Dalam hal ini Epictetus memberi pandangannya tentang bagaiamana cara menyikapi harta benda, kecantikan, popularitas, dan sebagainya (Preferred Indifferent) dengan menganalogikan hal tersebut dengan permainan sepak bola. Epictetus melihat semua hal itu (Preferred Indifferent) bagaikan "bola" dalam "permainan bola" kehidupan.Â
Bola sangat penting dalam permainan sepak bola, tetapi para pemain sepak bola lebih mementingkan cara meng-handle bola tersebut dibandingkan bola itu sendiri. Kita bisa menyimpulkan bahwa para pemain bola yang andal melakukan suatu hal yang mirip dengan bagaimana seseorang meng-handle atau menangani kekayaan. Bukan bolanya (kekayaan) yang dianggap berharga oleh mereka, tetapi yang dinilai adalah seberapa mahir mereka menggiring dan menendang bola itu.
Secara lebih jelas lagi analogi tersebut merupakan gambaran tentang bagaimana seharusnya menyikapi harta benda, jabatan, kecantikan, popularitas (serta Preferred Indifferent lainnya). Semua hal tersebut harus kita anggap sebagai "bola" yang harus dimainkan dengan baik, tetapi bukan untuk direbut dan dipeluk terus-menerus. Ingat, dalam "permainan bola", cara kita bermain jauh lebih penting dan berharga daripada si bola itu sendiri.
Revolusi Mental Sambat
Sedikit pandangan Epictetus tersebut mengenai bagaimana kita menyikapi dan memperlakukan harta benda, jabatan, popularitas, dan sebagainya (Preferred Indifferent), seharusnya bisa dijadikan sebagai bahan renungan ketika kita sambat dengan tumpukan pekerjaan, ruwetnya tugas akhir, naik turunnya bisnis, atau tidak mujurnya kisah asmara.Â
Ketika hal-hal yang tidak enak itu sedang menimpa, kita harus sadar bahwa yang lebih penting adalah bagaimana "cara kita bermain" dan tetap berjuang untuk mencapai titik keberhasilan atau mencetak gol. Sedangkan kemerosotan, ketertundaan, kesusahan, kegelisahan, dan lain sebagainya kita niatkan sebagai "laku prihatin" sebagai suatu proses yang memang harus dilewati ketika kita menginginkan kesuksesan dan kebahagiaan.Â
Dengan memperlakukan dan menyikapi kesusahan dan penderitaan hidup seperti itu, setidaknya kita telah merevolusi mental sambat menjadi laku prihatin. Hal ini sepertinya terlihat sederhana, tetapi setidaknya kita memiliki mindset baru dalam menyikapi kesusahan dan penderitaan hidup selain "sambat", yaitu sedang memasuki laku prihatin.