Pada tanggal 12 November 2022, saya dan seorang teman saya yang bernama Kodil, diminta oleh BEM UI untuk mengisi sebuah acara perhelatan seni “Stage Of Art” sebagai perwakilan dari kelompok taeter kami (Teater Patri), yang diselengarakan di Teater Besar, Taman Ismail Marzuki-Jakarta. Di Acara yang bertema “Ada Apa Dengan Ibu Pertiwi? ”, Kami mengisinya dengan materi pembacaan mantra dan puisi. Kami menyajikannya dalam bentuk sebuah pertunjukan pembacaan mantra dan puisi secara teatrikal yang diiringi suara khas dari alat musik tradisional karinding asal Jawa Barat, guna menambah kesan magis saat pementasan kala itu.
Rasanya agak tabu memang menggabungkan mantra dengan puisi dalam satu materi pertunjukan “but, that it's so cool!" menurut kami saat itu. Hehehe. Terlebih kami mementaskannya di sebuah tempat yang dimana banyak peristiwa kesusastraan besar terjadi di sana, maklum saja Teater Besar dan taman Ismail Marzuki jamak dikenal sebagai rumah sekaligus taman bermainnya para Sastrawan dan Seniman termasyhur negeri ini.
Bukan tanpa alasan kami memilih mantra dan puisi sebagai materi pertunjukan kala itu, mengingat bahwa acara tersebut temanya adalah “Ada apa dengan ibu Pertiwi?”. Secara harfiah mantra adalah bunyi, atau ucapan kata-kata yang dianggap mampu menciptakan perubahan secara spritual guna membebaskan diri dari ikatan samsara “penderitaan yang berulang-ulang” atau dunia fenomena ini, sedangkan puisi adalah suatu bentuk karya sastra yg diucapkan dengan segenap perasaan dan memiliki gagasan atau pikiran serta tanggapan terhadap suatu hal atau kejadian tertentu.
Jadi menurut hemat kami mantra dan puisi jika di gabung maka akan memiliki pengertian sebagai sebuah bentuk kata-kata indah yang di sampaikan dengan penuh perasaan dengan tujuan untuk membebaskan diri dari penderitaan-penderitaan yang tak berkesudahan akibat fenomena dunia saat ini, dan pementasan itu memang secara khusus kami persembahkan untuk Ibu Pertiwi pada saat ini.
Sebenarnya jauh sebelum kami membacakan puisi dan mantra di acara tersebut, ada seorang penyair besar yang di daulat sebagai “Presiden Penyair Indonesia” yaitu Sutardji Calzoum Bachri telah membuat karya puisi yang berjudul “Mantra”, berikut adalah puisinya:
Mantera
Oleh: Sutardji Calzoum Bahri
lima percik mawar
tujuh sayap merpati
sesayat langit perih
dicabik puncak gunung
sebelas duri sepi
dalam dupa rupa
tiga menyan luka
mengasapi duka
puah!
kau jadi Kau!
Kasihku
Karya tersebutlah yang pada akhirnya kami jadikan penutup dalam pentas kami, karya tersebut juga menjadi salah satu insipirasi kami untuk berani menampilkan kembali mantra ke khalayak umum sebagai bentuk sebuah pertunjukan.
Selain itu pula alasan kami lainnya adalah keinginan kami mengembalikan mantra kepada nilai-nilai luhurnya dikarenakan keresahan kami akan tenggelamnya pamor sastra-sastra tradisi yang menggunakan bahasa daerah, bahkan di kalangan penggiat sastra dan budaya itu sendiri, terlebih kepada mantra yang stigmanya sering kali dikaitkan dengan hal-hal yang bersifat supranatural yang menyesatkan.
Mantra memang dipercaya sebagai jalan untuk mampu berkomunikasi dengan dunia mistik. Namun hal seperti ini sebenarnya bukan sebagai suatu pembenaran untuk memusnahkan mantra begitu saja dari dunia kesusastraan kita. karena mantra sendiri sesungguhnya bukan sesuatu hal yang asing bagi masyarakat kita. Contoh misal: Saat umat muslim beribadah kepada Allah, mereka akan membaca atau melafalkan ayat-ayat suci yang sebenarnya banyak yang tak mereka pahami akan arti serta maknanya. Satu-satunya yang mereka pahami yaitu yakin akan ayat-ayat yang mereka bacakan itu miliki mukjizat bila dibaca. Artinya mereka percaya bahwa Bacaan mulia tersebut menyimpan kekuatan magis, kejadian itu sebenarnya mirip halnya dengan yang terjadi pada mantra, lantas kenapa pada kenyataannya mantra kian hari kian dilupakan, bahkan oleh para penggiat sastra. Masihkah pantas kita takut atau alergi terhadap mantra yang notabenenya sudah lebih dahulu ada dibanding dengan agama yang kita anut pada saat ini, yang jelas-jelas bukan sebagai bentuk dari budaya organik kita.
Dengan terlaksananya pentas tersebut saya berharap kepada dinas pendidikan dan kebudayaan agar lebih tergugah lagi dalam upayanya melestarikan karya-karya sastra tradisi termasuk mantra. Karena mantra merupakan sastra klasik yang hampir semuanya tidak tertulis secara baku dan tidak jelas sejarah penciptaanya, yang telah ada sejak zaman pra Hindu Budha. Seharusnya pihak-pihak terkait mengadakan kajian-kajian khusus mengenai sastra klasik tersebut, mengingat kurangnya sumber literasi terkini mengenai mantra dan sastra klasik tradisi yang sejenis dengannya. Dikhawatirkan jika tidak didata ulang dan dikaji kembali dengan serius maka kemungkinan terbesarnya adalah mantra-mantra tersebut akan punah dari dunia literasi kita, sebab budaya menuturkan sastra secara lisan guna mewariskan ke generasi penerusnya nampaknya sudah sangat jarang sekali ditemui keberadaannya di negeri ini. Sangat disayangkan bila sampai mantra-mantra yang sejak dahulu dirapalkan guna membebaskan Ibu Pertiwi dari berbagai penderitanya kini hilang ditelan zaman. Mirisnya, disaat yang sama para anak-anak zaman justru sedang sibuk-sibuknya memilah-milah kosakata asing untuk memperkaya perbendaharaan kata di KBBI edisi terbaru.