Mohon tunggu...
Rita Mf Jannah
Rita Mf Jannah Mohon Tunggu... Freelancer - Pelaku Pasar Modal, Pengamat Pendidikan, Jurnalis, Blogger, Writer, Owner International Magazine

Menulis sebagai sebuah Kebahagiaan dan Kepuasan, bukan Materi

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

KPI Beraksi KPI Dimaki

29 Juni 2021   20:40 Diperbarui: 30 Juni 2021   04:35 175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Komisi Penyiaran Indonesia (pic: pikiran-rakyat.com)

KPI baru-baru ini melarang 42 lagu yang sebagian besar dari barat diputar dibawah jam 22.00, dengan alasan lagu-lagu tersebut terlalu vulgar, tidak mendidik, dan banyak mengandung konten seksualitas

Sudah lumrah terjadi bila lembaga Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) menyatakan sikapnya menyensor sebuah tayangan tertentu, pasti diikuti dengan beragam komentar masyarakat, entah komentar positif, mengamini, atau malah bereaksi negatif dan mencaci maki.

Dikutip dari kompas.com (29/6/2021), KPI Pusat telah menerbitkan surat edaran kepada Persatuan Siaran Radio Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI) tentang pembatasan pemutaran 42 lagu berbahasa Inggris di radio swasta sebelum pukul 22.00 WIB. Jika ingin memutar sebelum jam yang ditentukan, maka harus ada versi edit, sebab lirik lagu yang dilarang banyak mengandung konten seksualitas.

Keselamatan moral generasi penerus

Memang sudah selayaknya dan seharusnya KPI bertindak membredel serta menyensor bila mendapati tayangan yang sudah melampaui kadar etika, tak sesuai dengan budaya dan norma-norma. Namun tidak dapat disangkal, bila ada pihak-pihak yang merasa  uring-uringan dan kebakaran jenggot dengan tindakan itu, meskipun ada tujuan positif di dalamnya, sebagai penanda bahwa masih ada yang peduli terhadap keselamatan moral remaja dan anak-anak Indonesia.

Beberapa waktu lalu, saat KPI melarang pemutaran sebuah film kartun anak-anak karena adanya adegan tak layak, kontan beribu caci maki diterima KPI, bahkan yang membuat miris justru protes terbesar datang dari para orang tua yang merasa hak anaknya menonton film favorit diberangus. Padahal setelah ditelusuri lebih lanjut, ternyata para orang tua itu  tak paham dengan alasan pelarangan film tersebut, mereka hanya tahu tentang cuplikan berita sepihak yang menyatakan bahwa film itu dilarang tanpa mengetahui alasannya.

Akibatnya, mengamuklah para orang tua, terutama para ibu yang merasa hak privasi keluarganya dilanggar, bila selama ini mereka merasa pekerjaannya terbantu dengan meletakkan anaknya di depan tv menonton film kartun yang disukainya, sementara orang tua bisa sambil mengerjakan pekerjaan lain, namun dengan adanya larangan itu membuat mereka kerepotan,  akibatnya lahirlah protes dan caci maki. Padahal kalau dipahami dengan kepala dingin dan sumber berita yang akurat, harusnya mereka tahu bahwa tujuan KPI adalah untuk menyelamatkan anak-anak mereka dari degradasi moral, namun mereka salah paham. 

Dewasa sebelum waktunya

Seandainya semua orang tua  memahami propaganda yang ditanamkan film-film kartun luar negeri terhadap otak anak-anak mereka, pastilah para orang tua tak mengijinkan anak-anaknya menonton film itu, namun karena keterbatasan tenaga dan waktu membuat mereka mengambil jalan pintas untuk mengijinkan anak-anaknya menonton, tanpa sadar adanya cuci moral yang terlewatkan. Sedikit demi sedikit hingga kemudian anak-anak mereka tumbuh dewasa berkat asuhan film kartun luar negeri, bahkan menjadi ironi jika mereka dewasa sebelum waktunya.

Mereka lupa bahwa film kartun barat dibuat dengan budaya barat, yang tentu saja berbeda jauh dari budaya timur, akibatnya mulai balita, anak-anak mereka telah dicekoki segala hal yang serba boleh, sehingga mata, hati, dan telinga terbiasa mendengar kata-kata film-film kartun balita itu mengajarkan kata-kata kencan, membunuh, menggoda. Kata-kata itu tak terdengar atau mungkin terlewat begitu saja karena kesibukan orang tua, yang mungkin hanya menitipkan anak-anak mereka pada pembantu yang kurang memahami pencucian moral.

Terlalu banyak film kartun anak-anak dari luar negeri yang sedemikian cerdik menyelipkan pergaulan bebas dalam tayangannya. Jika film produk barat mempengaruhi anak-anak perempuan untuk bertindak genit, agresif dan berani menggoda, maka film produk Asia ada juga ajarannya jauh dari nilai-nilai luhur budaya dan norma Indonesia, seperti melakukan cat talking, menggoda lawan jenis yang lebih dewasa, ataupun gambaran sosok ayah di negara pembuat kartun tersebut yang tidak pernah jauh dari minuman keras setiap pulang kerja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun