Mohon tunggu...
Pendidikan

Anak Bisa Depresi Karena Terlalu Banyak Belajar

15 April 2019   22:56 Diperbarui: 15 April 2019   23:25 71
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan Karakter

Problema keluarga tentang orangtua yang terlalu memaksakan anaknya mengikuti berbagai les tambahan masih banyak terjadi di perkotaan. Sejak masih duduk di sekolah dasar (SD), anak-anak zaman sekarang sudah dijejali dengan seabrek kegiatan ekstrakulikuler di samping tekanan untuk mendapatkan nilai bagus dari mata pelajaran di sekolah.

kisah nyata yang mengisahkan seorang anak yang depresi karena terlalu dipaksa untuk belajar. Cerita ini  dikutip dari laman akun Facebook Esther Liem

"Umur 2,5 tahun, Dino (nama samaran) anakku, mulai aku sekolahkan di sebuah sekolah unggulan. Rutinitasnya setiap pagi tidak lagi bergelayut manja di lenganku, tapi ribet dengan urusan persiapan sekolah. Tak jarang, Dino berangkat mandi masih terhuyung dalam kantuknya. Sering saat berangkat ke sekolahnya di mobil dia kembali tertidur. Namun aku mengabaikan perilaku ini, karena aku yakin suatu saat akan berubah seiring bertambahnya umur. Dan lagi, saat bermain dengan teman-temannya Dino terlihat gembira.

Dino termasuk anak pintar, di umur 3.5 tahun sudah mampu berhitung angka sampai bilangan 100, menghafal kata-kata dalam bahasa Inggris, bernyanyi dalam bahasa Inggris yang memang menjadi bahasa utama di sekolahnya. Siapa orang tua yang tidak bangga? Saat berkumpul dengan teman atau keluarga besar, Dino selalu mengundang decak kagum. Pun, postinganku di media sosial, penuh dengan pujian.

Tepat di usia 6 tahun 2 bulan, Dino masuk Sekolah Dasar. Selain kegiatan sekolah, hari-hari Dino diisi dengan bermacam les semua mata pelajaran, berenang, dan bermain musik. Dino patuh sekali mengikuti jadwal yang aku buat. Pada penerimaan rapor semester pertama-nya, semakin aku dibuat kagum dengan hasilnya yang sangat baik. Apalagi saat guru-nya mengatakan bahwa Dino adalah siswa unggulan di kelasnya.

Petaka dimulai saat liburan. Dino tidak mau bangun dari tidurnya. Matanya sayu dan tidak bercahaya. Badannya lemas, tapi tidak panas, Dino pun tidak mampu menjelaskan apa yang terjadi di tubuhnya. Singkat cerita keadaan ini berlangsung hampir 2 minggu, semua dokter ahli bahkan profesor punya berbagai diagnosa namun selalu meleset saat dihadapkan pada hasil test darah dan test lainnya.

Di tengah kebingungan kami, seorang teman menyarankan membawa Dino ke seorang psikolog. Saran yang pada awalnya membuatku emosi karena seolah-olah menganggap Dino sebagai anak yang sakit mental. Untunglah suami saat itu kekeuh memaksa mencoba cara ini.

Di ruang "curhat" psikolog, Dino hanya bicara berdua saja. Kami menunggu di ruang lain. Hampir 2 jam kami menunggu sampai akhirnya giliran kami tiba. Dino yang diijinkan menunggu di ruangan yang sama, namun dengan jarak yang membuatnya tidak bisa mendengar pembicaraan kami, dibuat sibuk oleh si psikolog dengan buku warna.

Bagai guntur di siang bolong saat kami mendengar penjelasan psikolog itu. Dino mengalami kelelahan mental, namun dia tidak mampu mengungkapkan. Jadwal aktifitasnya yang bertubi-tubi sejak pertama kali dia sekolah (yang berarti 3.5 tahun lalu) adalah penyebabnya. Dino tidak menikmati aktifitasnya, tapi dia berusaha menurut untuk menyenangkan kami (sungguh ini menusuk hati kami).

Kami pulang dan sama-sama terdiam. Air mataku meluncur tidak tertahankan. Bagaimana bisa aku merusak mental anakku selama ini, bahkan malah menganggap itu sebagai proses kebaikan untuknya.

Sampai di rumah, Dino langsung masuk ke kamarnya, sementara kami berembuk, memutuskan apa yang harus kami lakukan. Pertama yang kami lakukan malam itu adalah meminta maaf pada Dino. Selama ini kami benar-benar mengabaikan hak-nya. Selanjutnya kami memutuskan mengurangi dengan sangat drastis jam-jam les Dino. Hanya mempertahankan apa yang Dino mau yaitu les musik saja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun