Mohon tunggu...
Fajrin Bilontalo
Fajrin Bilontalo Mohon Tunggu... Mahasiswa Universitas Gorontalo

Manusia biasa aja

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Awal Tanda Bahaya: 'Berapa Gaji Pengurus Koperasi Merah Putih?'

6 Mei 2025   04:04 Diperbarui: 6 Mei 2025   04:04 2239
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber gambar: Beju/AI

(Opini) - Belum genap beberapa bulan sejak Koperasi Merah Putih resmi diluncurkan sebagai program unggulan pemerintahan pasca Presiden Jokowi, sejumlah dinamika mulai bermunculan. Salah satunya cukup mengusik: di beberapa daerah, pengurus koperasi yang baru terbentuk justru sibuk menanyakan gaji, sebelum membicarakan strategi pemberdayaan atau skema pelayanan kepada masyarakat.

Fenomena ini menyiratkan satu pertanyaan: apakah koperasi merah putih yang seharusnya menjadi wadah gotong royong justru akan terjebak dalam birokratisasi dan orientasi upah?

Padahal, ide awal pembentukan Koperasi Merah Putih sangatlah mulia. Ia digagas sebagai antitesis dari jeratan rentenir dan pinjol ilegal. Tujuannya sederhana: menghadirkan akses pembiayaan mikro yang adil, murah, dan dekat dengan rakyat kecil, terutama di desa-desa dan kelurahan. Dalam narasi Presiden Jokowi, koperasi ini bukan sekadar lembaga keuangan, tapi juga alat distribusi keadilan ekonomi.

Namun semangat kolektif itu bisa redup jika pengurus koperasi tidak memiliki orientasi sosial yang kuat. Di sejumlah daerah, laporan menyebut bahwa dalam rapat awal pembentukan koperasi, pertanyaan pertama yang muncul bukan soal teknis pelayanan, bukan juga soal kebutuhan warga, melainkan "berapa gaji pengurus per bulan?"

Ini bukan sekadar persoalan etika. Ini adalah cerminan bagaimana program kerakyatan yang ideal bisa melenceng sejak awal jika dikendalikan oleh logika formalistik tanpa kesadaran kolektif. Koperasi bukanlah BUMDes atau lembaga birokrasi yang pengelolaannya didorong oleh upah tetap. Dalam prinsip dasarnya, koperasi lahir dari, oleh, dan untuk anggota. Orientasi utamanya bukan gaji, tapi pelayanan dan kebermanfaatan.

Hal ini perlu disikapi secara serius oleh pemerintah pusat maupun daerah. Jangan sampai program nasional ini diserahkan begitu saja kepada struktur pengurus tanpa pembekalan nilai dan etika koperasi. Pemerintah harus membedakan antara profesionalisasi dan komersialisasi. Profesionalisme pengelolaan koperasi itu penting, tapi bukan berarti harus diiringi mental transaksional sejak awal.

Solusinya?

Pertama, penting dilakukan pelatihan nilai koperasi bagi para pengurus, bukan hanya pelatihan teknis. Etos pelayanan, transparansi, akuntabilitas, dan semangat kolektif harus ditanamkan sejak dini.

Kedua, insentif pengurus sebaiknya berbasis pada kinerja koperasi. Artinya, gaji atau honor bisa diberikan jika koperasi telah berjalan, menghasilkan SHU, dan memberikan dampak nyata bagi anggota. Skema ini bisa mencegah pengurus yang hanya ingin "mengisi jabatan", tanpa komitmen jangka panjang.

Ketiga, perlu adanya sistem pemantauan dan evaluasi independen, baik dari dinas koperasi maupun komunitas sipil, agar koperasi benar-benar berjalan sesuai dengan mandat awalnya. Koperasi harus menjadi tempat bertumbuhnya solidaritas ekonomi, bukan ladang baru mencari tunjangan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun