Mohon tunggu...
Faisal Haitsam
Faisal Haitsam Mohon Tunggu... Wiraswasta - Berpayah-payah menulis diatas batu, daripada musykil menggores diatas air.

Buku dan Kopi itu Jodoh. Sekaligus Candu.

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan

Dana Desa 'Impoten' Membendung Urbanisasi

5 Oktober 2022   19:56 Diperbarui: 5 Oktober 2022   21:57 150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Birokrasi. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/GARRY LOTULUNG

Sudah hampir setahun kami hidup di desa. Pasca menikah, kami 'berjudi' mengadu nasib dikampung agar dekat dengan orang tua. Namun godaan untuk kembali merasakan gemerlap kota metropolitan saban hari masih menari-nari difikaran.

Tidak menutup kemungkinan perasaan gamang yang saya alami, juga dirasakan banyak orang. Tak mudah hidup di desa dengan akses keterbatasan fasilitas, peluang dan informasi. Apalagi harus memulai meraba-raba peluang agar mampu survive.

Minimnya opsi pekerjaan di desa, membuat orang berduyun-duyun menerobos kerasnya kehidupan kota. Tak peduli ijazah dan latar belakang pendidikan. Bagi sebagian orang, merantau dikota menyisakan dua kemungkinan : sukses di perantauan atau tetap bertahan dalam 'kegagalan'. Euforia kehidupan kota adalah 'penyakit' sosial yang belum bisa diatasi oleh pemerintah. Kota adalah magnet menjajal peluang rezeki lebih luas.

Pertumbuhan urbanisasi di Indonesia 10 tahun terakhir terus mengalami peningkatan. Data Badan Pusat Statistik (BPS), Tahun 2020 sebanyak 56,7% penduduk indonesia tinggal diwilayah perkotaan. Sejalan dengan itu, Bank Dunia memprediksi 70% total populasi tanah air tahun 2045 akan tercatat sebagai warga metropolis.

Ledakan urbanisasi ini tak ayal semakin menyebabkan ketimpangan populasi di desa dan kota. Problem sosial dan ekonomi semakin menghantui. Wilayah urban akan dipenuhi centang-perenang pemukiman kumuh, kemacetan parah dan krimininalitas semakin melunjak. Di desa, produksi pangan bisa terancam akibat ditinggal usia produktifnya. Sumber Daya Manusia (SDM) potensialnya semakin berkurang, minggat jadi pemuja metropolitan.

Gejala ini bukan tidak disadari oleh pemerintah. Salah satu upaya meredam letupan urbanisasi lewat peningkatan infrastruktur di desa. Alokasi dana desa terus digenjot tiap tahunnya. Besarnya uang yang dikelola tiap desa baik dari pemerintah pusat maupun dari pemerintah daerah mencapai milyaran.

Namun, kucuran dana sebesar itu tidak serta-merta memikat masyarakat untuk tinggal membangun desanya. Pengelolaan anggaran masih kurang efektif menjawab kebutuhan dasar warga kampung yaitu kesejahteraan. Kenyataannya anggaran melimpah ke desa, tapi arus urbanisasi semakin tak terbendung. Adakah yang keliru dari pengelolaan dana desa kita?

Dalam forum musyawarah desa yang pernah saya hadiri, menurut hemat saya, ada yang keliru soal porsi budgeting. Anggaran pembangunan fisik-infrastrktur nilainya selalu jauh lebih besar dibandingkan pembangunan sumber daya manusianya. Dan porsi anggaran itu selalu berulang tiap tahun. Kemajuan desa selalu dinilai dari kemegahan infrastrukturnya.

Alih-alih dana tersebut habis untuk infrastruktur, jauh lebih bijak difokuskan untuk pembangunan manusianya. Desa sangat membutuhkan SDM berkualitas. Jika populasi SDM berkualitas terus meningkat, mereka inilah nantinya menjadi mercusuar pembangunan desa.

Dibidang pertanian, pemerintah kita tak pernah serius membangun sistem pertanian modern. Perwajahan pertanian kita secara umum masih tradisional. Sehingga populasi petani di desa didominasi orang tua. Dengan potret petani yang tiap hari mandi lumpur, rasanya sangat jauh dari profesi yang diidamkan anak muda. Jika ini tidak dibenahi, saya khawatir 10 -- 15 tahun kedepan anak cucu mereka tak akan ada yang rela mandi keringat menggantikan profesi moyangnya. Sehingga lebih memilih bertaruh nasib di Ibukota.

Bantuan Langsung Tunai Dana Desa (BLT-DD) sebenarnya ini program usang yang sudah harus dikaji ulang. Bayangkan porsi BLT nilainya 40% dari dana desa. Padahal angka kemiskinan ditiap desa bisa saja berbeda. Lantas jika kasus kemiskinannya minim, dapat dipastikan alokasi 40% tersebut akan salah sasaran. Akan banyak penerima manfaat semestinya tidak layak menerima, turut menikmati rente cash tunai tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun