Mohon tunggu...
Farhan Abdul Majiid
Farhan Abdul Majiid Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Alumnus Ilmu Hubungan Internasional FISIP Universitas Indonesia | Alumnus SMA Pesantren Unggul Al Bayan | Penikmat Isu Ekonomi Politik Internasional, Lingkungan Hidup, dan Kajian Islam

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama FEATURED

Refleksi Banjir Jakarta, Ubah Cara Pandang Kita Hidup di Tengah Kota

2 Januari 2020   12:44 Diperbarui: 7 Desember 2021   06:10 3952
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tampilan banjir Jakarta di kawasan Kampung Melayu, Jakarta Timur, dari helikopter yang mengangkut Kepala BNPB Doni Monardo dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, saat mereka meninjau kondisi banjir terkini pada Rabu (1/1/2020).(DOKUMENTASI BNPB)

Meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca, khususnya CO2 dan CH4, menyebabkan panas yang diterima oleh bumi, semakin tinggi yang diperangkap oleh atmosfer. Panas yang besar itu kemudian disimpan, paling banyak, di lautan dan samudera. Suhu air laut kemudian akan ikut naik. Di kutub, gunung es banyak yang mencair.

Di tempat lainnya, fluktuasi suhu menyebabkan fluktuasi tekanan udara, sehingga angin menjadi abnormal. Penguapan pun semakin cepat, membentuk sistem perawanan yang terus membesar. Ia pun dibawa angin dan tiba di Jakarta, juga di seluruh dunia.

Maka, dampak dari naiknya suhu 0,1C saja bisa mengubah keseimbangan iklim. Apalah lagi sudah naik 1,2-1,3C. Bisa dibayangkan akibatnya.

Iklim yang berubah, otomatis cuaca juga semakin tak menentu. Kita akan semakin sering dihadapkan pada kondisi ekstrem. Entah kemarau ekstrem dua bulan yang lalu, atau hujan ekstrem seperti dalam sepekan terakhir. Kalau sudah begitu, bakal semakin sering terjadinya bencana seperti banjir ini. Juga kekeringan saat kemarau.

Itu baru di tingkatan global. Sekarang kita masuk ke level nasional. Pembangunan kita masih saja tidak berkelanjutan.

Banjir yang ada di Jakarta setidaknya mengisyaratkan pada kita, bahwa betapa pun rumitnya birokrasi yang dibuat manusia, mekanisme alam tidak akan peduli hal itu.

Alam tidak mengenal batas administrasi. Alam tidak peduli partai apa yang berkuasa. Alam tidak memikirkan siapa yang jadi Presiden, Gubernur, Walikota, Bupati, Camat, Lurah, hingga pak RW dan RT.

Kalau sudah begini, yang mesti dibenahi ialah cara berpikir mengenai pembangunan. Kita masih saja terjebak dengan doktrin pembangunan menuju lepas landas yang ditulis tahun 1960an, dalam konteks perang dingin, dan faktor lingkungan hanya dijadikan ceteris paribus.

Negara bisa dikatakan maju jika pertumbuhan ekonominya double digit. GDP per kapitanya belasan ribu dollar. Industrialisasi di segala lini. Maka, membabat habis hutan tidak menjadi masalah, yang penting ekonomi tumbuh.

Pabrik tidak pakai AMDAL tidak mengapa, yang penting lapangan kerja banyak. Membuat gedung kalau perlu tidak pakai IMB, karena akan menghambat investasi.

Ya, memang, ekonomi akan tumbuh, tapi sampai berapa lama? 5 tahun? 10? 20? 50? Sudah itu? Bencana akan terjadi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun