Mohon tunggu...
Fajar Billy Sandi
Fajar Billy Sandi Mohon Tunggu... karyawan swasta -

I'm a hidden king of rock and roll

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Artikel Utama

The Raid 2: Berandal, Masih Sesuai Ekspektasi?

26 Maret 2014   05:15 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:28 1634
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13957604051560138289

[caption id="attachment_317064" align="aligncenter" width="540" caption="Foto: Sony Pictures Classics"][/caption]

Directed by Gareth Evans

Starring: Iko Uwais, Arifin Putra, Cok Simbara, Tio Pakusadewo

Ekspektasi untuk film ini sudah terlampau tinggi. Apalagi saat press di luar sana dengan hiperbolanya berani mengklaim kalau The Raid 2: Berandal bisa disejajarkan dengan The Godfather maupun remake The Departed. Film dari lanjutan The Raid: Redempetion inimemang memiliki elemen vital dari dua film yang disebutkan di atas: mafia dan penyamaran polisi.

Film pertamanya secara mengejutkan mendapat sukses sekaligus cacian. Saya sempat mengulasnya di sini saat sedang tayang di iNAFFF 2011. Sukses karena The Raid: Redemption pada waktu bisa menghilangkan dahaga para pecinta film aksi dengan rangkaian adegan baku hantam yang fenomenal. Kasarnya silat bisa mencicipi manis di tingkat internasional. Cacian karena Gareth Evans, penulis sekaligus sutrdara film ini, agak melupakan cerita dan dialog sehingga membuat The Raid: Redemption seperti video game yang kaku. Ingat, kan, tulisan "pembelaan" yang dibuat mendiang Roger Ebert saat dirinya mengkritik habis-habisan film ini?

Hal-hal tadi akhirnya diperhitungkan matang-matang oleh Evans. Apalagi jika melihat ke belakang (yang bisa Anda cari sendiri informasinya di internet) kalau naskah asli The Raid 2: Berandal sudah ada jauh sebelum The Raid: Redemption jadi. Tanpa basa-basi, awal mula film langsung dimulai 2 jam setelah film pertamanya selesai. Matinya gembong narkoba buruan Rama (Uwais) beserta tim kepolisiannya bukanlah sebuah akhir, melainkan awal masuk untuk meringkus nama-nama yang lebih besar. Karena kejahatan yang lebih tamak ada di luar tembok gedung tempat dulu Tama (belum cukup pujian untuk Ray Sahetapy) memerintah. Saat ada dua kubu mafia, orang Indonesia dan orang Jepang, yang tengah menguasai Jakarta. Bunawar (Simbara) pun menawarkan Rama untuk menyusup ke jaringan mafia ini dengan jaminan keluarganya akan selamat. Untuk memulai, Rama harus mendekati Uco (Putra), anak semata wayang dari Bangun (Pakusadewo), yang jadi sasaran utama. Di penjara berlumpur itu, opera kekerasan yang menyangkut hidup dan mati ini dimulai.

Layaknya sebuah opera, The Raid 2: Berandal menggunakan kekerasan tadi sebagai nilai estetikanya. Nyanyian diganti dengan koreografi silat, yang highlight-nyamenyangkut baku hantam di dapur, kejar-kejaran mobil di jalanan Jakarta, dan cipratan darah yang kesemuanya tertata apik, baik itu urusan komposisi maupun warna-warni. Kesemuanya di saat bersamaan membias antara surealis dan realis. Anda bisa saja kaget melihat hujan salju di Jakarta. Sederhana memang, demi urusan dramatik dan nilai artistik tertentu selalu diperlukan jika menyangkut sebuah film. Sebab, Evans tahu betul filmnya ingin terlihat seperti apa, karena selain menulis dan menyutradarai, The Raid 2: Berandal juga ia edit sendiri. Lewat naskahnya pula, sutradara kelahrian Wales ini juga ingin me-redemp kritikan film pertamanya tadi dengan membawa elemen drama yang jauh lebih rumit, terutama soal hubungan ayah dan anak, yang didukung puluhan supporting cast yang begitu komikal.

Bisa dikatakan The Raid 2: Berandal merekrut hampir seluruh bintang film lokal baik yang senior maupun pendatang baru. Masing-masing kesemuanya punya alat dan caranya sendiri untuk "bicara" dengan gaya masing-masing. Sebut saja ada Eka (Oka Antara) dan Prakoso (Yayan "Mad Dog" Ruhiyan) yang merupakan kaki tangan Bangun, Bejo (Alex Abbad) mafia misterius dengan antek-antek ajaib macam Baseball Bat Man (Very Tri Yulisman), The Hammer Girl (Julie Estelle), The Assassin (Cecep Arif Rahman), hingga bos film porno bernama Topan (Epi Kusnandar).

Keseluruhan cerita di sini juga bukan soal baik dan buruk, tapi ada moral kompleks dari tokoh-tokohnya, terutama sosok Uco. Arifin Putra tiba-tiba keluar sebagai kejutan dalam film ini dengan memperlihatkan ketidaknyamanan diri Uco yang tidak bisa ia tolak. Tatapan si putra mahkota mafia ini bisa diinterpretasikan berbeda-beda, entah sebetulnya dirinya adalah sosok yang "sakit" atau memang hanya korban dirinya sendiri. Bahkan, beberapa shot bagi saya mengibaratkan adanya relasi homoerotik antara Uco dan Rama. Tapi perkara ini bisa saja Anda tolak.

Sedangkan Rama, polisi yang juga jago silat ini, sayangnya terlalu dibuat superhuman oleh Evanssehingga meninggalkan sosok humanis yang ada di film yang terdahulu yang ditampilkan oleh Iko Uwais. Jangan salahkan kalau sepanjang satu jam terakhir, efek bermain video game dengan tingkatan level masih terasa di film ini.

The Raid 2: Berandal bisa membuktikan kalau sequel bisa terlihat lebih terarah, lebih dahsyat, lebih besar, dan (boleh dibilang) lebih baik dari film pertamanya. Meski Anda tidak bisa mengelak kalau pemilihan kata-kata bahasa Indonesia untuk dialog di film ini masih saja terasa kaku. Entah apa yang salah dengan bahasa kita ini. Tapi semuanya bisa terobati saat Anda keluar bioskop dengan diiringi musik latar dari Trent Reznor dan Atticus Finch. Durasi 148 menit pun menjadi terasa pendek. Tandanya, ekspektasi saya (dan mungkin juga Anda) sudah terpenuhi. Coba tonton sendiri tanggal 28 Maret 2014 mendatang. (FBS)

Rate: B+

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun