. Dalam sebuah persaingan pastilah ada yang menang dan yang kalah. Hal ini disebabkan oleh perbedaan/kesenjangan dalam kepemilikan modal. Seseorang yang sudah memiliki modal mumpuni akan dengan mudahnya mengungguli orang yang memiliki modal lebih sedikit ataupun tidak memiliki modal sama sekali. Hal ini akan menciptakan suatu hal yang kelak kita sebut sebagai kesenjangan sosial.

            Menurut Karl Marx, kepemilikan pribadi atas modal inilah yang bertanggung jawab atas terpecahnya masyarakat ke dalam kelas-kelas sosial yang terstratifikasi secara vertikal dimana kelas sosial yang lebih tinggi akan menindas kelas sosial yang lebih rendah. Dalam bidang ekonomi, sebagaimana menurut Marx, kepemilikan pribadi atas faktor produksi bertanggung jawab atas terbentuknya penindasan yang dilakukan oleh kelas pemilik modal terhadap kelas pekerja.

            Teori pembentukan kelas sosial berdasarkan kepemilikan modal ini tidak hanya dapat digunakan di bidang ekonomi, tapi bisa juga digunakan untuk menelaah proses pembentukan kelas sosial di dalam sebuah sistem pendidikan. Untuk memahami modal yang diperlukan untuk bersaing di arena pendidikan ini, kita bisa menggunakan teori dari Pierre Bourdieu. Menurut Bourdieu, tiap-tiap individu memiliki habitusnya masing-masing. Habitus ialah nilai-nilai sosial yang dimiliki manusia dari proses sosialisasi dalam kurun waktu yang lama, atau dapat kita persingkat menjadi latar belakang karakter manusia. Dalam dunia pendidikan, kita mengenal adanya murid yang rajin dan malas. Rajin atau malasnya murid adalah salah satu habitus atau karakter yang dimiliki manusia.

Selain habitus, Bourdieu juga mengajukan konsep kapital. Kapital adalah modal yang dimiliki oleh tiap-tiap individu yang dapat berupa kapital intelektual, kapital ekonomi dan kapital budaya. Ketiga kapital ini saling mempengaruhi satu sama lain. Seorang anak yang terlahir dari keluarga kaya bisa saja memiliki akses lebih kepada pendidikan yang mempengaruhi kapital intelektual si anak. Bisa saja seorang anak yang terlahir di keluarga kaya memiliki budaya malas karena semua kebutuhan hidupnya mudah terpenuhi. Bisa saja seorang anak yang terlahir di keluarga miskin memiliki budaya rajin karena terbiasa harus bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dan dari budaya rajin ini si anak tersebut bisa mendapat kapital intelektual. Masih banyak kemungkinan yang lain. Ketiga jenis kapital ini saja sudah dapat menciptakan perbedaan habitus yang kompleks sebagai bagian dari kepemilikan modal untuk bersaing di arena pendidikan.

            Pendidikan sebagai arena persaingan dapat dilihat dari adanya sistem nilai individu yang mana dari nilai ini seseorang mendapat tempatnya di kelas sosial tertentu. Jikalau hakikatnya manusia adalah sebagai makhluk sosial, maka sekolah adalah institusi pertama yang merusak hakikat manusia itu. Sekolah adalah arena persaingan pertama yang dikenal oleh anak-anak dan di sekolah lah anak-anak mengenal kelas-kelas sosial antara yang pintar dan yang bodoh. Dari perbedaan sosial ini pula muncul fenoma bullying di kalangan pelajar.

            Manusia pada hakikatnya memiliki kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Hakikat ini tidak dihormati sama sekali oleh kurikulum pendidikan kita. Sekolah menuntut muridnya untuk menguasai semua mata pelajaran tanpa memperhatikan bakat dan potensi yang dimilikinya. Sistem ini akan sangat menguntungkan bagi murid yang memiliki habitus rajin dan kapital intelektual yang tinggi karena mereka akan dengan mudah untuk menguasai atau mendapatkan “nilai” yang bagus di setiap mata pelajaran. Murid dengan habitus kurang rajin dan kapital intelektual rendah akan kesulitan untuk bertahan di dalam sistem ini dan menyebabkan potensi yang dimilikinya tidak dapat berkembang karena tidak diakomodir oleh kurikulum pendidikan. Disinilah kesenjangan sosial diciptakan oleh institusi pendidikan. Tidak semua murid ingin mempelajari semua mata pelajaran dan tidak semua mata pelajaran dibutuhkan oleh murid. Murid hanya ingin mempelajari apa yang dia ingin pelajari.

Keadaan ini diperparah dengan adanya kebijakan seleksi untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi menggunakan nilai-nilai individu seperti penerimaan siswa SMP dan SMA yang berdasarkan pada NEM dan penerimaan mahasiswa perguruan tinggi yang berdasarkan pada nilai SNMPTN ataupun SBMPTN. Kebijakan ini hanyalah mempertajam perbedaan antar pelajar dengan menyatukan mereka ke dalam kelas sosial yang sama. Hal ini dapat dilihat dari munculnya fenomena sekolah unggulan dan sekolah “tidak unggulan”. Bahkan di dalam kelas sosial yang sama, murid-murid itu dipaksa untuk bersaing lagi yang mana semakin memecah persatuan sosial dengan menciptakan lebih banyak lagi kelas-kelas sosial.

Maka tidak heran jika Indonesia kesulitan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyatnya karena sejak kecil kita sudah diajarkan untuk memiliki kesenjangan sosial. Pendidikan yang seharusnya menjadi arena pengembangan diri malah menjadi arena persaingan yang memecah persatuan sosial. Solusi dari masalah ini adalah dengan melakukan revolusi pendidikan dimana kurikulum yang memecah persatuan sosial dan menghalalkan penindasan diganti dengan kurikulum pendidikan yang berfokus pada pengembangan minat dan bakat murid. Kurikulum yang baru haruslah mengakui keberagaman minat dan bakat yang dimiliki oleh murid.

Lantas mengapa pemerintah, dalam hal ini kementerian pendidikan dan kementerian ristekdikti, tidak melakukan usaha apa-apa dalam menanggulangi perpecahan sosial ini ? Hal ini disebabkan karena negara bersama institusi-institusinya merupakan representasi dari kelas sosial yang dominan. Menurut Karl Marx, kelas sosial yang memiliki modal lebih akan memonopoli negara beserta institusi-institusinya untuk mempertahankan kekuasaan dari kelas sosial itu sendiri. Seperti yang kita ketahui, untuk bekerja pada kementerian-kementerian tersebut haruslah melalui proses seleksi yang mana hanya kelas sosial unggulan yang dapat lolos. Menteri-menteri kita pastilah murid-murid unggulan di sekolahnya dahulu dan oleh karena itu mereka enggan mengganti kurikulum yang sangat menguntungkan kelas sosial mereka.

Maka dari itu, ini merupakan tugas kita, kelas-kelas tertindas, untuk melawan sistem yang tidak adil ini. Ini merupakan tugas kita untuk mengembalikan pendidikan ke makna yang sebenarnya, yaitu sebagai wadah pengembangan dan bukan arena persaingan. Inilah cara kita, murid-murid yang dicap “bodoh”, untuk berkontribusi dalam majunya negara Indonesia. Masa depan bangsa ada di tangan kita, bukan di tangan mereka.

Kita bukanlah kelompok inferior, kita hanyalah kelompok yang termarginalkan oleh sistem yang busuk ini. Dan mereka bukanlah kelompok superior, mereka hanyalah kelompok yang diuntungkan dari sistem ini. Semua manusia ialah sama. Punya hak yang sama untuk mengembangkan minat dan bakatnya, punya hak yang sama untuk memilih apa yang ia ingin pelajari, dan punya hak yang sama untuk menentukan masa depannya sendiri.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun