Mohon tunggu...
Fakhrisya Zalili
Fakhrisya Zalili Mohon Tunggu... Notaris - Hukum-Puisi-Dan Non fiksi

PPAT

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menguak Tabir Intoleransi di Indonesia

14 Juli 2020   19:35 Diperbarui: 12 Agustus 2020   13:11 588
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tampaknya kehidupan toleransi di Indonesia tidak seindah apa yang dicitrakan selama ini. SETARA Institute mencatat, antara tahun 2007 sampai dengan 2018 terdapat 2400 peristiwa pelanggaran terhadap kebebasan beragama di Indonesia (Tempo, 11 November 2019)

Selama kurun waktu 12 tahun tersebut, terdapat 398 gangguan pada tempat ibadah dengan derajat yang beragam, baik pembakaran, perusakan atau gagal didirikan dengan alasan perizinan, serta gangguan lainnya.

Gereja dan masjid menempati angka tertinggi, yakni gereja sebanyak 199 gangguan dan masjid sebanyak 133 gangguan (databoks.katadata.co.id, 31 Desember 2019). Sementara Wahid Foundation (Agustus, 2019), mencatat dalam kurun waktu tahun 2016 – 2018 terdapat 609 peristiwa dan 854 tindakan intoleransi beragama, dengan aktor negara maupun non negara.

Intoleransi beragama ini tentu saling berkaitan dengan intoleransi politik dan sosial, berdasarkan hasil survei yang dilakukan oleh Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada bulan september 2019 lalu (LSI, Rilis Survei Nasional, 3 November 2019), dalam politik skala nasional dengan muslim sebagai konstituen mayoritas ditemukan fakta bahwa, sebanyak 59,1% muslim keberatan apabila non-muslim menjadi Presiden, 56,1 % keberatan apabila non-muslim menjadi Wakil Presiden, dan 51,8 % keberatan apabila non-muslim menjadi kepala daerah. 

Berkaitan dengan kehidupan sosial, terdapat sebanyak 36,4 % muslim keberatan apabila non-muslim mengadakan acara ibadah di dekat tempat tinggal mereka, dan sebesar 53 % keberatan apabila non-muslim membangun tempat ibadah berdekatan dengan tempat tinggal mereka. Meskipun angka persentase non-muslim yang tidak merasa keberatan terhadap pelaksanaan dan pembangunan rumah ibadah muslim di sekitar tempat tinggal mereka berada di atas 60%, namun dibandingkan tahun 2018 terjadi penurunan.

Secara kualitatif temuan LSI tersebut tidak jauh berbeda dengan temuan Centre for Strategic and International Studies (CSIS) pada tahun 2016 lalu, yakni terdapat sebanyak 33% masyarakat Indonesia tidak nyaman hidup berdekatan dengan orang yang berbeda agama, 68% dari 33% tersebut tidak nyaman apabila tempat ibadah agama yang berbeda didirikan dalam wilayah komunitas mereka. Intoleransi suku dan etnis sama mengkhawatirkannya, Komnas HAM mencatat antara tahun 2011 sampai dengan 2018 terdapat 101 kasus diskriminasi ras dan etnis dilaporkan kepada mereka.

Jika kita mundur ke belakang, sikap intoleransi sebenarnya sudah ada sejak awal kemerdekaan dengan pola yang berbeda. Masa orde lama pada periode demokrasi terpimpin dan orde baru dengan karakter pemerintahan yang otoriter, sikap intoleransi didominasi oleh kekuasaan, dengan mengungkung kebebasan berpendapat serta periode tanpa Pemilihan Umum yang sebenarnya. 

Pasca reformasi, sikap intoleransi muncul sebagai paradoks demokrasi. Kebebasan berpendapat dan berkumpul tidak diikuti dengan penghormatan kepada pendapat, sikap, dan pendirian yang berbeda. 

Akibatnya intoleransi agama, politik, serta etnis dan rasis menjadi sangat terasa. Cukup mengkhawatirkan bagi bangsa yang didirikan berlandaskan keragaman agama, budaya, suku, dan etnis ini. Jika terus dibiarkan maka potensi konflik “masyarakat vs masyarakat” dan “masyarakat vs negara” akan terjadi. Terlampau besar resiko yang akan kita tanggung.

Menilik Prakondisi Intoleransi 
Menurut penulis, terdapat beberapa prakondisi yang mendorong lahirnya sikap intoleransi, yakni tirani mayoritas, komunitas tertutup dan indoktrinasi, serta politik identitas dan buruknya pendidikan politik.

Tirani Mayoritas

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun