Mohon tunggu...
Farid Mamonto
Farid Mamonto Mohon Tunggu... Freelancer - Nganggur aja

Senang bercanda, sesekali meNUlis suka-suka

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Rumah Kopi dan Strategi Pendekatan Emosional

3 September 2019   20:59 Diperbarui: 3 September 2019   21:03 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Mahasiswa adalah nongkrong satu hal yang barangkali sulit di hilangkan sebagai aktivitas diluar perkuliahan. Tempat yang sering kali menjadi titik kumpul untuk mengobrolkan berbagai macam hal dari sore hinga pagi hari adalah rumah kopi yang sering tersedia di kota-kota besar semisal manado.

Tidak hanya sebatas tempat ngobrol, rumah kopi juga menjadi sarana yang sering di pakai oleh berbagai organisasi ataupun individu untuk membangun pendekatan emosional dengan calon peserta atau individu yang menjadi target operasi (TO) untuk bisa bersama-sama dalam satu organisasi ataupun ikatan (hubungan).

Kopi susu dan wifi
Jika ditanya apa pesanan dan apa alasan kenapa memilih rumah kopi sebagai sarana yang di pakai untuk melakukan pendekatan emosional, jawabanya adalah kopi susu dan wifi.

Ya, kopi susu sering kali menjadi pilihan karena bagi saya itulah yang membedakan saya ngopi di kos-kosan dan juga di rumah kopi, pun begitu juga perihal wifi. Kita perlu wifi untuk sekedar eksis wara-wiri di media sosial (medsos).

Saya pernah membaca buku "agama kopi" yang darisana memberikan saya pelajaran kenapa ngopi itu penting. "Dari ngopi kita bisa belajar menghargai pilihan-pilihan orang lain di rumah kopi. Ada yang memilih minum kopi hitam, kopi susu, teh, dll.

Namun kita tidak saling menjatuhkan atau bahkan saling menghakimi karena perbedaan rasa dan pilihan kita di rumah kopi".

Darisanalah startegi pendekatan emosional itu dibangun dengan mulai mau belajar saling memahami dan menghargai pilihan-pilihan.

Dahulu, para Wali Songo pun demikian dalam mendakwahkan islam di Nusantara. Tidak serta merta langsung mendakwahkan islam, melainkan datang dengan mau saling belajar sehingga tercipta ruang dialog di sana. Tidak saling menghakimi apalagi saling mengkafir-kafirkan. Sehingga islam bisa terterima dengan masif tanpa harus melalui proses yang berdarah-darah.

Carger dan colokan
Untuk nongkrong kita perlu sesuatu yang terus membuat kita merasa hidup. Ya, carger dan colokan. Kira-kira dua hal itu yang tidak bisa tidak harus ada dalam setiap kita ngopi. Sebagai generasi yang sudah terbiasa dengan smartphone seyogyanya carger dan colokan memang akan terasa sulit jika tidak ada di rumah kopi.

Dan juga barangkali itu bisa menggangu kualitas pendekatan emosional di rumah kopi. Ada banyak hal diluar sana yang harus di kabari dan di urusi sehingga, ketika hal itu tidak ada dan smartphone mati, maka selesailah sudah. Ada yang sudah mau beralasan A, B, dan akhirnya meninggalkan tongkrongan.

Dewasa ini kita sering kali mempermasalahkan hal-hal yang sifatnya kecil lalu selalu di ulang-ulang hingga menjadi besar. Carger dan colokan adalah masalah kecil ketika tidak ada, dia menjadi besar karena ada hal yang tidak kita tuntaskan. Begitu juga perihal progres mendewasakan diri guna memilih mau menjadi pelaku sejarah atau justru hanya menjadi penonton.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun