Mohon tunggu...
Farhan Abdul Majiid
Farhan Abdul Majiid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Alumnus Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia | Alumnus SMA Pesantren Unggul Al Bayan | Penikmat Isu Ekonomi Politik Internasional, Lingkungan Hidup, dan Kajian Islam

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Hoax dan Kejernihan Berpikir

19 Januari 2017   17:23 Diperbarui: 19 Januari 2017   17:47 1347
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Tulisan ini bukan untuk menyindir ataupun menyerang kelompok tertentu. Apalagi diikutsertakan dalam keriuhan pesta politik Pemilukada. Tulisan ini hanya untuk mengungkapkan bahwa "hoax" ada di sekitar kita dan menjadi kewajiban bagi kita untuk mengenyahkannya."

Hoax dan Kejernihan Berpikir

Dengan berbagai kemudahan mengakses internet yang ada, rupanya bila tidak diimbangi dengan adab berinteraksi maya yang baik, timbullah penyakit. Penyakit itu merisaukan banyak orang, mulai dari pengguna media sosial biasa  hingga Presiden. Ia menyebar dengan cepat, secepat me-retweet dan repost di media sosial. Penyakit hoax ini banyak yang sampai melumpuhkan kejernihan berpikir.

Bila kita teliti, fenomena hoax ini mulai terasa pada saat pemilihan presiden 2014 lalu. Dengan ketiadaan calon pejawat, masyarakat dihadapkan pada dua pilihan yang berseberangan. Prabowo Subianto berasal dari kalangan militer, memimpin kendaraan Partai Gerindra, dan membawa kesan wibawa. Calon lainnya, yang menang dan kini jadi Presiden, Joko Widodo, berasal dari kalangan pengusaha, sebatas kader PDIP, dan membawa kesan sederhana. Setidaknya tiga perbedaan ini yang tampak di publik. Perbedaan ini kemudian banyak diolah menjadi kabar hoax oleh masing-masing pendukung.

Kabar hoax pada saat itu berpola sama. Dari kubu manapun, pasti berisi antara dua hal, yakni mengagungkan kubu sendiri dan menjatuhkan kubu lawan. Berita-berita hoax ini amat disenangi oleh masing-masing kubu. Biasanya disebarkan menjadi pesan broadcast di laman media sosial seperti Facebook, Twitter, ataupun Grup WhattsApp.

Formulasi berita hoax sebenarnya mudah ditebak. Pertama, judul berita pasti memiliki tendensi terhadap kelompok tertentu. Kedua, judul itu bersifat bombastis, provokatif, dan menghebohkan. Ketiga, terkadang disertai dengan pesan untuk segera dibagikan dan disuka. Keempat, dalam banyak kesempatan, dicatut pula nama tokoh atau lembaga tertentu, untuk membuat kesan meyakinkan. Kelima, situs yang menyebarkan biasanya bukan situs resmi, atau terkadang plesetan dari situs resmi (misal resminya .com dibuat situs serupa .co.id). Terakhir, isi berita seringkali tidak berbobot dan tanpa disertai data dan fakta.

Meski formulasi hoax itu mudah ditebak, terkadang kita malas untuk meneliti keabsahan suatu informasi. Banyak dari kita yang bergitu mudahnya percaya dengan judul dan kepala berita. Penyakit malas membaca dan meneliti bacaan ini yang membuat banyak orang dengan mudahnya membagikan berita begitu saja tanpa ada verifikasi ataupun klarifikasi. Informasi ditelan mentah-mentah tanpa diolah. Hasilnya, informasi yang disebar seharusnya masuk keranjang sampah.

Mudahnya penyebaran hoax terkadang dibantu oleh akun-akun palsu si pembuat hoax. Di twitter misalnya, banyak sekali akun yang anonim, baru hidup sekian hari, tweet masih sedikit, follower pun masih dihitung jari, namun dia menyebarkan berita-berita hoax, untuk kepentingan tertentu. Kadang kala juga dimanfaatkan untuk mengerek tagar tertentu agar menjadi Trending Topic. Hal ini menjadi lumrah, agar berita itu mendapat atensi lebih luas karena menjangkau lebih banyak pengguna.

Mungkinkah hoax disebarkan secara resmi?

Sangat mungkin. Kabar palsu, bisa saja disebarkan secara resmi oleh oknum media massa ataupun pejabat tertentu. Tentu dengan tujuan utama menyelamatkan muka yang dilindungi dari kabar itu. Atau setidaknya membentuk opini buruk terhadap pihak yang diserang. Dengan demikian, tertangkislah kabar buruk mengenai pemerintah dan citra pemerintah dapat tetap terjaga.

Hal ini rupanya lumrah terjadi. Kabar hoax yang dibuat oleh pemerintah secara resmi biasanya digunakan untuk melegitimasi aksi pemerintah. Di negara Amerika Serikat misalnya, pada waktu Presiden Bush Jr. hendak menyerang Afghanistan, untuk melegitimasi perbuatannya tersebut, disebarkanlah kabar kepemilikan senjata pemusnah massal Osama bin Laden. Padahal, hingga kini, keberadaan senjata itu tak pernah terbukti.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun