Mohon tunggu...
Faisal yamin
Faisal yamin Mohon Tunggu... Nelayan - Belajar menulis

Seorang gelandangan pikir yang hobi baca tulisan orang

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Perempuan Hebat di Simpang Jalan

18 Oktober 2019   17:12 Diperbarui: 18 Oktober 2019   17:15 26
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tak pasti, atau juga tak ada keniscayaan, hanya nestapa menghampiri mereka para perempuan yang beradu di simpang jalan. Di pasar dengan meneteng bakul berisikan jualan. Rasanya sulit bagi mereka menuntut niscaya keadilan, sebab yang bermodal keadilan menyambut, mereka yang tak punya modal harus tergusur di persimpangan.

Mereka punya mimpi, mimpi merdeka tanpa modal. Tapi rasanya sulit untuk sekarang, sebab yang di pertarukan bukanlah nurani, melainkan modal, hingga mereka kian tersisih. Entah, sampai kapan menunggu waktu merdeka.

"Ah merdeka hanya bagi orang-orang yang bermodal" ujar perempuan yang sibuk merapihkan daganganya di sudut pasar.

Sebenarnya, ibu itu bisa memili lapak di bawa bangunan itu, pendapatanya lebih dari cukup. Tapi, menepati butuh modalnya besar untuk membayar lapak. Alhasil jika begitu, iya akan tak tercukupi, apalagi dibalik hasil dagangnya, sepuluh sisir pisang, satu karong umbi, lima ikat sayur ada harapan dan cita-cita tinggi tiga anak-anaknya.

Tidak hanya dia yang mengelar danganya ke jalanan. Sebelahnya juga terlihat ibu-ibu para musafir rupiah. Kira-kira ada lima belas orang lebih di situ.

"Pasar hanya dijadikan bisnis oleh mereka yang punya kuasa, para pemodal besar meringkus kami yang tak bermodal, akibatnya kami terlepar jauh dari mata-mata pelancong" ujar salah satu perempuan yang saban hari terlihat dengan anak kecilnya berjualan kapur siri, kayu manis di samping selokan tak beratap.

Anehnya, sekalipun mereka yang beradu di bawa kolong langit, matahari yang tembus kepala tapi saat datang penagihan mereka diharuskan pada nominal yang sama. Para pedangan di lapak bagus dalam bangunan dengan bak besar dan kursi empuk nan nyaman, para pedagang kecil di pojok pasar dan persimpangan jalan sama rata. Pemerataan hanya dapat di rasakan oleh mereka saat penagihan berlangsung.

"Tuan-tuan yang terhormat, apa kami tak punya kesempatan yang sama dengan mereka yang ada di lapak bagus?" Kalimat tanya yang dilemparkan oleh mereka yang tersisihkan suatu waktu

Tuan lalu, pergi tak bersuara. Hanya suara air dari jejak sepatu yang terkecibak meninggalkan puan membisu pada harapan hampa, beradu dengan ganasnya mengais rupiah.
***

Wajahnya kian menua, dengan garis yang mulai tanpak. Giginya satu persatu mulai lepas gusi. Dengan kain kira-kira selebar tiga centi yang jadi tutup kepala dengan rambut yang kian uban.

"Jika asa tak di gosok maka malas kian merajin" kalimat itulah menjadi semangat seorang ibu yang saban hari duduk di bibir jalan menawarkan daun panda ke pelacong yang lalu lalang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun