Mohon tunggu...
Fajar
Fajar Mohon Tunggu... Supir - PEZIARAH DI BUMI PINJAMAN

menulis jika ada waktu luang

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Mari Jumpai Allah dalam Tubuh Sesama

6 Oktober 2012   05:54 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:11 921
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13494247231015981410

[caption id="attachment_202682" align="aligncenter" width="604" caption="Salah Satu Lukisan Michelangelo di Kapel Sistina-Vatikan (Sumber Ilustrasi: oilpainting-frame.com)"][/caption]

Hanya manusialah yang diciptakan dengan tujuan pada dirinya sendiri. Hal ini berbeda dengan tumbuhan, hewan dan benda-benda baik di langit maupun di atas bumi yang dijadikan oleh logos (Sabda/kata) yang ke luar dari Sang Pencipta. Parade kisah penciptaan memperlihatkan bahwa segala yang ada yang diciptakan sebelum manusia diciptakan dengan tujuan memenuhi kebutuhan manusia, menjadi sumber kehidupan bagi makhluk puncak yang menjadi Mahakarya Sang Maesto, Sang Seniman Agung. Baru setelah semuanya tersedia, manusia, pria dan wanita diciptakan melalui dinamika proses yang berbeda dengan penciptaan sebelumnya. Manusia, lelaki dan perempuan diciptakan pada puncak karya penciptaan sebagai mahkota penciptaan. Sebagai puncak/mahkota, ia adalah makhluk sempurna karena kepadanya dianugerahkan nafas, nefes, ruah, atau roh, nur, dan jiwa untuk bersatu secara mempribadi dengan Sang Penciptanya. Nefes, roh, jiwa ini akan meninggalkan tubuh untuk kembali bersatu dengan Sang Penciptanya ketika manusia dinyatakan wafat. Namun kematian bukanlah akhir, karena nefes, roh, nur, atau jiwa tetap abadi, meskipun tidak semua orang meyakini akan adanya kehidupan setelah kematian.

Dinamika proses penciptaan yang berbeda ini tampak dari proses penciptaan yang bertahap. Sang Seniman Agung hanya cukup berkata-kata, mengeluarkan logos, untuk menjadikan segala sesuatu dalam keteraturan: antara terang-gelap, antara air di atas dan di bawah bumi, antara benda penerang besar dan kecil, antara siang dan malam, antara penghuni darat, air, dan udara. Semuanya mengalir tanpa henti: Dia bersabda, maka terjadilah demikian. Namun, semuanya menjadi terhenti ketika Sang Maestro ingin menciptakan manusia. Ia merasa bahwa tidak cukup Ia menciptkan Mahakarya-Nya hanya dengan bersabda saja. Ia seolah diam sejenak melihat diri-Nya sendiri sesuai/segambar/serupa tapi tetap taksama persis dengan yang ada pada-Nya: Baiklah kita menjadikan manusia menurut GAMBAR dan RUPA KITA. Setelah bercermin pada diri-Nya sendiri sejenak, Ia kemudian menciptakan manusia menurut GAMBARNYA, laki-laki dan perempuan diciptakanya Dia. Wow, Indah dan mengagumkan!

Sejelek apa pun lelaki dan perempuan ketika MENYADARI DIRINYA CITRA/GAMBAR/RUPA Allah, Sang Maestro Agung, ia tidak akan minder, malu, atau tidak percaya diri. Demikianpun ketika manusia memandang yang lain sebagai GAMBAR/RUPA/CITRA DIRI Sang Pencipta, maka dia tidak akan memperlakukan mereka secara sewenang-wenang, apalagi menjadikan sesamanya hanya sekedar objek alias tidak memperlakukan mereka sebagai pribadi yang mempunyai tujuan pada dirinya sendiri. Manusia tidak akan dijadikan sekedar alat, sarana, barang, sama seperti ciptaan yang lainnya yang memang diciptakan untuk melayani kebutuhan hidup manusia.

Demikian pun dengan tubuh manusia. Tubuh laki-laki dan perempuan merupakan tanda pengejawantahan, bukti real bahwa manusia, lelaki dan perempuan adalah gambar dan citra Sang Pencipta. Karena hanya dengan tubuh dan melalui tubuh, maka CITRA DIRI SANG MAESTRO bisa tampak, terlihat, dan teraba yaitu yang ilahi, yang spiritual, atau yang rohani. Ketika Sang Seniman Agung memandang tubuh lelaki dan tubuh perempuan, Ia memandang diriNya sendiri di dalamnya. Di dalam tubuh lelaki dan perempuan, orang dapat memandang dan berjumpa dengan Sang Pencipta sendiri. Maka tubuh manusia dapat berbicara secara lantang tentang Allah, Sang Penciptan-Nya yang citra diri-Nya menjadi tampak melalui media tubuh manusia. Dalam arti ini, tubuh manusia bisa menjadi logos (kata/ilmu/sabda) tentang theos (Allah, Sang Penciptanya). Karena itu, tubuh manusia sesungguhnya menjadi Bahasa Allah Mengungkapkan Diri-Nya kepada manusia satu dengan yang lainnya. Sehingga tidak salah jika berbicara tentang teologi tubuh karena tubuh manusia adalah teologi dalam arti tertentu.

Krisis yang dialami manusia dewasa ini adalah materialisme murni yang melihat segala sesuatu termasuk tubuh manusia hanya bersifat materi semata, tanpa nefes, ruah, roh, atau yang spritual. Ketidakpekaan dan ketidakpedulian manusia kepada kenyataan spirtual, rohani, dan kejiwaan dari segala sesuatu termasuk tubuh manusia membuat manusia sulit memahami bahwa dalam tubuh manusia Allah hadir dan berdiam. Dalam kenyataan tubuh lelaki dan perempuan, yang spritual memanifestasikan diri-Nya sendiri. Karena itu, tubuh manusia, pria dan wanita adalah sakral, suci, tempat berdiamnya Yang Kudus. Ketika manusia memperlakukan tubuhnya sendiri dan tubuh sesamanya tidak sebagaimana mestinya, maka yang terjadi adalah proses desakralisasi atas tubuh.

Demikianpun Sang Mastro memperlengkapi tubuh lelaki dan perempuan dengan seksualitas yang juga menjadi penampakan citra diri-Nya. Karena itu, seks adalah sakral dan tidak bisa asal diumbar. Seks antara laki-laki dan perempuan mengandung ketiga unsur yang takterpisahkan: unsur persatuan yang mendalam dan taktercaikan (unitif), unsur saling memberi secara utuh tanpa reservasi, serta terkait penciptaan kembali makhluk yang baru sebagai simbol ambil bagian dalam karya penciptaan Sang Pencipta. Seks di luar suami istri sah jelas menciderai ketiga unsur sakral dari seks. Karena itu, pornografi tidak akan ada bila tidak ada manusia yang bersedia menjadi “objek,” dan tidak ada manusia yang mau menjadikan manusia lain sebagai “objek.” Pornografi tidak pernah bisa menjadi sekolah untuk belajar lebih mencintai antara suami dan isteri. Pornografi adalah sekolah untuk melatih diri menjadi ahli dalam memperlakukan tubuh orang lain sebagai objek. Demikianpun revolusi seksual bukanlah pembebasan, melainkan perbudakan. Dengan prinsip bebas melakukan seks dengan siapa saja, kapan saja, di mana saja, manusia direndahkan ke tingkat binatang (animalia). Inilah yang disebut dengan desakralisasi atas tubuh dan seksualitas manusia. Manusia menjadi sulit berjumpa Allah, Sang Pencipta, Sang Seniman Agung, Sang Ada, Beeing di dalam tubuhnya sendiri apalagi dalam tubuh sesamanya.        -Bersambung-

Salam Kampretos Mampir Juga  Gan di Serial Sebelumnya: Saya Telah Melihat Tubuh Artis Itu Pornografi karena Kebingungan Arti Tubuh Seni atau Porno Tergantung Isi Otakmu Bro

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun