Mohon tunggu...
Fakhrur Rozi
Fakhrur Rozi Mohon Tunggu... Freelancer - Antusias dalam bidang Ekonomi, Sosial, dan Politik.

Sekarang menjadi mahasiswa jurusan Ekonomi Universitas Pertamina

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

"Rampasan" Uang Negara oleh Penjara

25 Januari 2020   17:15 Diperbarui: 26 Januari 2020   01:05 307
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: stocksnap.io

Artikel ini terinspirasi dari buku "Surat-surat dari Balik Jeruji" yang ditulis oleh orang yang merasakan langsung kehidupan di penjara, seorang keturunan tionghoa yang bernama Zeng Wei Jian (Ken Ken). Di dalam buku ini Ken Ken menceritakan pahit getirnya hidup di balik jeruji penjara Indonesia. Indonesia memilik penjara yang masuk ke dalam daftar "horor" PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) pasca seorang pengacara hak asasi manusia dan pelapor khusus PBB bernama Manfred Nowark menulis hasil investigasi ke sejumlah penjara di berbagai negara pada Oktober 2009.

Nowark mengungkapkan bahwa lebih kurang ada 10 juta orang di dunia tinggal di balik jeruji besi tetapi banyak dari mereka yang mendapat perlakuan tidak wajar,salah satunya di Indonesia, selain terjadinya overkapasitas di dalam sel, banyak juga tahanan yang kurang mendapatkan makanan ataupun obat-obatan, selain itu mereka juga dipaksa untuk membayar "uang harian" untuk akomodasi yang mereka terima di dalam penjara.

Di Indonesiapun penjara memiliki sejarah tersendiri, berawal dari ide yang dilontarkan oleh Menteri Kehakiman Sahardjo, ketika menerima gelar doktor honoris causa dari Universitas Indonesia.

Sahardjo mengatakan bahwa terpidana itu dikurung (dipenjara) dengan maksud selain untuk menimbulkan rasa derita karena hilangnya kemerdekaan bergerak, dimaksudkan juga untuk membimbingnya agar bertobat dan mendidik mereka supaya menjadi masyarakat sosialis yang berguna. 

Pernyataan Sahardjo inilah yang menjadi awal penggantian istilah penjara menjadi lembaga permasyrakatan yang dimulai sejak tahun 1964. Penggunaan istilah lembaga permasyarakatan ditujukan agar pemerintah atau petugas lapas lebih manusiawi terhadap narapidana, bukan lagi menyiksa melainkan membina dan mendidik agar setelah melewati masa hukuman para narapidana bisa bermasyarakat lagi secara wajar.

Sekarang coba kita melihat bagaimana kondisi lembaga permasyarakatan yang ada di Indonesia. Indonesia, negara besar denga  7.504 pulau, rumah dari 264 juta penduduk lebih kurang terdapat 500 lapas tersebar di seluruh wilayah Indonesia. Tidak kurang dari 265 ribu masyarakt Indonesia menjalani hidup di balik jeruji besi. Masalah yang lebih pelik lagi yang dihadapi oleh lembaga permasrakatan yaitu adanya overkapasitas di dalam lapas, infrastuktur yang dibangun masih terlalu kecil untuk menampung narapidana yang jumlahnya dari tahun ke tahun semakin membludak. Sebut saja Rutan Salemba, yang sebenarnya hanya berkapasitas 862 orang tapi sekarang dipaksa untuk menampung 1.874 orang narapidana. Masalah overkapasitas seperti ini terjadi hampir di seluruh wilayah Indonesia.

Masuk ke topik utama yang akan kita bahas, yaitu terkait dengan "rampasan" uang negara yang dilakukan oleh penjara. Dilihat dari hal kecil seperti makan untuk para napi, pemerintah menganggarkan makan untuk para napi sekitar 20.000 rupiah per hari, kita kembali lagi ke Rutan Salemba, ada minimal 1.800 orang di penjara tersebut, bila dikalikan 20.ooo rupiah, maka total 36 juta rupiah habis untuk sehari makan para napi. Dikali 30 hari maka total 1,08 miliar rupiah dana dikeluarkan dalam satu bulan, dan tentunya dalam satu tahun akan menghabiskan 12,96 miliar, dan ingat itu hanya untuk 1 penjara , tidak mengherankan pada tahun pada 2018 negara mengucurkan dana 1,3 triliun hanya untuk makan para narapidana. Pada kenyataannya jumlah narapidana dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan 0,05%, ditambah dengan penyesuaian terhadap inflasi yang terus berkutat di angka 3%. Bisa kita katakan dana yang digelontorkan hanya  untuk makan para narapidana ini tentunya akan semakin besar.

Menurut Peraturan Menteri Hukum dan HAM nomor 53 tahun 2016 pasal 2 ayat 2 tentang pemberdayaan narapidana berupa pengelolaan kegiatan industri di LAPAS yang mana hasil industri tersebut akan dipasarkan, tapi hal yang harus kita kritisi apakah hal seperti pemberdayaan yang tertuang dalam pasal tersebut dijalankan dengan baik di lapas-lapas seluruh wilayah Indonesia. Malangnya hal-hal seperti tersebut sulit sekali kita temukan di lapas-lapas Indonesia. Merujuk kembali ke buku "Surat-Surat dari Balik Jeruji", saya tertarik dengan surat ke-4 yang ditulis Ken Ken yang bertajuk Surganya Penjara.

Ken Ken menyebutkan beberapa lapas yang diberi slogan surganya penjara  seperti Cipinang yang dikenal sebagai 'penjara putau' dan juga salemba sebagai 'penjara sabu-sabu'. Ken Ken menulis suatu kejadian di Cipinang bahwa pernah terjadi demonstrasi oleh para napi dan mereka menolak untuk masuk ke dalam sel, hal itu disebabkan karena terputusnya suplai putau. Percaya tidak percaya ternyata hal-hal seperti itu sangat marak terjadi di sebuah lapas, lantas pertanyaannya apakah kita sebagai masyrakat yang pada dasarnya pemilik uang 1,3 triliun rela jika uang kita diberikan untuk makan para narapidana yang bukannya malah tobat tetapi diambang sekarat karena terus bermain dengan barang-barang haram tersebut.

Aturan-aturan sudah disuratkan dengan jelas dalam UU maupun berbagai bentuk peraturan, mungkinkah semua aturan di negara tercinta kita ini hanya sebatas tulisan di atas kertas?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun