Mohon tunggu...
Faisal Ridho Sakti
Faisal Ridho Sakti Mohon Tunggu... Dokter - Dokter

Seorang Dokter yang terus belajar untuk kebermanfaatan umat. Instagram : @faisalsakti

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Misi Kemanusiaan di Negeri Angkor Wat, Kamboja

24 Februari 2020   21:38 Diperbarui: 24 Februari 2020   23:25 457
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aku dan beberapa tim kesehatan lainnya tidak beranjak dari tempat yang semula digunakan untuk sholat. Dibantu oleh adik tingkatku, Indira, ia mulai memeriksa tekanan darah pasien yang telah mengantri. Persiapan kami saat itu sangatlah kurang; kami lupa membawa kertas, spidol, dan gunting yang diperlukan dalam pemeriksaan kesehatan ini

Kertas yang akan digunakan untuk mendaftar akhirnya diambil dari sobekan buku catatan kecil milik Kak Niken, sedangkan spidol dan gunting kami meminjam dari warga lokal yang nantinya akan digunakan untuk memotong obat dan menandainya dengan spidol---terkait dengan petunjuk aturan minum obat.

Persiapan yang kurang ini cukup membuatku gelisah di awal kegiatan. Di saat yang sama, pasien pun semakin menumpuk sedangkan sistem alur pemeriksaan yang kami laksanakan masih belum beres.

Akhirnya kami meminta bantuan Azrina untuk segera mendata ibu-ibu yang sudah mengantre. Dibekali bahasa percakapan dasar ia mencatat nama dan usia pasien. Pasien yang sudah ditensi (red: diukur tekanan darahnya) langsung aku terima untuk dianamnesis, kemudian aku periksa, dan diberi selanjutnya diberikan terapi.

Awalnya aku sudah belajar kosakata dasar bahasa Khamer karena Pak Maher, penerjemah sekaligus pendamping kami, berkata bahwa orang Cham---bangsa kebanyakan penduduk muslim Kamboja, pasti bisa berbahasa Khamer. Sayangnya, tidak begitu keadaannya. "Cheu aeke?", tanyaku mengenai sakit yang dirasakan pasien menggunakan bahasa Khamer.

Harapanku pasien mengerti dan menyebutkan keluhannya yang sudah kuhafal sebelumnya, seperti: pusing, batuk, pilek, dan lain sebagainya. Raut wajah pasien malah tampak kebingungan dengan cara pengucapanku yang mungkin kurang tepat. Untung saja pak Maher segera menanggapi dan mencoba menerjemahkan kepadaku.

Satu pasien sudah membuatku pening karena kendala bahasa. Aku coba berkali-kali mengucapkan dengan pronunciation yang lebih baik namun kebanyakan warga muslim disini lebih paham menggunakan bahasa Cham. Aku belum ada persiapan sama sekali belajar bahasa Cham. Sembari Pak Maher menjelaskan kepada pasien edukasi kesehatan yang aku berikan, aku mencatat kosakata dasar bahasa Cham di sampul buku yang aku pegang dan jadikan alas untuk menulis resep.

Suasana semakin sibuk, antrean menumpuk di tempat pemeriksaan dokter, pasien-pasien tersebut sudah diukur tekanan darahnya oleh Indira. Satu pasien bisa memakan waktu hampir 15 menit karena kendala bahasa. Biasanya satu pasien aku periksa hanya membutuhkan waktu sekitar 7 menit. Terdapat 35 pasien yang kami periksa dalam program pelayanan kesehatan gratis ini.

Lima puluh persen pasien di kampung ini mengeluhkan gatal-gatal. Hal ini mungkin terjadi karena kurang baiknya sanitasi di sini. Warga terbiasa tidak menggunakan alas kaki.

Selain itu, air yang mereka gunakan adalah air sungai yang tidak dijamin kebersihannya. Warga kampung buang air kecil dan besar juga di sungai yang sama.

Aku sedikit tercengang karena wanita yang berusia empat tahun lebih muda dariku (sekitar 19-20 tahun) sedang mengandung. Ya, kebanyakan dari mereka menikah di usia cukup muda, di usia 16-19 tahun.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun