Mohon tunggu...
Faiz Dawami
Faiz Dawami Mohon Tunggu... Full Time Blogger - gitu aja.

'faux naif'

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Misteri Hidup

22 Februari 2020   05:56 Diperbarui: 22 Februari 2020   05:55 289
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by Nik Shuliahin on Unsplash 

Dihari yang panas ini, aku mulai merajut lebih dalam lagi kegagalanku. Entah ini disebut apa, yang jelas semua ini semakin membuatku sakit layaknya tubuh yang diterjang oleh ribuan anak panah. Aku bukan seorang anak konglomerat ataupun pengusaha, tapi kuakui keluargaku memiliki cukup banyak harta untuk menjajaki kehidupan selanjutnya, namun semenjak ayahku meninggal, perekonomian keluargaku mulai mengkhawatirkan.  

Akupun sadar sebagai lelaki satu-satunya di keluarga karena ayahku telah meninggal beberapa tahun yang lalu, aku harus berjuang untuk menjadi  pemimpin dikeluarga. Aku tahu bahwa Ibuku yang adalah seorang janda sudah sangat lelah menjalani hidup ini, dan ia pun amat sangat mengharapkan kedatanganku sebagai pemenang.

Saat ini aku kuliah di salah satu perguruan tinggi, namun entah kenapa aku sangat membenci keadaanku yang sekarang. kuliahpun tak pernah kujalani, dan entah apa aktifitasku selama ini, seolah-olah hari-hariku terlewatkan begitu saja karena kurasa bukan ditempat ini aku harus berkelana untuk menggapai mimpiku.

Namun aku masih memiliki ketakutan untuk mengambil jalan lain karena mungkin jalan itu bersifat spekulasi sehingga aku takut gagal untuk merain semuanya, dan mengakibatkan kehancuran dalam kuliahku. Aku sadar atas kesalahanku, dan aku mengerti betapa kecewanya ibuku. tetapi ragaku seakan beku dan tak bisa berbuat apa-apa.

Hatiku sangat sakit menyadari semua ini, dan aku merasa semua orang semakin menjauh entah kemana. Aku seperti orang buta yang tak bisa menemukan rumahku sendiri, ya aku memang tak bisa menemukan kehidupanku sendiri. Gelisahku semakin tak menentu,  padahal aku tak menyentuh sedikitpun barang-barang haram itu.

Mungkin memang pilihanku sendiri untuk menghancurkan hidupku dan harapan ibuku yang sebenarnya sangat tak kuinginkan.

Aku seperti berada di dalam lubang sempit dan gelap yang diiringi dengan musik-musik bernada minor, hanya ada secerca cahaya  diatas sana, dan terlihat orang-orang berlalu begitu saja dengan senyum dan kebanggaan yang mereka bawa dari wajah mereka, sedangkan yang lainnya  ada beberapa yang tertawa terbahak-bahak melihat keadaanku, beberapa menggelengkan kepalanya melihat kebodohanku diiringi rasa prihatin yang dapat kulihat dari tatapan matanya, dan sedikit orang meneriakiku untuk bangkit dan menuju dunia terang.

Namun disaat itu, yang kubisa hanya mengamati mereka semua dan aku tidak bisa berfikir, seolah-seolah aku menolak setiap respon mereka.

Namun sebenarnya aku masih memiliki setitik harapan yang mulai pudar dalam diriku, entah harapan untuk apa dan tentang apa.

Aku masih memiliki keyakinan bahwa aku dapat memberi kebahagiaan pada ibuku, namun entah bagaimana caranya dan akupun masih bertanya-bertanya, itu sebuah keyakinan atau hanya harapan belaka. Hatiku terus menjerit, namun arah sangatlah rumit, untuk saat ini aku belum dapat menemukannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun