Mohon tunggu...
Faisol  rizal
Faisol rizal Mohon Tunggu... Freelancer - akademisi, penulis lepas

Berbahagia dengan Membaca, Berbagi dengan Menulis

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Belajar dari Epictetus, Merevolusi Mental Sambat Menjadi Laku Prihatin

28 Agustus 2020   09:51 Diperbarui: 28 Agustus 2020   09:39 320
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pekerjaan dari atasan yang menumpuk, tugas akhir yang tak kunjung mendapat acceptance dari pembimbing, rintisan usaha yang tak kunjung menunjukkan peningkatan, hingga masalah asmara yang belum jelas arahnya, merupakan sedikit hal dari sekian banyak hal yang bisa menjadi pintu masuk seseorang untuk meluapkan kekesalan, keputusasaan, kekecewaan, serta kegundahannya dalam bentuk sambat (keluhan). 

Sambat bisa diartikan sebagai bentuk ekpresi diri yang menunjukkan ketidaksukaan atau ketidakpuasan terhadap sesuatu yang diterima oleh seseorang. Untuk mengekspresikan ketidaksukaan dan ketidakpuasan tersebut, seseorang bisa mengaduh kepada orang-orang yang ada disekelilingnya. 

Ditambah lagi dengan adanya internet sebagai suatu jaringan komunikasi yang mampu menghubungkan satu media elektronik dengan media yang lainnya, lalu kemudian didukung dengan munculnya berbagai aplikasi-aplikasi untuk membangun hubungan pertemanan dengan cakupan yang sangat luas yang berbentuk media jejaring sosial, membuat kita semakin bebas dan gampang untuk mengekspresikan sambat. Media-media sosial mulai dari Facebook, Twitter, hingga Instagram, dapat dijadikan alat untuk bersambat ria dengan ciri khas masing-masing.

Laku Prihatin
Lantas, bagaimana seseorang seharusnya menyikapi semua warna-warni kehidupan yang sedang dihadapi? Serta bagaimana merubah mental sambat menjadi energi untuk laku prihatin? Jika kita dekati peristiwa tersebut dengan pendekatan Jawa tradisional, maka kita bisa mendalami semua itu sebagai suatu konsep prihatin. 

Orang-orang tua di Jawa khususnya, dari dulu mewariskan ilmu hidup tentang laku prihatin, yaitu laku hidup yang harus dijalani ketika sesorang ingin bahagia, sukses, jaya, kaya, dan berpangkat, maka terlebih dahulu kita harus mau prihatin. Laku prihatin tersebut berarti bahwa seseorang "sengaja" memasuki kesusahan atau penderitaan tertentu.

Konsep prihatin tersebut sepertinya masih relevan untuk dijalani, apalagi pada era digital dan media sosial seperti sekarang dimana seolah-olah sambat sudah menjadi budaya. Tak jarang, tak juga sedikit media sosial kita dipenuhi dengan "sambatan-sambatan". 

Kalau memang "sambatan-sambatan" di media sosial tersebut merupakan ungkapan dari penderitaan dan kesusahan maka laku prihatin seseorang di era saat ini sepertinya tak perlu dengan "menyengaja" memasuki kesusahan atau penderitaan tertentu, karena "sambatan-sambatan" tersebut sudah mencerminkan bahwa hidup yang dijalani butuh perjuangan lebih. 

Hal yang perlu dilakukan adalah merevolusi sambat tersebut menjadi kesadaran untuk menjadi laku prihatin serta memaknai penderitaan dan kesusahan hidup sebagai suatu proses untuk menuju kebahagiaan dan kesuksesan.

Epictetus dan Pemikirannya
Epictetus adalah seorang tokoh filsafat Stoikisme. Pemikirannya melalui mazhab filsafatnya banyak dijadikan rujukan para ahli dalam bidang etika, khususnya terkait etika moral. Bahwa manusia sanggup membatasi diri dari godaan-godaan nafsu duniawi, khususnya nafsu memiliki segala sesuatu. 

Terkait dengan budaya sambat yang lumayan cukup booming, beberapa pemikiran Epictetus cukup relevan untuk merevolusi mental sambat menjadi laku prihatin. Dalam filsafat Stoikisme terdapat istilah yang disebut Preferred Indifferent, yaitu suatu definisi untuk menyebut hal-hal yang sebenarnya tidak memiliki pengaruh, tetapi kalau hal tersebut ada (dimiliki) ya bagus seperti harta benda, jabatan, kecantikan, dan popularitas. 

Hal-hal ini digolongkan pada suatu hal yang pada dasarnya tidak berdampak (relatif) pada kebahagiaan atau karakter, tetapi jika ada tentunya lebih baik, apalagi kalau semua itu dapat bermanfaat lebih jika digunakan untuk kepentingan atau menolong orang lain.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun