Mohon tunggu...
Analisis

Agama sebagai Alat Politik

30 September 2018   23:35 Diperbarui: 2 Oktober 2018   21:18 2283
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Analisis Cerita Pemilih. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Oleh:Fajar Apriliyanto*

Pemilihan Presiden 2019 yang tinggal beberapa bulan lagi, tepatnya pada tanggal 17 April 2019. Dimana akan di pertemukan kembali antara kubu petahana Ir. H. Joko Widodo dengan kubu perlawaan H. Prabowo Subianto dalam merebut kursi kepemimpinan RI 1, dimana pada Pilpres 2014 dimenangkan oleh Ir. H. Joko Widodo dan Dr. Drs. H. Muhammad Jusuf Kalla. Pada Pilpres kali ini dimana kubu petahana mengusulkan Presdien Ir. H. Joko Widodo untuk naik kembali mempertahankan kursi kepemimpinan RI 1, dalam strateginya kubu petahana menunjuk Prof. Dr K.H. Ma'ruf Amin sebagai cawapres, sebagai ketua umum Majelis Ulama Indonesia (MUI) dan juga sebagai salah satu pengurus Nadatul Ulama (NU).

Kampanye Pilpres 2019 mempertaruhkan segalanya. Dimulai keterlibatan ulama dianggap memiliki nilai strategis yang mampu mendongkrak suara. Segala macam cara dilakukan untuk merubut hati seluruh kalangan masyarakat Indonesia  salah satunya dengan menyertakan isu SARA di dalam kampanye-nya.  Kubu Prabwo menggunakan Ijtima Ulama sedangkan kubu Joko Widodo tidak tanggung tanggung mengusung KH. Ma'ruf Amin dalam strategi politiknya. Dapat di simpulkan bawah dari ke dua kubu tersebut mengincar dan menargetkan kaum Islam sebagai pendukung terbanyak dari masing-masing kubu capres-cawapres.

Dimana kaum Islam di Negara Indonesia ini sangatlah banyak dan merupakan salah satu umat muslim terbesar di dunia. Perang pendapat pun tak terhindarkan dimana KH. Ma'ruf Amin mempertanyakan ke Ulama-an peserta Ijtima Ulama. Dan banyak bertanya-tanya tentang siapakah yang pantas disebut dengan ulama. Karena bagi masyarakat Indonesia yang mayoritas islam, ulama adalah panutan dan suri tauladan, dan juga merupakan  jabatan yang sakral. Dengan pernyataan di atas politik di Indonesia sekarang sering melibatkan isu SARA didalamnya contoh kasus pada Pilkada Jakarta dimana mantan gubernur Jakarta yaitu Basuki Tjahaja Purnama atau sering di panggil Ahok ini terkena sekandal kasus penistaan agama saat dirinya memberikan pidato kunjungan kerja di  Pulau Pramuka, Kepulauan Seribu. Puncaknya terjadinya aksi demontrasi besar-besaran yang kita kenal dengan aksi 212.

Disisi lain momentum ini di manfaatkan oleh pasangan Anies-Sandiaga untuk memperoleh hak suara terbanyak terbukti dalam putaran ke dua Pilkada Jakarta 2017 pasangan ini memperoleh suara terbanyak mengalahkan Ahok-Jarot dalam memperebutkan kursi orang nomor satu di DKI Jakarta. Hal ini sangat merugikan pasangan Ahok-Jarot dalam Pilkada kali ini. Dapat dikatakan bahwa isu SARA sangat besar dampak-nya dalam dunia politik di tanah air  selain merupakan strategi ampuh untuk menundukan lawan berpolitiknya dalam mencari simpatisan masyarakat. Selain kasus di Ahok ada kasus terbaru dimana kubu petahana melakukan kesalahan di mana kita tahu Ma'ruf Amin sebagai tokoh ulama yang terpandang dimana ia joget dua jari bersama penyanyi dangdut Sandrina.

Ini tidak mencerminkan tokoh ulama yang sangat di hormati oleh umat muslim di Indonesia. Banyak oknum-oknum tidak bertanggung jawab dimana menjadikan berita ini sebagai provokasi untuk menjatuhkan kubu petahana Joko Widodo. Dalam hal ini menunjukan situasi politik Indonesia yang semakin memanas, juga semakin di perparah keadaan ekonomi Indonesia yang sedang terpuruk dimana nilai tukar mata uang rupiah mengalami penurunan mencapai Rp 15.000 per Dolar Amerika Serikat. Masyarakat beranggapan bahwa di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo sudah gagal dalam menaikan sektor ekonomi di Indonesia .

Banyak masyarakat yang kontra akan hal tersebut karena di nilai kurang etis sebagai seorang Kiyai tidak sedikit juga masyarakat yang pro dengan hal ini menganggap itu adalah hal biasa dan munculnya hastag #2019gantipresiden, juga #jokowi2Preode. Sehingga suasana politik Indonesia saat ini menimbulkan rasa intoleransi antar sesama dan kurangnya rasa nasionalisme. Pendukung dari dua kubu saling melemparkan pujian capres-cawapres yang mereka dukung sehingga tak terhindarkan aksi saling menjatuhkan antara pendukung petahana  Joko Widodo dengan kubu perlawanan Prabowo Subianto, padahal ke harmonisan dari pasangan ke dua capres-cawapres tak perlu di ragukan lagi karena mereka sadar bahwa tujuan bangsa Indonesia lebih penting dibandingkan dengan tujuan individu.

Diluar hal itu kita merupakan negara yang memiliki banyak suku, ras,  dan agama. Untuk menjadi sebuah Negara yang menjunjung tinggi persatuan, kita harus bisa menyatukan segala perbedaan yang ada. Para pelaku isu SARA seharusnya dikenai pasal yang tertera pada UU No 40 tahun 2008 sudah di sebutkan tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis atau dikenal dengan UU Anti-diskriminasi dalam menindak penyebaran kebencian berdasar SARA apa bila politik memakai Sara sebagai alat berpolitk maka akan dikenakan Hukum Pidana (KUHP) pasal 156, pasal 156a dan pasal 157 tentang mengatur soal penyebaran kebencian dalam dimensi SARA.

Sesuai dengan semboyan kita yaitu Bhineka Tunggal Ika, juga pada pancasila sebagai dasar negara kita yang tertera pada Sila ke-3 berbunyi "Persatuan Indonesia" maka dari itu kita sebagai masyarakat Indonesia harus menjunjung tinggi rasa toleransi beragama, suku, ras, juga bahasa. Serta memiliki rasa naisonalisme yang tinggi, seperti Adolf Hitler yang mempunyai rasa nasionalisme tinggi juga memiliki rasa tanggung jawab yang tinggi untuk memakmurkan negara Jerman yang pada saat itu terkena krisis ekonomi. Terlepas dari hal-hal yang berbau Pilpres 2019 kita sebagai warga negara harus memeriahkan pesta demokrasi terutama untuk generasi muda dimana kaum pemuda merupakan penghuni indonesia terbanyak sekitar 65 juta orang. Juga harus selektif lagi dalam memilih berita agar terhindar dari isu-isu yang tidak benar. Masyarakat juga harus tau bahwasannya Agama bukan alat untuk berpolitik melainkan pedoman atau kaidah untuk berpolitik.

*Penulis adalah mahasiswa matakuliah Ilmu Politik semester 1 jurusan Ilmu Komunikasi FISIP UNTIRTA (Universitas Sultan Ageng Tirtayasa)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun