Mohon tunggu...
Fakhrisya Zalili
Fakhrisya Zalili Mohon Tunggu... Notaris - Hukum-Puisi-Dan Non fiksi

PPAT

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Masyarakat Adat dan Teknologi: Dulu, Kini, dan Nanti

14 Agustus 2020   15:20 Diperbarui: 14 Agustus 2020   16:37 138
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hari masyarakat Adat sedunia diperingati pada tanggal 9 Agustus, sementara hari teknologi nasional diperingati pada tanggal 10 Agustus. Hari masyarakat adat sedunia dicetuskan berdasarkan The United Nation Declaration on The Right of Indigenous People pada tanggal 13 September 2007, sedangkan hari teknologi didasarkan pada mengudaranya pesawat N-250 Gatotkaca ciptaan B.J Habibie. Mungkin hanya kebetulan saling berurutan. Namun keduanya menyangkut identitas Bangsa Indonesia. Masyarakat adat merujuk pada orang-orang yang mula-mula mendiami nusantara, sementara N-250 Gatotkaca merupakan penemuan mutakhir dari seorang putra terbaik Bangsa.

Secara substansial memang berbeda, namun antara masyarakat adat dan teknologi memiliki cara kerja yang sama, yakni berpusat pada sistem. Masyarakat adat berdasarkan sistem kemasyarakatan dengan tatanan sosial, ekonomi, dan hukum yang saling berkaitan. Tatanan sosial yang tidak mengenal derajat, kelas sosial atau kekayaan, memanifestasikan sistem ekonomi gotong royong dan menempatkan hak pribadi berada di bawah hak publik, di atas tanah dan alam semesta yang dilestarikan sedemikian rupa. Sementara sistem teknologi, saling terkait antara satu variabel lain dengan variabel lainnya, dengan rumusan matematika, fisika, atau kimia yang rumit.

Bekerjanya sistem teknologi pesawat membuat Almarhum Habibie, bisa membuat kekasih hatinya, Almarhumah Ainun, tenang saat pesawat bergoncang. Pertanda tidak ada keretakan. “Jika retak? Tanya Ainun. “Langsung jatuh! Kata Habibie, sebab terdapat sistem yang tidak seharusnya. Maka, demikian juga masyarakat adat, jika ada satu sistem yang retak, maka punahlah sudah masyarakat itu.

Perbedaannya adalah, pada sistem teknologi kerusakan diidentifikasi, dianalisis, dan diperbaiki dengan teknologi itu sendiri, sementara masyarakat adat dirusak oleh teknologi. Bukan teknologi sebagai khazanah ilmu, namun keserakahan manusia yang menjadikan teknologi sebagai “penghancur” tatanan masyarakat adat. Belum ada yang sanggup memperbaiki.

Bermula sejak Columbus datang memberi kabar pada Fredrick dan Isabella, penguasa Spanyol yang baru saja bersatu, tentang orang Asia dan Afrika yang bertelanjang dada, kanibal, dan tidak berbudaya namun mendiami tanah kaya sumber daya alam, yang wajib “dimanusiakan”. Disusul dengan teknologi tradisional yang perlahan digantikan tenaga uap dan bahan bakar, pertanda lahirnya revolusi Industri 1.0.

Sementara di bidang ekonomi, kaum borjuis memperbarui pasar, yang semula berpusat pada biara, bergeser ke kota-kota. Tentu saja semakin lama semakin padat, maka berekspansi keluar menjadi pilihan. Bukan saja untuk menguasai pasar, namun mencari bahan dasar produksi. Mengikuti pesan Columbus bahwa, orang-orang Asia-Afrika yang terbelakang wajib di-manusia-kan (gospel). Namun hal itu menjadi urusan yang kesekian, setelah kejayaan (glory) dan kekayaan (gold).

Juga pada waktu yang hampir bersamaan dengan Revolusi Industri 1.0, persamaan hak menjadi isu utama revolusi Perancis. Bukan antara kulit hitam dan putih, antara Eropa, Asia, dan Afrika, namun antara saudagar dan bangsawan, terhadap perlindungan harta pribadi, yang sebelumnya hanya dinikmati oleh kaum bangsawan.

Banyak jalan menuju Roma, kata pepatah, dan Roma memang memberi jalan untuk ini. Yakni melalui konsep hukum pertanggungjawaban terbatas terhadap modal yang disetorkan untuk sebuah perkumpulan yang dipersamakan dengan manusia, yakni company, corporate, atau perseroan terbatas. Belanda yang sebelumnya bersusah payah bertahan hidup di atas tanah yang lebih rendah daripada laut, berkreasi dengan mendirikan perusahaan dagang multinasional terbesar di eranya, yang diberi nama Verenigde Oostindische Compagnie (VOC).

Berekspansi keluar mencari lahan subur, bukan lagi dengan biaya dari kerajaan, namun melalui investor di seluruh dunia, yang diberi jaminan hanya akan bertanggung jawab, sebesar modal yang telah diinvestasikan. Pasukan bayaran dengan artileri yang tiada bandingnya, membawanya ke Pulau Jawa, tanah paling subur di seluruh Nusantara saat itu.

Segera saja Daendels dan Van Den Bosch, dengan bengis merebut tanah, menerapkan tanam paksa, dan pajak yang tinggi, dan membinasakan hukum adat, yang kerap dianggap sebagai penghalang sebab kepemilikan komunal dan terlalu berbelas kasih pada alam.

Sementara, Revolusi Industri 2.0, yang telah membuat mimpi manusia untuk terbang menjadi nyata, menggantikan kuda dengan kendaraan bermotor, dan surat-menyurat dengan pesawat telepon, telah membawa penjajah mampu lebih jauh menguasai daerah yang belum terjamah sebelumnya. Hasilnya, masyarakat hukum adat di Jawa pada tahun 1834 hanya tersisa di Jawa Tengah dan Jawa Timur, dan pada tahun 1919 hak ulayat di Aceh, Madura, Bawean, dan Jawa Barat juga melemah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun