Mohon tunggu...
Fana Insanu
Fana Insanu Mohon Tunggu... -

Fana Mustika Insanu adalah seorang mahasiswa jurusan Ilmu Ekonomi dan Studi Pembangunan Universitas Diponegoro. Saat ini, ia menjabat sebagai Pemimpin Redaksi Lembaga Pers Mahasiswa (LPM) Edents FEB Undip.

Selanjutnya

Tutup

Money

Perekonomian Indonesia dalam Belenggu "Capital Intensive"

19 April 2018   20:40 Diperbarui: 21 April 2018   01:26 2436
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Indonesia merupakan salah satu negara dengan jumlah penduduk terpadat di dunia. Terhitung hingga tahun 2017, jumlah penduduk di Indonesia telah menyentuh angka 261 juta jiwa. Angka tersebut sukses membuat Indonesia bertengger di urutan keempat sebagai negara dengan jumlah penduduk terbanyak di dunia, tepat dibawah Cina, India, dan Amerika Serikat. 

Belum lagi, berdasarkan proyeksi yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), Indonesia akan mengalami bonus demografi pada rentang tahun 2020 hingga 2030, dimana terdapat ledakan jumlah penduduk usia produktif (usia 16-74 tahun) hingga 70 persen pada rentang waktu tersebut. Kondisi populasi penduduk Indonesia yang 'meledak' dan berlimpah ini dapat menjadi sebuah anugerah, namun secara simultan juga dapat menjadi ancaman apabila tidak diimbangi dengan kondisi perekonomian yang kondusif.

Berangkat dari kondisi tersebut, tidak mengherankan apabila pemerintah Indonesia pada era Presiden Joko Widodo mengeluarkan segenap kebijakan berisi 'sinyal' yang mengarah pada pembangunan program padat karya. Beberapa bukti otentik dari 'sinyal' tersebut diantaranya muncul dari sebuah mandat presiden kepada Kementerian Koordinator Bidang Pemberdayaan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) terkait alokasi dana desa yang dianggarkan dalam APBDes. Dalam anggaran desa tersebut, sebanyak 20 persen harus dialokasikan untuk pembangunan program padat karya. Selain itu, sinyal kebijakan pembangunan program padat karya juga terlihat dari adanya program 'pembenahan' sekolah vokasi di berbagai perguruan tinggi, yang tujuannya semata-mata untuk meningkatkan skill sumberdaya manusia agar memiliki bargaining power yang kuat bagi tenaga kerja Indonesia.

Berbagai sinyal kebijakan tersebut membuktikan bahwa pemerintah Indonesia telah menyadari betul kondisi bonus demografi yang kelak dialami Indonesia dapat dimanfaatkan sebagai 'senjata' untuk mengakselerasi pertumbuhan ekonomi Indonesia di masa mendatang. Sebuah permasalahan muncul ketika pemerintah Indonesia tidak dapat menyiapkan kondisi perekonomian yang kondusif untuk menyambut kedatangan bonus demografi tersebut, salah satunya adalah tidak tersedianya lapangan kerja yang memadai. 

Salah satu dari sekian banyak penyebab minimnya ketersediaan lapangan kerja adalah maraknya substitusi tenaga kerja oleh teknologi (dalam hal ini mesin) di beberapa industri produktif. Perkara substitusi ini bukan tanpa alasan, melainkan karena memang sudah menjadi 'tradisi' dari adanya perkembangan zaman, dimana teknologi terus mengalami improvisasi.

Teknologi, yang kerap diproksikan sebagai mesin, dianggap dapat membuat kegiatan produksi menjadi lebih efisien, baik dari segi waktu pengerjaan yang minim hingga output yang meningkat. Kondisi yang dianggap 'lebih efisien' ini menimbulkan dua fenomena; Pertama adalah perusahaan yang semula faktor produksinya berorientasi pada tenaga kerja manusia (labour intensive) bergeser mensubstitusinya melalui penggunaan mesin (capital intensive); Kedua adalah perusahaan yang memang pada awalnya sudah capital intensive seperti layaknya industri hulu dituntut semakin 'capital'. Fenomena ini terjadi bukan karena semata mata perusahaan mengikuti trend teknologi yang berlaku, namun untuk menyelamatkan dirinya pada persaingan yang terjadi. Semua kembali lagi, karena embel-embel efisiensi. Lantas muncul pertanyaan esensial, apakah benar capital intensive benar-benar lebih efisien daripada labour intensive?

Faktor Produksi dan Konsep Efisiensi dalam Ekonomi

Sebelum menjawab pertanyaan diatas, penulis mengajak anda untuk memahami terlebih dahulu mengenai fungsi produksi dan makna 'efisien' dalam ilmu ekonomi. Everett dan Erbert (1992) mendefinisikan faktor produksi sebagai suatu kegiatan untuk menciptakan atau menambah kegunaan suatu barang, mengubah sesuatu yang nilainya lebih rendah menjadi sesuatu yang memiliki nilai lebih tinggi (output) dengan menggunakan sumber daya yang ada (input). Pada tulisan ini, penulis mengajak anda untuk berasumsi bahwa faktor produksi terdiri dari dua macam, yaitu mesin (capital) dan tenaga kerja (labour). 

Mesin dan tenaga manusia dikombinasikan dan diberdayakan untuk mencapai suatu tingkat output tertentu, yang dimana kombinasi tersebut kerap digambarkan dalam kurva isoquant. Besaran atau jumlah kombinasi penggunaan diantara masing-masing variabel tersebut merupakan keputusan suatu produsen, dengan menghasilkan output yang sama. 

Contoh, asumsinya adalah apabila produsen rokok ingin memproduksi 1000 linting rokok, maka ia membutuhkan 2 mesin dan 100 tenaga kerja. Namun seiring berjalannya waktu, kombinasi diantaranya dapat diubah, produsen tersebut meminimalisir penggunaan mesin, yaitu 1 mesin. Implikasinya, produsen tersebut harus mem-backup dengan cara menambah tenaga kerja menjadi 200 untuk menghasilkan 1000 linting rokok.

Setelah memahami makna fungsi produksi, penulis mengajak anda untuk memahami makna efisiensi dalam ilmu ekonomi. Terdapat beberapa teori yang dapat menjelaskan makan efisiensi dalam ekonomi, salah satunya adalah efisiensi pareto optimum. Stiglitz dan Hayman (2008) mengatakan bahwa efiensi pareto optimal adalah suatu kondisi dimana sudah tidak memungkinkan lagi mengubah alokasi sumberdaya (dalam hal ini adalah input atau faktor produksi) untuk meningkatkan kesejahteraan suatu pelaku ekonomi tanpa mengorbankan kesejahteraan pelaku ekonomi lainnya. 

Pernyataan tersebut dapat diadopsi ke dalam ekonomi mikro, yang dimana dalam hal ini membahas tentang proses produksi. Hal ini selaras dengan pernyataan mengenai kombinasi fungsi produksi yang telah disebutkan, bahwa untuk meningkatkan kesejahteraan (dalam hal ini output yang meningkat), maka produsen harus mengorbankan salah satu diantara faktor produksi (input) tersebut. 

Satu ditingkatkan dan satu lagi dikurangi. Apabila keduanya ditambahkan secara bersamaan, maka produksi tersebut dikatakan tidak efisien karena terdapat batasan anggaran atau isocost, yang menyebabkan biaya untuk produksi melebihi proyeksi penerimaan dari penujualan barang tersebut. Singkatnya, produsen tersebut akan rugi.

Efek Surgawi bagi Produsen Penganut Capital Intensive

Capital Intensive atau Padat Modal merupakan industri yang dalam kegiatan produksinya ditunjang oleh modal dan teknologi yang tinggi. Dalam tulisan ini, penulis menggunakan asumsi mesin sebagai proksi dari kapital. Umumnya, metode capital intensive ini digunakan oleh berbagai industri dasar atau industri hulu yang menghasilkan barang elektronik, logam dasar, dan lainnya.  

Capital intensive ini memiliki kelebihan diantaranya adalah dapat menghasilkan output yang optimum dengan biaya produksi yang relatif lebih rendah. Selain itu, dari segi pemanfaatan waktu, kapital atau mesin dapat melakukan produksi yang relatif lebih cepat dibandingan dengan tenaga kerja manusia. Karena yang bekerja adalah mesin, jam kerja dapat ditambah dan 'dieksploitasi', tidak seperti manusia yang memiliki keluhan 'lelah', protes, atau tuntutan uang lembur. Terlebih lagi, dengan penggunaan mesin, produktivitas akan tinggi, stabil, dan kualitasnya dapat dipertanggungjawabkan.

'Efek surgawi' lainnya yang dirasakan produsen dalam penggunaan mesin adalah mereka dapat terhindar dari masalah-masalah perburuhan yang 'mengganggu' dan berbiaya tinggi dalam proses penyelesaiannya. Dengan segala kelebihan dan efek surgawi yang dirasakan produsen dalam penggunaan mesin dapat dikatakan hamper tidak memiliki celah kekurangan. Jikalau ada hal yang paling merepotkan bagi para penganut capital intensive, hal tersebut adalah modal awal yang besar untuk membeli mesin-mesin tersebut. 

Namun, permasalahan tersebut dapat diatasi oleh kredit atau pinjaman, yang dimana dalam jangka waktu tertentu mengingat produktivitas mesin yang amat tinggi, hal tersebut dapat diatasi dengan mudah. Investasi dan pembelian mesin untuk produksi menjadi sebuah hal yang worth it untuk dilakukan. Jika sudah seperti ini kondisinya, ditambah dengan orientasi perusahaan yang selalu berusaha untuk memaksimalkan profit, rasanya labour intensive sudah tidak lagi memiliki tempat di dalam pikiran mereka.

Labour Intensive menjadi 'Obat' bagi Ledakan Pengangguran

Setelah menyadari betapa 'surgawinya' capital intensive di mata produsen, kita menyadari bahwa labour intensive seakan menjadi hal tersier yang eksistensinya tidak diperlukan dan tidak layak diperjuangkan. Namun, semua kondisi diatas berasaskan pada asumsi ekonomi pasar yang didalamnya menjadikan 'kapital' sebagai tuhan dan berorientasi penuh pada profit. 

Kondisi diatas terlihat masuk akal dan 'wajar saja untuk dilakukan' apabila kita menggunakan asumsi ekonomi pasar. Sedangkan, apabila kita berbicara Indonesia, tentu kita mengetahui bahwa hal tersebut jauh dari kata 'wajar untuk dilakukan' karena mengabaikan nilai-nilai kekeluargaan dan kesejahteraan rakyat yang diagungkan dalam pasal 33 UUD 1945.  

Terlebih lagi, seperti yang telah penulis sampaikan di awal tulisan bahwa kondisi penduduk Indonesia yang 'tumpeh-tumpeh' dan kelak mengalami bonus demografi membuat capital intensive seakan menjadi tidak relevan, dalam hal ini, untuk Indonesia.

Bonus demografi, yang alih-alih menjadi senjata bagi akselerasi pertumbuhan ekonomi Indonesia, justru dapat menjadi momok mencekam yang dapat mengancam perekonomian Indonesia apabila capital intensive merajalela menutupi metode labour intensive. Selaras dengan apa yang dikatakan oleh Solow (1956) bahwa salah satu yang menjadi kunci dari pertumbuhan ekonomi adalah tenaga kerja. 

Artinya, apabila ledakan jumlah penduduk produktif Indonesia tidak diimbangi dengan lapangan kerja yang memadai, substitusi tenaga kerja terhadap mesin yang terus menerus, dan pola pikir produsen yang tidak memperhatikan nilai-nilai kekeluargaan, maka implikasinya adalah melonjaknya tingkat pengangguran. Sederhananya, ledakan penduduk produktif yang dialami oleh Indonesia akan menjelma menjadi ledakan pengangguran. Ledakan pengangguran, tentu akan menjelma menjadi efek negasi bagi pertumbuhan ekonomi Indonesia.

Pada kondisi inilah kita melihat peran labour intensive bekerja. Program padat karya dan industri berbasis labour intensive berperan untuk 'mewadahi' tenaga kerja yang berlebihan di Indonesia. Salah satu contoh upaya pemerintah adalah alokasi dana desa, transfer daerah, atau kredit usaha rakyat (KUR) yang diharapkan dapat 'menjantankan' UMKM atau industri-industri padat karya dapat menyerap tenaga kerja yang cukup besar. Atas perspektif dari kondisi ini, kita dapat melihat bahwa labour intensive berpotensi menjadi senjata ampuh bagi akselerasi pertumbuhan ekonomi Indonesia dan menjelma menjadi obat ampuh atas permasalahan ledakan pengangguran.

Ilmu Ekonomi adalah Ilmu Memilih

Berdasarkan apa yang penulis paparkan, kita semua mengetahui bahwa akan selalu terjadi trade-off di setiap kegiatan ekonomi, tak terkecuali dalam hal penentuan input dan faktor produksi. Merujuk kepada hakikat fundamental bahwa ilmu ekonomi tercipta karena adanya scarcity (kelangkaan) yang disebabkan oleh ketidakseimbangan antara sumberdaya yang terbatas dan kebutuhan manusia yang tidak terbatas, manusia memang seakan diciptakan untuk dapat memilih. Memilih agar alokasi sumberdaya dapat memenuhi kebutuhan manusia secara efisien. Begitupula dengan konsep efisiensi pareto optimal yang mengatakan bahwa manusia tidak dapat meningkatkan kesejahteraannya tanpa mengurangi kesejahteraan manusia lain. Hal ini, dapat disintesiskan bahwa kita sebagai manusia harus dapat memilih mana yang paling bijaksana untuk diambil.

Terkait dengan capital atau labour intensive, mengenai 'mana yang lebih baik' atau 'mana yang harus dikorbankan' juga menjadi perkara yang melibatkan hakikat ilmu ekonomi sebagai ilmu memilih. Tentunya, untuk menentukan mana yang lebih baik dan mana yang dikorbankan harus melalui berbagai pengamatan kompleks yang meliputi aspek sosial, hukum, dan aspek ekonomi itu sendiri. Sederhananya, harus memahami kondisi lingkungan dan masyarakat untuk dapat menilai mana yang lebih baik dan mana yang lebih fit untuk diterapkan di Indonesia.

Sudah menjadi hukum alam bahwa modernisasi akan selalu terjadi di setiap sendi kehidupan manusia. Namun, hal yang menjadi perhatian disini adalah kita semua manusia, bukan mesin. Jika manusia berpikir seperti mesin, maka sulit mengatakan bahwa alih teknologi tersebut tidak menguntungkan bagi manusia. Seperti yang penulis paparkan diatas, bahwa alih teknologi tersebut memberikan 'efek surgawi' yang luar biasa pada produsen, membuat segalanya menjadi lebih menguntungkan. Tetapi disinilah aspek sosial bekerja, bahwa manusia dianugerahkan rasa empati dan hati nurani. 

Sederhananya, apabila kita berpikir sebagai manusia dengan hati nurani, bukan sebagai manusia yang mengutamakan profit, pasti mengatakan bahwa alih teknologi dan capital intensive yang berlebihan tidaklah benar. Karena cepat atau lambat, semakin banyak manusia yang tergerus di dalamnya.

Senada dengan aspek sosial, apabila kita merujuk kepada aspek hukum, yakni UUD 1945 Pasal 33 ayat 1 yang mengatakan bahwa perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan, semakin menguatkan bahwa pentingnya sisi humanisme dalam sektor perekonomian. 'Asas kekeluargaan' merupakan pernyataan yang paling lengkap untuk mengungkapkan bahwa kepedulian antar masyarakat adalah penting. Rakyat Indonesia, tidak bisa menutup mata akan dampak yang terjadi kepada mereka yang terenggut haknya atas capital intensive yang membelenggu.

Pemerintah sebagai Regulator

Penulis menyadari bahwa modernisasi adalah sebuah kepastian. Tidak mengikuti perkembangan zaman akan menyebabkan manusia hidup dalam stagnasi dan ketertinggalan. Namun, sebagai seorang jurnalis, penulis terbiasa untuk berpikir cover both side, yakni mencari cara agar proporsi perusahaan labour intensive seimbang dengan capital intensive. Menjadi kedua hal yang bersifat komplementer, bukan substitusi.

Disinilah intervensi dan peran pemerintah diperlukan. Pemerintah, yang berperan sebagai regulator, harus 'mengenal lebih dalam' mengenai kondisi perekonomian negaranya di masa sekarang maupun masa mendatang. Merujuk kepada aspek terakhir, yakni aspek ekonomi yang salah satunya telah dipaparkan diatas mengenai bonus demografi yang akan dialami Indonesia, seharusnya sudah memahami betul apa langkah yang seharusnya dilakukan. 

Pemerintah sudah seharusnya menciptakan job opportunity baru yang memadai bagi tenaga kerja manusia, mengingat beberapa jenis pekerjaan telah tergantikan oleh capital (mesin). Penciptaan job opportunity ini bukan semata-mata untuk mewadahi tenaga kerja yang menganggur, tetapi juga untuk dijadikan senjata ampuh dalam peningkatan akselerasi pertumbuhan ekonomi Indonesia. Mengingat bonus demografi adalah momen yang langka.

Satu hal lagi yang penting untuk diperhatikan, bahwa penciptaan job opportunity yang baru juga harus diimbangi dengan perbaikan kualitas sumberdaya manusia. Melalui pendidikan, konvensional maupun non-konvensional, dapat meningkatkan bargaining power dari tenaga kerja. 

Tidak menutup kemungkinan apabila kualitas sumberdaya manusia yang baik, dapat menciptakan job opportunity dengan sendirinya. Contoh sederhananya adalah maraknya kemunculan entrepreneur muda. Namun, itu semua tentu juga harus secara simultan dengan rangsangan dari pemerintah sebagai regulator.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun