Tindakan pimpinan KPK yang menolak untuk menghadiri panggilan Komnas HAM jelas melanggar kode etik, sebab kode etik dalam peraturan KPK mengharuskan KPK bekerjasama dengan lembaga lain
Selasa Pagi (8/6/2021) pukul 10.00 WIB, Komisi Nasional untuk Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) menjadwalkan pemeriksaan terhadap pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait laporan dugaan pelanggaran HAM dalam tes wawasan kebangsaan (TWK) sebagai bagian dari alih status pegawai KPK menjadi aparatur sipil negara (ASN).
Kendati surat panggilan telah dilayangkan jauh hari sebelumnya, namun pimpinan KPK tetap tidak datang juga. Hingga banyak yang berspekulasi negatif tentang  ketidak hadiran ini.
Indikasi ketakutan pimpinan KPK?
Sebagian pihak menilai  adanya  indikasi ketakutan pimpinan KPK karena merasa bersalah telah melanggar HAM terkait TWK, akibatnya lebih memilih sikap tidak menghadiri panggilan.
Bahkan Indonesia Corruption Watch (ICW) sebagaimana dikutip dari kompas.com (8/6/2021) menilai ketidakhadiran pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) akibat takut, tidak mampu menutupi skandal tes wawasan kebangsaan (TWK) yang telah merenggut hak asasi sejumlah pegawai KPK.
Sedangkan mantan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas menyatakan sikap pimpinan KPk menunjukkan keangkuhan, arogan, dan kesombongan, padahal jelas materi TWK mencerminkan ketidakhatihatian, namun tetap tidak menghormati hasil Putusan Mahkamah Konstitusi yang menyebutkan agar tidak merugikan pegawai KPK dalam proses peralihan menjadi ASN.
Pemanggilan antar lembaga bukan hal aneh
Bukan merupakan keanehan jika suatu lembaga memanggil lembaga lain untuk dimintai klarifikasi atau pun pemeriksaan, sebab Komnas HAM juga pernah dipanggil lembaga lain, semisal Ombudsman, namun datang juga tanpa menunjukkan penolakan seperti pimpinan KPK saat ini. .
Sikap yang ditunjukkan Pimpinan KPK dengan ogah-ogahan datang dengan mempertanyakan kesalahannya bisa ditiru terduga korupsi saat terrjerat kasus, ia bisa saja menolak diciduk KPK sebelum dijelaskan secara detail tentang kesalahannya, meskipun sudah jelas bersalah.
Dikutip dari kompas.com (8/6/2021), Koordinator Masyarakat Antikorupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman menilai tindakan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang meminta surat penjelasan saat dipanggil Komnas HAM terkait Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) menghina sistem ketatanegaraan, dapat menjadi bumerang bagi proses pemberantasan korupsi, misal memanggil orang dalam proses pemeriksaan dugaan korupsi, mereka akan meminta penjelasan terlebih dahulu terkait perkara yang sedang diperiksa.