Mohon tunggu...
Fajar
Fajar Mohon Tunggu... Supir - PEZIARAH DI BUMI PINJAMAN

menulis jika ada waktu luang

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kesaksian Para Tokoh Lintas Agama atas Toleransi di Flores

27 September 2012   01:11 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:37 1371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Dalam rangka mengisi perayaan Yubeleum Keuskupan Ruteng, Manggarai, Flores, NTT seluruh tokoh lintas agama berdialog bersama tadi malam (Rabu, 26/09/2012). Dialog antaragama yang dihadiri sekitar 200-an tokoh lintas agama ini difasilitasi langsung oleh Wakil Bupati Manggarai Tengah, Bapak Kamelus Dheno. Kapasitas beliau selain sebagai wakil bupati juga merangkap sebagai Ketua Panitia Perayaan Yubeleum Agung Keuskupan, tingkat Kevikepan Ruteng. Dialog ini berlangsung mulai pukul 19.00-22.00 bertempat di Aula Asumpta, Paroki Katedral Kristus Raja Ruteng.

Dalam sambutan pembukaan sekaligus pengantar pertemuan ini, Kamelus Dheno selaku wakil bupati dan ketua panitia penyelenggara menjelaskan dasar pentingnya terus dikembangkannya dialog antar agama. Beliau membuka sambutannya ini dengan memaparkan kenyataan pluralitas yang hidup di Manggarai pada skala mikro dan Indonesia pada skala makro. Menurut Kamelus, Indonesia dan Kabupaten Manggarai tidak bisa dilepaskan dari kenyataan pluralitas baik budaya, suku, warna kulit, maupun agama. Kenyataan yang plural ini bak pisau bermata dua: bisa menjadi produktif karena menjadi sebuah kekayaan dalam membangun Manggarai dan Indonesia, tetapi bisa juga menjadi kontraproduktif jika hanya dilihat sebagai ancaman akan eksitensi diri entitas tertentu. Karena itu, lebih lanjut menurut Kamelus, dialog dari hati ke hati antar agama penting untuk mencapai toleransi sejati. Terorisme yang muncul di negara ini, menurut mantan dosen tersebut dilatarbelakangi oleh ketidakmampuan bangsa ini mengelolah toleransi karena perbedaan. Karena tidak mampu mengelolah toleransi maka, muncul sikap intoleransi yang berlanjut dengan sikap ekstremis yang terus dibiarkan. Sikap ekstremis baik kanan maupun kiri ini, kemudian terwujud secara radikal dalam tindakan terorisme yang memang anti sistem dan kemapanan. Di akhir sambutannya, Pak Dheno Kamelus sekali lagi menggarisbawahi pentingnya membangun sikap toleransi antarpemeluk agama. Untuk itulah, maka pertemuan ini dilaksanakan dengan mengundang seluruh tokoh agama.

Tampil sebagai pembicara utama adalah seorang imam misionaris kebangsaan Polandia, Pastor Stef yang telah 46 tahun berkarya di Keuskupan Ruteng, seorang tokoh sepuh dari Gereja Katolik yang merupakan saksi separuh perjalanan Gereja Katolik Manggarai, Haji Amir yang adalah ketua MUI Kabupaten Manggarai, Pak Gede yang merupakan pimpinan komunitas Hindu-Bali di Kabupaten Manggarai, dan seorang tokoh dari Gereja Kristen Protestan.

Sebagai pembicara pertama, Pastor Stef SVD memaparkan situasi masyarakat Manggarai di era 60-an ketika ia datang sampai dengan situasi terkini. Ia memaparkan aneka kemajuan yang dialami masyarakat Manggarai. Di era 60-an, akses ke berbagai tempat di Kabupaten Manggarai sangat sulit. Sarana Transportasi utama adalah Kuda untuk menembus medan-medan pegunungan yang sulit. Selain itu, Gereja Katolik harus bekerja keras menangani bidang pendidikan dan kesehatan serta membantu pembangunan infrastruktur untuk masyarakat Manggarai. Saat ini, karya-karya di bidang kesehatan dan pendidikan telah sebagian besar diambil alih dan dilanjutkan oleh pihak pemerintah. Ini menandakan kemajuan karena Gereja Katolik bisa lebih fokus dengan hal-hal yang bersifat spiritual atau rohani. Namun, bukan berarti Gereja Katolik lepas tangan dengan karya-karya di bidang kesehatan dan pendidikan. Gereja masih terus terlibat dalam kedua hal ini tetapi dalam semangat kerja sama dengan PEMDA setempat. Dari segi iman, Pastor Stef sebagai seorang Imam senior  juga mengingatkan kepada Hirarki Keuskupan Manggarai agar lebih serius dalam memperhatikan moralitas Kristiani terutama dalam kaitannya dengan kebijakan pemerintah terkait Keluaga Berencana Buatan dengan segala macam produk kotrasepsi yang jelas-jelas bertentangan dengan keyakinan moral yang dianut Gereja Katolik. Ini menjadi catatan penting misionaris asal Polandia ini sebelum mengakhiri pembicaraannya yang disambut tepuk tangan membahan seluruh peserta dialog.

Bapak Damianus, selaku tokoh awam senior Gereja Katolik Manggarai tampil sebagai pembicara kedua. Banyak hal yang disampaikan oleh beliau terkait perkembangan Gereja Katolik Manggarai mulai dari Kepemipinan Uskup Van Bekum, Vitalis Jebarus, Eduardus Sangsun, sampai dengan era kepemimpinan Uskup Hubertus Leteng saat ini. Satu hal yang diberi tekanan utama dalam pemaparannya adalah soal kenyataan pluralitas keyakinan yang telah ada di Manggarai sejak awal mula. Menurut sejarahnya, pada zaman dahulu pemerintahan Manggarai dibagi ke dalam 45 Hamente atau Kedaluan yang dipimpin oleh seorang yang disebut Dalu. Dari 48 Hamente ini, 13 di antaranya dipimpin oleh seorang Dalu yang beragama Islam. Dengan demikian, sesungguhnya ada 13 wilayah kedaluan di Manggarai ini yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Kenyataan hingga saat ini membuktikan bahwa belum pernah terjadi konflik antar penganut Islam dengan penganut Katolik yang adalah mayoritas karena menguasai 35 wilayah kedaluan. Dengan demikian, beliau menyimpulkan bahwa sesungguhnya toleransi antarumat beragama telah berurat berakar dan menjadi sebuah kebudayaan bagi segenap masyarakat Manggarai. Dialog ini dan dialog selanjutnya hanyalah upaya pendalaman saja.

Haji Amir, seorang perantauan dari tanah Ambon yang telah menjadi warga Manggarai selama 55 tahun tampil sebagai pembicara ketiga. Beliau mengisahkan kembali bagaimana suasana persaudaraan yang dialaminya selama 55 tahun hidup di Manggarai. Dia membenarkan apa yang disampaikan oleh Pak Damianus sebelumnya. Menurutnya, sejak zaman dahulu hingga saat ini, umat muslim Manggarai sungguh-sungguh diayomi oleh umat Katolik yang adalah mayoritas di Manggarai. Karena itu, di akhir sambutannya, ketua MUI Kabupaten Manggarai mengungkapkan apresiasinya yang mendalam atas toloransi yang telah ditunjukkan oleh mayoritas umat Katolik Manggarai sejak zaman dahulu hingga saat ini dan berharap agar semangat toleransi ini terus dibina dan dipupuk sebagai kekayaan utama dalam membangun Kabupaten Manggarai.

Sebagai pembicara keempat, Pak Gede yang sekaligus kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Manggarai mengungangkapkan bagaimana sejak awal masuknya Agama Hindu di Manggarai pada tahun 80-an sungguh diterima dengan baik oleh mayoritas umat Katolik Manggarai. Bahkan umat Katolik Manggarai menghibahkan tanah dan memberi bantuan untuk pembangunan Pura bagi umat Hindu di Manggarai yang akhirnya diresmikan secara langsung oleh mantan pimpinan tertinggi Gereja Katolik Keuskupan Manggarai Uskup Eduardus Sangsun, SVD pada tahun 1985. Beliau menuturkan bahwa awalnya ia takut dengan wajah sangar orang Manggarai, namun langsung jatuh cinta dengan sifat orang Manggarai yang terbuka atas perbendaan keyakinan. Sehingga ia pun menikahi gadis Manggarai tanpa harus menjadi seorang Katolik. Beliau pun mengungkapan apresiasi kepada para tokoh Katolik Manggarai yang menangani sekolah-sekolah terutama bagi para suster biarawati yang tetap membiarkan anak-anak Hindu tetap memeluk agamanya meskipun bersekolah di Sekolah-sekolah yang umumnya masih ditangani oleh para biarawan-biarawati.

Seorang tokoh Kristen Protestan yang berasal dari Ambon menjadi pembicara terakhir yang juga mengapresiasi toleransi yang ditunjukkan oleh Gereja Katolik Manggarai sejak semula. Mereka mengalami bahwa para pimpinan dan umat Gereja Katolik Manggarai yang adalah mayoritas penduduk di wilayah Manggarai sangat toleran dengan semua keyakinan yang ada di bumi Manggarai tercinta. Bahkan beliau memberi kesaksian bahwa pihak keuskupan selalu melibatkan teman-teman Protestan dalam aneka kegiatan Gereja Katolik tanpa melihat perbedaan sebagai halangan utama dan mendasar. Di akhir sambutannya, tokoh Gereja Protestan yang saya lupa catat namanya ini, memberikan apresiasi mendalam atas semua yang telah mereka alami dan rasakan.

Demikianlah kurang lebih yang bisa saya catat dari pertemuan tokoh lintas agama dalam rangka mengisi perayaan Yubileum Agung Gereja Katolik Keuskupan Ruteng pada malam yang lalu. Kesaksian-kesaksian yang mencerminkan suasana toleransi antar umat beragama di Keuskupan Ruteng ini menjadi salah satu motivasi bagi Gereja Katolik untuk semakin hari semakin menjadikan bumi Manggarai-Flores ini sebagai tanah terjanji yang memberi rasa aman dan damai bagi siapapun yang memiliki kayakinan apa pun.

Selamat Menyambut Perayaan Yubileum Agung bagi Umat  Katolik Keuskupan Ruteng. Semoga semangat toleransi yang telah berurat berakar dalam sejarah peradaban Manggarai tidak dirong-rong oleh aneka kepentingan pada masa kini dan yang akan datang. Maju terus kerukunan antarumat beragama di Manggarai dan teruslah menjadi teladan bahwa toleransi akan bisa terlaksana jika ada keterbukaan hati untuk melihat perbedaan sebagai sebuah kekayaan/modal untuk membangun bangsa.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun