Mohon tunggu...
Jamalludin Rahmat
Jamalludin Rahmat Mohon Tunggu... Penjahit - HA HU HUM

JuNu_Just Nulis_

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Mengukur Ketersambungan Pembaca dengan Karya Sastra

5 Maret 2019   21:30 Diperbarui: 6 Maret 2019   05:11 1482
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
(Illustrated by: Pixabay.com)

Beberapa waktu belakangan ini, saya diteror (dalam hati) dengan pertanyaan-pertanyaan. Masih mungkinkah sastra perlu ditulis? Keuntungan apa yang didapatkan dari membaca sebuah karya sastra? Seperti apakah hubungan pengarang dan pembaca? Mampukah sastra menjadi cermin pantul tentang pengalaman hidup manusia yang mengharu biru.

Pertanyaan teror di atas muncul akibat keyakinan saya bahwa menulis (pengarang) merupakan sebuah pilihan hidup penuh keberanian. Selain untuk bermain di dunia teoritis dan praktis juga melibatkan diri secara intens dan total. Sayangnya, saat ini lambat laun pembaca dilupakan.

Kekhawatiran tersebut telah pernah digemakan oleh Bambang Agung dalam dalam Jurnal Cerpen Indonesia. Ketika ia menuliskan bahwa secara teoritis, terjadi pergeseran orientasi sastra abad ke-20, dari pengarang ke pembaca. Tanpa pembaca, produk manapun tidak teraktualisasi menjadi karya sastra.

Proses pembacaan-misalnya dalam konsep konkretisasi Roman Ingarden-merupakan kegiatan sastra yang penuh: pertemuan imanjinasi pembaca dengan piranti naratif pengarang.

Diperlukan sebuah cara yang berupaya merayu pembaca agar tertarik pada sastra dan terlibat lebih dalam. Agar kehidupan-kehidupan yang baru, kehidupan yang asing, yang mungkin tak dikenal oleh pembacanya-dari buku lain seperti ekonomi, politik dan lain-lain; menampilkan dan menghadirkan kehidupan dan dunia baru yang konkret, jika pun dalam bentuk abstraksi atau non-abstraksi ia dapat membuat kehidupan itu menjadi esensial.

Sastra: Pengarang dan Pembaca
Ketika sebuah karya sastra hadir di ruang pembaca, ia bukan milik pengarang lagi tapi telah memasuki memori pembaca. Banyak kesan yang muncul oleh pembaca atas bacaan yang dilakukannya.

Jika seperti itu, bagaimanakah pengarang sastra atau karya sastra 'dihadirkan' ke tengah pembaca? Bagaimana jika kemudian muncul pengarang sastra yang menganggap pembaca adalah 'benda mati' dan posisi pembaca dinomorduakan oleh pengarang.

Tidak ada karya yang muncul dalam ruang kehampaan dan tiba-tiba menyeruak di kerumunan jika bukan tanpa sebab. Ada selalu latarnya walaupun secuil. Inilah yang semestinya disadari oleh pengarang bahwa sastra memiliki beragam fungsi. Sehingga Radhar Panca Dahana perlu mengutip pernyataan dari Horatius-filosof Yunani Kuno-dalam bukunya "Kebenaran dan Dusta dalam Sastra" yang berujar bahwa sastra itu sejatinya dulce et utile (menyenangkan dan bermanfaat) dengan diiringi docere (memberi nikmat), andelectare (mengajar) dan movere (menggerakkan).

(Illustrated by: Pixabay.com)
(Illustrated by: Pixabay.com)
Pertemuan pengarang dan pembaca tidak saja dilakukan dalam alam ide tapi juga di alam realitas. Walaupun kadangkala pengarang sastra dengan hasil karyanya ada yang bersifat fiksi dan permainan imajinasi tapi ia tak dapat lepas dari situasi dan kondisi lingkungannya. Karenanya, walaupun bersifat sublim kadangkala sastra juga terkait dengan realita.

Bagaimanapun sastra tak dapat melepaskan diri dari multi tafsir dunia pengarang ke dalam bentuk cerita. Tafsiran pengarang adalah proses keyakinan yang berimajinasi dalam penubuhan realitas. Dan pengarang ditafsirkan menurut keyakinan pembacanya. Dari proses menafsirkan inilah terjadi perbedaan antara satu pengarang dengan pengarang lainnya. Esensi mengarang bukanlah pada panjang atau pendeknya sebuah karangan. Namun sejauh mana ia mampu memberikan pencerahan pada pembaca dan tersentuh kemanusiaannya.

Mimesis: Duplikasi Kata dari Realitas
Secara bahasa, kata "mimesis" memiliki dua pengertian mendasar (Muhammad Al Fayyadl, Derrida, 2005). Pertama, kehadiran yang menunjuk pada kemampuan sesuatu untuk menghadirkan, memproduksi, melahirkan, dan menampakkan dirinya dalam suatu bentuk citraan, kesan atau impresi. Artinya, ada proses dari peniru kepada yang ditiru.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun