Mohon tunggu...
Fandi Ahmad
Fandi Ahmad Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Teknik Geofisika

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Alam & Tekno

Megathrust Mengancam: Bagaimana Kita Bersiap Menghadapi Bencana Besar di Pesisir Selatan Jawa?

27 November 2024   20:10 Diperbarui: 27 November 2024   20:18 133
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Alam dan Teknologi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Anthony

Wilayah pesisir selatan Pulau Jawa menghadapi ancaman serius dari potensi gempa megathrust yang dipicu oleh aktivitas subduksi di Palung Jawa. Penelitian menunjukkan bahwa zona ini memiliki seismic gap atau celah seismik yang dapat memicu gempa besar dengan magnitudo hingga 9, disertai tsunami setinggi 20 meter di beberapa wilayah pesisir. Studi oleh Widiyantoro et al. (2020) mengungkapkan bahwa gempa megathrust di zona subduksi selatan Jawa dapat memicu tsunami dengan ketinggian maksimum hingga 20 meter dalam skenario terburuk. Dengan jarak yang sangat dekat antara zona subduksi dan garis pantai, tsunami dapat mencapai daratan dalam waktu singkat, sehingga waktu yang tersedia untuk evakuasi masyarakat pesisir sangat terbatas. Kondisi ini menimbulkan potensi kerusakan masif, terutama di wilayah yang memiliki kepadatan penduduk tinggi.

Langkah mitigasi menjadi semakin mendesak, mengingat kawasan pesisir selatan Jawa merupakan rumah bagi jutaan penduduk. Sistem peringatan dini, edukasi masyarakat, serta perencanaan tata ruang berbasis risiko harus menjadi prioritas utama dalam mengurangi dampak bencana.

Apa Itu Gempa Megathrust dan Ancaman Gempa Megathrust?

Gempa megathrust adalah gempa besar yang terjadi di zona subduksi, yaitu area di mana satu lempeng tektonik bergerak di bawah lempeng lainnya. Zona subduksi di selatan Jawa terbentuk dari interaksi Lempeng Indo-Australia yang bergerak ke bawah Lempeng Eurasia. Penelitian oleh Fujii dan Satake (2013) menunjukkan bahwa zona seperti ini memiliki potensi untuk memicu tsunami besar, seperti yang terjadi di Jepang pada 2011.

Studi oleh Widiyantoro et al. (2020) menunjukkan bahwa zona subduksi di selatan Jawa memiliki potensi gempa megathrust dengan magnitudo hingga 8,9 di Jawa Barat dan 8,8 di Jawa Tengah serta Timur. Pemodelan tsunami dari skenario ini memperkirakan ketinggian rata-rata gelombang tsunami mencapai 4,5 meter di sepanjang pantai selatan Jawa, dengan puncak hingga 20 meter di beberapa lokasi. Wilayah seperti Cilacap, Pangandaran, dan Banyuwangi diidentifikasi sebagai area dengan risiko tinggi akibat rendahnya aktivitas seismik, yang menunjukkan adanya akumulasi energi di zona tersebut. Hasil penelitian ini menegaskan pentingnya upaya mitigasi untuk meminimalkan dampak bencana di wilayah pesisir selatan Jawa.

Bagaimana Kita Bisa Bersiap?

Mitigasi bencana adalah kunci untuk meminimalkan dampak gempa megathrust. Sistem Peringatan Dini Tsunami Indonesia (InaTEWS) perlu ditingkatkan agar mampu memberikan peringatan lebih cepat. Menurut penelitian Wang et al. (2023), penggunaan sensor tekanan dasar laut seperti yang diterapkan di jaringan S-net Jepang, memungkinkan deteksi perubahan tekanan air laut secara real-time. Jaringan S-net (Seafloor Observation Network for Earthquakes and Tsunami) adalah sistem pemantauan yang dipasang di dasar laut untuk mendeteksi gempa bumi dan tsunami secara real-time. Jaringan ini terdiri dari lebih dari 150 stasiun sensor yang tersebar di sepanjang dasar laut dekat zona subduksi Jepang, khususnya di wilayah Tohoku. Teknologi ini memberikan data tsunami sebelum gelombang mencapai pantai, sehingga memungkinkan peringatan dini yang lebih efektif. Sistem ini telah digunakan untuk memprediksi gelombang tsunami di wilayah Tohoku, Jepang, dengan akurasi tinggi, dan dapat diadaptasi untuk wilayah rawan tsunami seperti selatan Jawa

Edukasi masyarakat mengenai tanda-tanda alam sebelum tsunami sangat penting. Penelitian oleh Nakano et al. (2020) dari Disaster Prevention Research Institute, Kyoto University, menunjukkan bahwa kombinasi antara simulasi evakuasi dan pemahaman risiko berbasis konsensus dapat meningkatkan kesiapan masyarakat secara signifikan. Di Indonesia, program serupa masih terbatas, terutama di wilayah pesisir selatan yang padat penduduk.

Menurut penelitian oleh Grezio et al. (2017), perencanaan tata ruang berbasis risiko memainkan peran penting dalam meminimalkan dampak tsunami terhadap kehidupan manusia dan infrastruktur. Probabilistic Tsunami Hazard Analysis (PTHA) memungkinkan identifikasi daerah berisiko tinggi dengan menggunakan model probabilistik. Selain itu, data historis dari tsunami sebelumnya yang digabungkan dengan prediksi model dapat memperkuat akurasi dalam penentuan lokasi rawan bencana. Studi tersebut menekankan pentingnya menggunakan model probabilistik untuk memprediksi tingkat kerusakan dan dampak bencana tsunami berdasarkan parameter fisik seperti ketinggian gelombang dan kedalaman aliran air. Pesisir selatan Jawa, dengan topografi dataran rendah, sangat rentan terhadap gelombang tsunami. Oleh karena itu, diperlukan rute evakuasi yang jelas serta titik pengungsian yang ditempatkan di lokasi yang lebih tinggi dan aman. Selain itu, perlindungan infrastruktur dengan standar bangunan tahan gempa dapat secara signifikan mengurangi korban jiwa dan kerusakan material.

Menghadapi Ketidakpastian Gempa Megathrust

Prediksi waktu dan lokasi gempa megathrust masih menjadi tantangan besar dalam dunia sains. Namun, data geodetik dan seismik memberikan gambaran penting tentang zona dengan risiko tinggi. Penelitian Widiyantoro et al. (2020) menunjukkan bahwa slip deficit di beberapa segmen zona subduksi selatan Jawa mencerminkan potensi besar untuk gempa besar di masa depan.

Fenomena slow slip event, yang merupakan pelepasan energi secara perlahan di zona subduksi, sering dianggap dapat mengurangi tekanan yang terakumulasi dan mengurangi risiko terjadinya gempa besar. Namun, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Widiyantoro et al. (2020), hingga saat ini belum ditemukan bukti yang menunjukkan bahwa slow slip event terjadi di zona subduksi selatan Jawa. Penelitian ini menyoroti bahwa zona subduksi di kawasan tersebut justru menunjukkan tanda-tanda akumulasi energi yang besar, yang diindikasikan oleh keberadaan seismic gap. Seismic gap ini menjadi salah satu indikator utama bahwa energi yang terakumulasi belum dilepaskan secara signifikan, sehingga potensi gempa megathrust di kawasan ini tetap tinggi dan harus menjadi perhatian utama dalam mitigasi bencana.

Ancaman gempa megathrust di pesisir selatan Jawa bukanlah sesuatu yang dapat diabaikan. Dengan lokasi geografis yang rentan dan tingginya populasi di wilayah tersebut, risiko bencana ini menjadi tantangan besar yang harus dihadapi bersama. Penting bagi pemerintah, peneliti, dan masyarakat untuk bersinergi dalam meningkatkan kesiapan menghadapi bencana, baik melalui penguatan sistem peringatan dini, edukasi yang berkelanjutan, maupun pembangunan infrastruktur yang tangguh. Penelitian-penelitian terbaru memberikan landasan ilmiah yang kuat untuk memahami risiko dan langkah mitigasi yang dapat diambil. Ketika tanda-tanda bencana muncul, kesiapan yang matang adalah kunci utama untuk melindungi nyawa dan memastikan keberlanjutan kehidupan di kawasan pesisir selatan Jawa.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Lihat Ilmu Alam & Tekno Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun