Mohon tunggu...
Muhammad Fakhriansyah
Muhammad Fakhriansyah Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa Program Studi Pendidikan Sejarah Universitas Negeri Jakarta

Muhammad Fakhriansyah adalah mahasiswa semester akhir di program studi Pendidikan Sejarah, Universitas Negeri Jakarta. Sejak Februari 2021 menjadi kontributor tetap Tirto.ID. Tulisannya berfokus pada sejarah kesehatan Indonesia dan sejarah politik internasional. Penulis dapat dihubungi melalui: fakhriansyahmuhammad27@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Fiksi Penggugah Kolonialisme

12 Oktober 2020   15:21 Diperbarui: 18 Oktober 2020   03:44 660
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi novel max hevelaar | tribunnews.com

Salah satu episode kolonialisme yang menuai kritik adalah ketika pemerintah melakukan usaha eksploitasi negara kolonial terhadap masyarakat bumiputra melalui sistem tanam komoditas ekspor.

Sistem yang lazim disebut sebagai cultuurstelsel atau tanam paksa (1830---1870) ini menuai reaksi keras dari pegawai pemerintah Hindia Belanda bernama Eduard Douwes Dekker (1820---1887).

Douwes Dekker mengkritik kebijakan tanam paksa yang sangat menyengsarakan bumiputra melalui novel Max Havelaar dengan nama samaran Multatuli pada tahun 1860.

Novel Max Havelaar (1860) yang sedang diulas ini memberikan gambaran menarik tentang bagaimana sebuah karya sastra dapat menyatakan pandangan ideologi dengan cara khas, implisit, dan imajinatif.

Meskipun termasuk dalam karya sastra---yang dipandang sebagai tulisan fiksi dan bualan belaka---roman tersebut rupanya menimbulkan kegelisahan di kalangan kolonialis semenjak pertama kali terbit pada 1860 dan memuncak ketika terdapat versi bahasa Inggrisnya pada 1868. 

Penyebab "meledaknya" novel tersebut di pasaran pada masa itu dikarenakan dua hal, yaitu gelombang liberalisme di Eropa yang sedang mengemuka dan ketidaktahuan orang Eropa terhadap situasi di negeri koloni.

Pada tahun terbitnya novel tersebut, orang Eropa---khususnya orang Belanda---tidak memiliki pemikiran apapun terhadap negeri koloni. Mereka hanya menikmati hidup enak di Eropa tanpa pernah memikirkan datangnya keenakan yang ia rasakan tersebut; tanpa pernah memikirkan peluh keringat orang negeri koloni.

Apalagi buku tersebut ditulis berdasarkan pengalaman langsung Dekker dan menjadi buku pertama yang menggambarkan praktik kolonial, sehingga hadirnya buku tersebut seakan menggerakkan hati dan menggugah kenikmatan yang dirasakan orang Eropa bahwa terdapat ketidaknormalan di koloni---wilayah nan jauh dimata dan tidak pernah mereka bayangkan.

Ide penulisan novel ini berawal ketika Douwes Dekker melihat langsung bagaimana situasi koloni serta perilaku pejabat Belanda dan lokal yang abai terhadap taraf hidup masyarakat bumiputra.

Dengan berapi-api dan sangat antusias, penulisnya mempersembahkan kisah ini kepada saudara-saudara sebangsanya dalam bentuk novel---buku yang memperkenalkan bangsa Belanda pada pemerasan dan tirani luar biasa yang diderita oleh penduduk asli Hindia Belanda (hlm. 7).

Max Havelaar: Sebuah Catatan Sistematis 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun