Mohon tunggu...
Rita Mf Jannah
Rita Mf Jannah Mohon Tunggu... Freelancer - Pelaku Pasar Modal, Pengamat Pendidikan, Jurnalis, Blogger, Writer, Owner International Magazine

Menulis sebagai sebuah Kebahagiaan dan Kepuasan, bukan Materi

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Buang Sampah Sembarangan, Wani Piro?

15 Oktober 2021   10:53 Diperbarui: 15 Oktober 2021   10:57 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Perilaku buang sampah sembarangan (pic: istimewa)

Zat-zat kimia yang dilepaskan sampah plastik di air sangat membahayakan sebab mengandung elemen beracun, bahkan satwa air bisa mati terjerat jika menelannya karena bongkahan plastik menyumbat saluran pencernaan

Sampah itu lagi.

Dan aku kembali memungutnya dari sungai, memasukkan ke plastik besar, lalu meletakkannya di depan pagar rumah agar sore harinya diambil oleh petugas pemungut sampah.

Iuran yang ditagih tiap bulan bukanlah hal yang kukeluhkan, tapi jika sudah membayar iuran sampah, namun juga harus memunguti sampah yang dibuang tetanggaku, itulah yang menjengkelkanku. Menenggelamkanku dalam prosa liris lingkungan "wani piro?".

Perilaku kurang sadar sampah

Bukan hanya sehari dua hari, atau sebulan dua bulan, perilaku buang sampah tetanggaku telah berlangsung bertahun-tahun. Entah mengapa bisa ada orang yang sangat jorok dan kurang wawasan tentang lingkungan. Tidak memiliki kesadaran bahwa tinggal di lingkungan rawa-rawa pastinya akan sangat tidak nyaman bila ada sampah lewat. Tragis dan sungguh kasihan, sebab kesadaran tentang dampak negatif sampah tak kunjung hinggap di kepalanya.

Kurangnya pemahaman bahwa membuang sampah plastik sembarangan di sungai-sungai akan mengakibatkan pendangkalan dan penyumbatan aliran sungai sebagai penyebab banjir, mungkin itu yang menjadi penyebab perilaku buang sampah sembarangannya kian menjadi-jadi. Tanpa rasa bersalah, apalagi rasa berdosa, bahkan sepertinya tak sedikitpun terlintas di pikirannya tentang bagaimana nasib sungai bila mendapat kiriman sampah terus menerus. 

Pada awalnya pasangan suami istri beserta anak-anaknya itu membuang sampah hanya bungkus plastik bekas gorengan, namun seiring hari segala macam bekas kaleng minuman soda, bekas jerigen oli, dan segala macam sampah yang berbahaya bagi biota air rutin dibuang ke sungai. Sedikit demi sedikit, lama-lama menjadi bukit, kalau yang menjadi bukit adalah tumpukan emas permata mungkin tidak menjadi masalah, namun bila tumpukan sampah, mana tahan!

Bahaya polusi plastik di air

Seandainya keluarga itu membaca penelitian sekelompok ilmuwan University of Geneva pada 2016 di bbc.com(10/05/2018), bahwa zat-zat kimia yang dilepaskan plastik-plastik di air sangat membahayakan karena mengandung elemen beracun seperti cadmium, merkuri, dan timbal, mungkin mereka tidak akan buang sampah sembarangan.

Akibat perilaku buang sampah sembarangan, terutama plastik, membuat dunia kita saat ini berada dalam posisi tidak nyaman. Polusi plastik buangan manusia, terbukti nyata mulai dari mikroplastik di dasar sungai, hingga berujung pada kumpulan plastik di samudera.

Keberadaan sampah plastik di dalam air, terutama di pesisir laut, danau, dan sungai sering menarik perhatian satwa air hingga menelannya, akibatnya asam lambung mereka akan berupaya mencerna plastik secepat mungkin. Maka bisa dibayangkan saat bongkahan plastik menyumbat saluran pencernaan mereka,  satwa air bisa mati terjerat.

Segala macam cara telah ditempuh agar ada kesadaran tetanggaku untuk tidak membuang sampah sembarangan, namun tetap tak membuahkan hasil, seakan-akan telinga telah menjadi tuli, bahkan makin agresif membuang, seolah-olah psikopat. Tak sadar imbas sampah plastik dan konsekuensi jangka panjangnya terhadap ekologi. Sehingga terkadang sempat berpikir tentang sikap orang tersebut, benarkah sedemikian tidak paham, bebal, atau jangan-jangan gangguan kejiwaan? 

Sama-sama membayar iuran sampah, namun mengapa justru sampahnya dibuang ke sungai, benarkah sebagai sebuah kesengajaan agar mata yang memandang terganggu? Atau sebagai ajang pamer yang kekanak-kanakan, sebab seringkali bukan hanya sampah yang dibuang, tapi juga beragama makanan. Alamaaak..... sungai menjadi ajang pamer karena ingin disebut mampu membeli segalanya? atau jangan-jangan menyediakan sesajian untuk penghuni-penghuni bawah air?

Mungkin jika  yang dibuang adalah makanan saja, tidak menjadi masalah bagi sungai, sebab hewan-hewan biota air akan memakannya. Namun bila yang dibuang adalah sampah berbahan plastik ataupun bahan lain yang sulit terurai oleh alam, seperti bungkus gorengan, masker, diapers, jerigen bekas oli, plastik bekas obat kuat, bahkan (maaf) bekas alat kontrasepsi pun terapung-apung, bukankah selain menjijikkan, kotor, lama kelamaan akan membuat sungai dangkal?

Jika seluruh sampah telah dibuang ke sungai, lalu yang dibuang ke tempat sampah mereka sendiri apa ya? Bukankah tiap bulan membayar iuran sampah? Sungguh aneh bin ajaib. Aneh karena ketika ada orang lain sibuk memunguti sampah di sungai akibat prilaku buang sampah sembarangan dari keluarga tersebut, namun ajaib sebab sampah tak pernah habis dipunguti karena setiap hari terus menerus  mereka buang.

Diperlukan kesadaran tingkat tinggi agar memahami bahwa sampah yang menumpuk dan tercampur dengan air sungai akan dihinggapi lalat dan menjadi sarang nyamuk, sehingga bisa menyebabkan masyarakat sekitarnya terserang diare, demam berdarah, dan lainnya. Selain itu air sungai akan tercemar, baik dari warna, bau dan rasa. Bahkan di musim penghujan, penumpukan sampah  dapat menghambat aliran sungai yang menyebabkan air sungai meluap hingga terjadi banjir.

Banyaknya plastik yang hanyut di laut diyakini pada awalnya berasal dari air tawar alias sungai, plastik-plastik di dasar sungai itulah yang kemudian menghasilkan elemen beracun selama puluhan tahun mendatang. Dampaknya sungguh mengerikan bagi keberlangsungan biota air dan generasi berikutnya.

Jadi kapankah kesadaran tentang sampah itu datang? Entahlah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun