Mohon tunggu...
Fajar Meihadi
Fajar Meihadi Mohon Tunggu... Dosen - اقرأ

Belajar melukis dengan kata

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Menakar Relasi Agama dan Sains

27 Agustus 2021   15:22 Diperbarui: 28 Agustus 2021   12:23 388
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Lantas apakah Islam akan sama nasibnya seperti agama di Barat? yang ditinggalkan pemeluknya dan lebih memilih sains modern.

Jika melihat pada konteks kasus di Barat, dimana agama ditinggalkan karena bertentangan dengan akal dan fakta empiris, maka Islam sesunguhnya menjadi agama yang "layak" untuk dianut, karena Islam adalah "agama rasional" (baca Harun Nasution dalam bukunya Islam Rasional dan Nidhal Guessoum dengan judul Islam dan Sains Modern).

Jika di era modern masyarakat Barat mempertentangkan relasi agama dan sains karena tidak adanya titik temu, lain dalam dunia Islam, pada abad pertengahan hubungan keduanya telah "dipertontonkan" dengan sangat harmonis. Pencapaian Ibn Rusyd (di Barat dikenal Averroes) yang sangatlah revolusioner disertai dengan semangat modernitas, ia telah menghasilkan pemahaman sempurna antara hubungan prinsip-prinsip agama dengan kerja intelektual.

Petunjuk-petunjuk ajaran Islam yang rasional jauh melampaui zamannya. Ketika pentunjuk dalam Islam tidak dapat dipahami, boleh jadi -kata Afif Muhammad- perkembangan ilmu pengetahuan belum terlalu pesat, dan seiring dengan cepatnya perkembangan ilmu pengetahuan, satu demi satu kebenaran yang diabadikan dalam al-Quran terungkap.

Semisal informasi yang disampaikan dalam al-Quran tentang laut yang bertemu, satu laut tawar dan yang satu lagi asin. Lalu mufassir menafsirkan bahwa yang dimaksud dengan laut tawar adalah sungai, dan muara adalah tempat pertemuan kedua laut itu. Rasa air sungai yang tawar ditafsirkan sebagai laut tawar yang dimaksud dalam al-Quran, padahal laut pasti bukan sungai.

Penafsiran yang dulu dianggap kurang tepat, diperbaiki oleh penafsiran ilmu pengetahuan modern. Pada awal abad ke-21 baru ditemukan terdapat dua laut yang bertemu tetapi tidak menyatu, maka dalam konteks ini perlu 1400 tahun untuk membuktikan kebenaran informasi dalam al-Quran.

Tetapi ketika seorang muslim dihadapkan pada situasi dimana yang terlihat tampak seolah bertentangan (kontradiksi) dengan teks yang diwahyukan berdasarkan penyimpulan akal atau filsafat (atau yang belakangan dikenal dengan sains), maka - dalam argumentasi Ibn Rusyd- teks (agama) harus dipahami secara "alegoris" dan harus ditafsirkan oleh orang-orang yang berkeyakinan bahwa teks agama "berakar pada pengetahuan".

Fakta lain yang menguatkan bahwa al-Quran sejalan konsisten dengan ilmu pengetahuan diungkapkan oleh seorang Dokter ahli bedah berkebangsaan Prancis,  Maurice Bucaille, yang semula menganut paham ateisme tetapi kekagumannya pada Islam setelah mengkaji al-Quran memutuskan masuk Islam -meskipun dalam literatur lain, belum bisa dipastikan apakah Maurice Bucaille memuluk Islam atau tidak-   dan menulis buku La Bible, le Coran, et la Science (Bibel, al-Quran, dan Sains).

Bucaille mengatakan bahwa al-Quran berisi fakta-fakta ilmiah yang benar dan konsisten dengan ilmu pengetahuan, sedangkan Perjanjian Baru tidak. Pandangan Bucaille telah melahirkan sebuah gerakan yang disebut "Bucaillisme", yaitu gerakan yang menghubungkan ilmu pengetahuan dengan agama, khususnya Islam.

Gerakan semacam ini masih berlanjut hingga sekarang dengan istilah yang lebih variatif, seperti islamisasi ilmu -sebagai catatan: kuntowijoyo lebih sepakat dengan gerakan "pengilmuan Islam" dan melakukan kritik atas gerakan "Islamisasi pengetahuan"-, integrasi keilmuan, dan wahyu memandu ilmu. Nidhal Guessoum menyebut yang memiliki semangat yang sama dengan gerakan bucaillisme merupakan bagian dari kelompok penganut I'jaz.

Sampai disini kita dapat mengetahui bahwa Islam adalah agama yang layak dijadikan pedoman hidup, karena ajarannya tidak berlawanan dengan ilmu pengetahuan dan realitas kehidupan, meskipun Islam bukanlah pola pikir modern yang cenderung materialistik, tetapi Islam menggunakan tolok ukur kebenaran wahyu, rasionalisme, dan empirisme sejauh tidak bertentangan dengan kaidah-kaidah kebenaran dari al-Quran dan hadis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun