Mohon tunggu...
Farid Mamonto
Farid Mamonto Mohon Tunggu... Freelancer - Nganggur aja

Senang bercanda, sesekali meNUlis suka-suka

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Toleransi dan Kota Manado

22 Agustus 2019   02:40 Diperbarui: 22 Agustus 2019   03:35 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://manadopostonline.com

Mendengar kota manado kita barangkali dengan secara refleks teringat perihal alamnya yang indah, wanitanya yang cantik jelita, dan kuliner yang menggugah selera. 

Tidak hanya itu, selain terkenal dengan alamnya yang indah, manado juga mempunyai kekayaan lain yang itu sampai hari ini masih terjaga dan terawat hingga kini. Kekayaan itu bernama kemajemukan. 

Perihal kemejemukan, itu sudah menjadi rahasia umum bahwa masyarakat yang hidup di kota manado memang hidup berdampingan dengan segala perbedaan, baik tradisi, budaya, bahkan aliran kepercayaan. Tetapi menariknya, dari berbagai perbedaan itu justru kota manado bisa hidup aman dan damai.

Ya! Manado hari ini termasuk kota dengan angka toleransi yang cukup tinggi di bandingkan dengan kota-kota lain di sulawesi, bahkan di pulau jawa, dan semuanya itu tidak terjadi begitu saja, ada hal yang membuat kenapa kemudian kota manado bisa bertahan di tengah perbedaan yang berbagai macam itu. 

Dan justru hal-hal itulah yang barangkali tidak menjadi populer di khalayak ramai, hal itu adalah soal adanya kesadaran bahwa kita memang berbeda, perjumpaan yang terus berulang dengan sahabat-sahabat berbeda keyakinan, dan jalinan kekeluargaan yang telah banyak terikat dengan berbeda latar belakang.

Perbedaan sebagai fakta.
Di kota manado, kesadaran-kesadaran perihal bahwa kita ini memang berbeda itulah yang selalu menjadi tugas bersama untuk di sampaikan ke khalayak ramai. Kita di manado, mempunyai tradisi bakudapa (bertemu), bacirita (berbicara), dan basudara (bersaudara). Tradisi ini bisa kita temukan di ruang-ruang santai bahkan sampai ke ruang-ruang formal sekalipun. 

Misalnya, di manado tradisi bakudapa, bacirita, dan basudara ini bisa kita temui ketika misalnya saudara kita umat Kristen melaksanakan Natal. Kita di kota manado ada ruang perjumpaan yang sering kita sebut sebagai "Safari Natal" bagi kami yang muslim untuk mengunjungi sahabat-sahabat yang berbeda, dan begitu sebaliknya ketika bulan suci ramadhan dan lebaran umat muslim. 

Sahabat-sahabat non muslim juga sering datang bakudapa, bacirita, dan  basudara. Jalinan hablu minanas di kota manado tidak hanya sebatas surga telinga di meja-meja kopi, salah satu kenapa kemudian jalinan hubungan antar sesama di kota manado sangat solid untuk mau #merawattoleransi adalah oleh karena adanya jalinan ikatan "perkawinan" dari berbeda latar belakang, baik suku, tradisi, dan keyakinan. Sehingga menghasilkan persaudaraan tali kekeluargaan.

Banyak yang sering marah oleh karena risih dengan sesuatu hal yang berbeda entah itu perihal berbeda keyakinan, tradisi, budaya, pilihan politik, hingga berbeda apakah mau minum kopi hitam atau kopi susu. 

Kita sering lupa bahwa perbedaan itulah yang justru membuat pelangi itu terlihat indah. Kita bisa berdebat panjang perihal perbedaan kita, itu tidak bisa di hindari sekalipun di antara kita misalnya ada yang kembar identik pasti dan tidak bisa di hindari adalah perihal perbedaan itu sebagai fakta.
Lalu kenapa masih saja ada yang sering marah? 

Untuk menjawab itu saya meminjam apa yang di katakan oleh Buya Syafi'i Maarif "Barangkali mereka yang sering marah adalah orang-orang yang radius pergaulanya kurang jauh". "Radius pergaulan kurang jauh". 

Ini menarik, kebanyakan memang yang sering kita lihat di lingkungan sekitar kita yang barangkali masih sangat masif takut akan perbedaan dan sering marah ketika melihat ada sesuatu yang berbeda memang adalah mereka yang cenderung ekslusif. 

Di manado kelompok-kelompok ekslusif ini bukanya tidak ada, mereka ada dan cukup menjamur di kampus-kampus. Tetapi oleh karena masifnya ruang perjumpaan di kota manado, dengan berbagai latar belakang yang berbeda guna membuka diri dan mau belajar menerima juga mencari persamaan, sehingga sejauh ini kelompok-kelompok ekslusif itu masih dapat di bendung hingga kini dan semoga seterusnya. Amin!

Kita telah sama tahu bahwa kita akan selalu begitu, ya! berbeda. Tugas kita saat ini adalah belajar menerima perbedaan itu melalui berbagai macam pertemuan. Entah itu dengan aktif dalam berkegiatan mengikuti pelatihan ataupun forum-forum lintas iman di berbagai ruang apapun. Dari sanalah kita bisa menerima perbedaan dan bukan justru mencari-cari beban tambahan atas perbedaan.


Nah! untuk bisa saling belajar menerima perbedaan guna mencari persamaan, kita di kota manado banyak terlibat, dan bersentuhan langsung dengan sahabat-sahabat lintas iman. Salah satu kegiatan yang sering kami anak muda manado laksanakan setiap tahunya adalah Forum Mahasiswa Lintas Agama (FMLA). 

Terlibat langsung saling mengunjungi dan saling belajar selama sepekan. Darisanalah kira-kira proses kedekatan emosional itu di bangun oleh para calon-calon pendeta, pastor, dan calon-calon ustad, yang memang rata-rata mahasiswa yang terlibat aktif dalam kegiatan tersebut dari kampus berlebelkan agama di kota manado.


Berbagai perjumpan-perjumpaan saling belajar dan saling menerima ini tidak lain dan tidak bukan, semuanya untuk mengokohkan persatuan dan kesatuan negara bernama indonesia, dan kita bisa memulai itu semua dari kota manado. 

Kota manado bukanya tidak luput dari konflik atau gesekan internal atau dari eskternal, manado justru bisa menjadi kota rujukan tertoleran di indonesia, karena mampu melewati konflik dan gesekan itu tidak melalui cara-cara yang berdarah, melainkan dengan cara-cara damai dan dewasa. 

Konflik poso dan konflik ambon di masa lalu tidak menjadikan kota manado dengan beragam keyakinan ini ikut terpecah belah atau perang saudara, justru manado menajadi tempat aman bagi mereka yang datang untuk mengungsi dari konflik yang tengah berlangsung.

Belajar juga dari konflik yang terjadi di poso dan ambon, manado dan masyarakatnya kini makin dewasa dalam merespon isu-isu global, nasional, hingga lokal yang sifatnya rasis, sara, dll, yang itu bisa memecah belah bangsa. Tidak hanya itu, gesekan dari internal kota manado pun terjadi dan itu ada. 

Misalnya yang paling terdekat adalah penghadangan salah satu habaib kemarin di bandara internasional samratulangi, kota manado sempat menjadi bersitegang antara kubu penolak dan jamaah yang menunggu kedatangan habaib. Tetapi itu tidak berlangsung lama, lalu segera berdamai kembali, juga dengan proses dialog yang mempertemukan berbagai pihak, sehingga kembali tercipta suasana aman dan dmai.

Toleransi untuk kita dan indonesia kedepan.


Toleransi memang mau tidak mau, suka tidak suka harus benar-benar menjadi prinsip hidup masyarakat indonesia. Kenapa? Jawabanya adalah Kita hidup dengan berbagai macam perbedaan, suku, bahasa, tradisi, bahkan keyakinan, maka kira-kira penerimaan itu semua harus kita amini guna mempertahankan indonesia hari ini dan nanti pastinya.  

Kita bisa berkaca pada negara-negara tetangga yang sebenarnya tidak begitu banyak perbedaan suku, tradisi, bahasa, apalagi keyakinan. Justru mereka hari ini hidup di tengah negara yang hari-harinya terlibat konflik horizontal, segala akses terganggu mulai dari sekolah, proses ibadah menghadap ke sang khalik, kekurangan makanan dan air bersih dll. 

Semuanya itu di rasakan oleh saudara kita hari ini diluar pulau indonesia.

Di indonesia tentunya kita tidak mau hal itu terjadi, kita masih menginginkan indonesia yang aman dan damai, kita masih menginginkan bersekolah dengan aman, melaksanakan perintah tuhan dengan khusuk, mendapatkan makanan dan minuman yang layak. 

Maka sedari sekarang kita harus mau menerima dan mencari persamaan kita guna memperkokoh persatuan, dan kita bisa memulai dan belajar dari kota manado dengan segala kelebihan juga kekuranganya guna menjaga kota nyiur melambai ini tetap damai sentosa, bahkan sampai matahari terbit dari barat.

Merawat Indonesia adalah menerima apa yang berbeda. Indonesia tidak akan pernah bertahan lama walaupun memiliki berbagai alat pertahanan tercanggih sekalipun, jika tidak bisa menerima perbedaan sebagai fakta di bumi Indonesia. Barangkali memang terdengar sederhana dan tidak populer. 

Tetapi hal itulah yang perlu dan penting anak muda gaungkan kembali di berbagai ruang yang bernama "media sosial". Sudah menjadi rahasia publik bahwa pengaruh konten-konten negatif cukup mengganggu dan mengikis persatuan kita. 

Banyak di antara kita justru menjadikan perbedaan sebagai kata kunci untuk saling memusuhi, untuk saling mencaci, juga menjadikan perbedaan sebagai dalil untuk melakukan tindakan kekerasan antar sesama anak bangsa.

 "Tidak penting agama ataupun sukumu, kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak pernah tanya apa agamamu (Gus Dur)".

SITOU TIMOU TUMOU TOU (Manusia Memanusiakan Sesama Manusia).

Wallahul Muwaffiq Ilaa Aqwamith Tharieq.
Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun