Pernikahan, kata orang, adalah surga kecil yang diturunkan ke bumi. Tapi, seperti surga yang katanya indah tapi tidak pernah benar-benar kita lihat, pernikahan pun sering kali hanya indah di dalam kepala dan feed di Instagram.
Kita tumbuh dengan dongeng-dongeng yang selalu berakhir dengan pernikahan. Katanya, "Dan mereka hidup bahagia selamanya." Padahal, narasi yang lebih jujur mungkin berbunyi begini: "Dan mereka mulai saling mengomel karena cucian piring tidak kunjung beres." Atau "sekedar nongkrong tapi baru menyalakan motor langsung disuruh pulang."
Saya bukan anti-cinta, bukan juga anggota Laskar Anti Menikah (meski kadang tergoda untuk begabung). Tapi saya percaya, bahwa cinta dan pernikahan adalah dua entitas yang, meski sering jalan bareng, kadang tidak sefrekuensi. Apalagi kalau sudah nonton film pendek Komang dan menonton ulang kisah Habibie dan Ainun, dua karya yang sama-sama sukses bikin kita menangis, tapi dari tempat yang sangat berbeda.
Komang, misalnya, adalah tentang kehilangan yang begitu pilu, padahal belum sempat memiliki sepenuhnya. Ia bicara tentang rasa cinta yang mengendap, tidak sempat tumpah. Sementara Habibie dan Ainun adalah tentang cinta yang sudah penuh, tumbuh, mengakar, dan ketika akhirnya hilang, yang tertinggal adalah lubang besar yang tak bisa ditambal dengan apapun, bahkan dengan jabatan presiden sekalipun.
Tapi, masalahnya, banyak dari kita yang terjebak. Kita ingin cinta seperti Habibie dan Ainun, tapi dengan energi dan estetika Komang. Kita mau pasangan yang setia, suportif, pinter, cakep, dan tahan banting ekonomi, sambil berharap hubungan itu bisa dikemas sinematik dan penuh soundtrack. Kita ingin pernikahan yang seperti film, padahal hidup tidak punya editor visual dan efek slow motion.
Pernikahan bukan scene romantis di pinggir pantai sambil pegang tangan. Pernikahan adalah ketika kalian saling ngambek karena salah satu lupa beli sabun mandi. Pernikahan bukan tentang seberapa hebat kalian mencintai, tapi seberapa kuat kalian bertahan saat cinta itu diuji dengan tagihan listrik, cicilan motor, atau suara dengkuran yang tidak bisa diredam.
Habibie mencintai Ainun dengan penuh, tapi cinta itu ditempa oleh perjuangan, tangis, bahkan pertengkaran yang tidak dijadikan konten. Mereka tidak hidup di era medsos, jadi mereka bisa fokus mencintai bukan memamerkan.Â
Dan Komang, ah, barangkali justru mengajarkan kita satu hal penting: bahwa tidak semua yang kita cintai harus kita miliki. Bahwa kehilangan bisa jadi bentuk cinta yang paling jujur.
Jadi, kalau kamu masih berharap pernikahanmu kelak akan seperti Komang yang puitis atau Habibie dan Ainun yang menggetarkan, ya boleh. Tapi jangan lupa: cinta tidak hidup di film. Ia hidup di dapur sempit, kamar sempit, dan rekening yang kadang saldo-nya juga sempit.
Dan mungkin, justru di situlah cinta paling nyata.