Mohon tunggu...
Fajar Meihadi
Fajar Meihadi Mohon Tunggu... Dosen - اقرأ

Belajar melukis dengan kata

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Menakar Relasi Agama dan Sains

27 Agustus 2021   15:22 Diperbarui: 28 Agustus 2021   12:23 388
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Oleh: Fajar Meihadi

Pada kehidupan masa kini menggunakan pola pikir Barat (rationalism) sudah menjadi lifestyle, seseorang dipandang "gaul" dan modern manakala memiliki pola pikir semacam itu. Tentu paham rasionalisme memiliki manfaat pada kasus tertentu, tetapi disaat yang sama juga memiliki kelemahan. Hal demikian amat sangat wajar mengingat paham ini bukanlah sebuah "wahyu" yang kebenarannya jelas absolut.

Dalam babakan sejarah, paham rasionalisme merupakan pandangan hidup manusia yang -kala itu- lahir atas ketidakpuasannya pada paham humanisme dan mitos, meraka berkeyakinan bahwa manusia dan alam dapat diatur menggunakan rasio. Pada perkembangannya rasio digunakan dengan "segila mungkin" sehingga mencapai titik kesimpulan argumentasi bahwa gerak sama dengan diam, dan hidup sama dengan mati.

Semakin digunakannya rasio semakin ditemukan kelemahan argumentasi itu, secara logika sebagian membantah bahwa dua pernyataan yang berlainan mana mungkin dapat benar keduanya. Pada titik inilah lahir paham empirisme yang dijadikan pandangan hidup, dimana sesuatu dianggap benar manakala terbukti secara empiris.

Paham rasionalisme melakukan bantahan balik terhadap kebenaran yang diukur secara empiris, "jika di malam hari terdapat bulan dan bintang yang terlihat amat kecil itu hanyalah bias, karena yang sebenarnya bulan dan bintang tidak seukuran yang terlihat oleh kasatmata. Sampai disini tolok ukur kebenaran ditentukan oleh paham rasionalisme dan empirisme.

Kemudian muncul paham baru yang menggabungkan keduanya (rasionalisme dan empirisme) hingga paham ini kita kenal sebagai metodologi ilmiah, dimana sesuatu dianggap benar manakala logis (diterima akal) dan didukung oleh fakta (empirisme), yang dalam filsafat ilmu rumusan ini disempurnakan menjadi logico-hyphotetico-verificative.

Tolok ukur kebenaran inilah (logis-empiris) yang kemudian berkembang di dunia Barat dan dikenal dengan istilah sains. Keilmuan yang dihasilkan menggunakan kebenaran sains telah menjadi pandangan dan pedoman hidup, khusunya dikalangan masyarakat Barat. Ketika kebenaran agama dan sains saling bertentangan, mereka akan segera memihak pada sains, karena ajaran agama dinilai dogmatis, sehingga kebenarannya layak ditangguhkan bahkan ditolak.

Sebagai contoh, ketika agama mengatakan bahwa pusat peredaran pelanet adalah bumi, sedangkan Copernicus (mewakili sains) berpendapat pusat peredaran adalah matahari (heliosentrisme), maka masyarakat Barat lebih memilih kebenaran sains. Pada kasus lain, ketika kitab suci mengatakan adanya konsep dosa warisan, Jhon Lock justru berpendapat bahwa manusia dilahirkan dalam keadaan suci (kosep tabula rasa).

Pada gilirannya fenomena semacam ini telah menyuburkan sikap ketidakpercayaan pada agama, lambat-laun masyarakat Barat meningggalkan agama dan lebih memilih kebenaran sains. Pada titik inilah lahir paham sekularisme, agama dipandang sebagai urusan pribadi dengan Tuhannya dan tidak perlu masuk dalam kehidupan sosial atau ruang publik.

Semakin menguatnya ketidakpercayaan pada agama, paham atiesme-pun menjamur dengan subur dikalangan masyarakat Barat, kata Andre Comte-Sponville dalam karyanya Spirituality without God, manusia dalam menjalani kehidupannya tidak selalu membutuhkan Tuhan atas dasar pertimbangan logika, meski demikian manusia akan tetap bisa berbuat baik, memiliki cinta, dan berperilaku etis.

Tentu fenomena ini bukanlah sesuatu yang mengejutkan jika merujuk pada pernyataan Friedrich Wilhelm Nietzsche pada abad ke-19 dengan lantang mengatakan bahwa "tuhan telah mati", dan Karl Marx mengucapkan "agama adalah candu". Seorang filologis, filusuf, dan sejarawan Suria, Zaki al-Arsuzi, tersohor dari sejak kecil karena sudah hafal al-Quran, kelak beranjak dewasa alam pikirannya dipengaruhi oleh Karl Marx, Friedrich Wilhelm Nietzsche, dan lain- lain, sehingga memutuskan untuk menjadi seorang ateis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun