Mohon tunggu...
faisal fahmi mrp
faisal fahmi mrp Mohon Tunggu... Relawan - Pemula bersahaja

Searching.......

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen | Menjadi Pengembara di Pinggir Telaga

2 Mei 2017   11:10 Diperbarui: 2 Mei 2017   11:23 366
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Menjadi Pengembara dipinggir telaga.

[caption caption="Rssing.com"][/caption]

Hari ini tepat jam 01.00 malam waktu Indonesia bagian barat, dimana banyak orang disekitar saya sedang asik terlelap tidur dikamarnya, eh malah saya asik menulis, tapi bukan masalah, lanjuuut.

Saya akan membahas tentang cerita seorang pengembara yang ingin berkelana jauh sampai dimana batas kemampuannya berkelana, dengan penuh upaya dan daya yang dia keluarkan agar pengembaraanya ini memberi hasil dan pelajaran yang baik buat dirinya.

Dipagi hari tepat pukul 2 malam, seorang lelaki berparas tinggi, putih, kurus, lusuh akan melarikan diri dari tempat pengasingannya, selama ini beliau dikenal dengan sosok yang penuh dengan kegembiraan ditempat ia diasingkan, bahkan tidak sedikit orang yang menyukai perangainya yang baik, tutur katanya yang santun, elok paras dan budinya membuat orang disekitarnya terpana akan kehadirannya, namun dibalik paras yang indah, dia tidak menyadari akan hal itu, maklum dia termasuk orang yang jarang bercermin dimasa itu.

Sunyi senyap waktu malam, suara jangkrikpun seakan menghantarnya untuk keluar dan pergi meninggalkan tempat itu, diambillah sebuah tempat perbekalan dengan memasukkan kain lusuh dan sepotong pakaian untuk dikenakannya dikala dia sedang berada jauh. Tidak ada yang tau maksud dia pergi untuk apa, bahkan dirinya sendiripun tidak tahu tujuan dia pergi melangkahkan kaki, yang difikirkannya hanya dia sendiri, dia tidak memikirkan orang lain, terlalu egois mungkin, tapi baginya hal itu merupakan kebebasan untuk mencari pelajaran alam.

Dia bergegas melarikan diri dengan langkah berirama cepat teratur, memandang kedepan lurus tanpa batas, tanpa melihat apa yang dia telusuri, bahaya atau tidak, buat dia tidak ada hal yang menakutkan selain kematian, dan tidak ada hal yang menyenangkan selain mendapat pelajaran hidup yang amat penting baginya dari pada koin emas. Dia terus berjalan dan berjalan tidak peduli gelap gulitanya malam yang menemani pelariannya, yang difikirkannya hanya jalan jalan dan terus berjalan sampai dia mendapatkan sebuah guru untuk mengajari kehidupan.

Matahari mulai menampakkan wujud dipagi hari, lelaki yang berkelana ini sempat memergoki datangnya matahari, dia melihat matahari dan memandanginya terus sampai kiblat pengembara ini tertuju kearah matahari yang telah hadir menggantikan malam untuk menemani perjalanannya, kemudian tidak berapa lama pengembara itu memilih untuk beristirahat, karena kaki yang gemetar sebagai pertanda bahwa ia sudah jauh berjalan dan harus segera mencari tempat untuk beristirahat, dilihat kekiri dan kekanan seakan mencari tempat berlindung memanjakan diri, kemudian dipilihnya sebuah pohon mahoni yang menjulang tinggi seperti baja, disandarkannya badan dan direbahkan tubuhnya seakan memeluk pohon itu, diletakkan kain perbekalan disamping tubuhnya yang bermandikan keringat, selang beberapa saat terpejamlah matanya pertanda dia sedang tidur akibat lelahnya perjalanan separuh malam.

Matahari melihatnya tertidur pulas sampai beberapa saat membangunkannya dengan sebersik sinar yang diselipkan dari balik daun mahoni seakan menyilaukan mata untuk membangunkan pengembara dan membuatnya tersadar dari tidur, pengembara itupun terbangun dan melihat disekelilingnya hutan yang begitu semak, bahkan matahari sudah sepenggalahan, nampaknya dia harus bergegas kembali.

Perut mulai memainkan suara untuk mengajak pengembara itu mencari makan sebagai modal untuk melanjutkan perjalanannya menelusuri belahan hutan, sang pengembara akhirnya memutuskan untuk mencari ikan karena terdengar ditelinganya percikan air yang deras yang letaknya dirasa tidak cukup jauh, dengan instingnya yang pintar diapun mengikuti panduan suara gemercak air itu untuk menuntun nya menemukan ikan yang ingin dicarinya sebagai pengganjal rongga perut yang kosong.

Tidak terasa lima menit dia berjalan, akhirnya ditemukann bentangan telaga yang cukup luas, air jernih sampai dia bisa bercermin di pinggiran telaga itu, bergegaslah kakinya untuk mendekati lebih dekat kepinggir telaga, sampainya dipinggir bibir telaga itu dia berfikir, seakan dia heran mengapa ada telaga dihutan ini, sebelumnya dia tidak pernah tahu ada bentangan air seluas ini, maklum karena dia berada di pengasingan sejak masih kecil, diapun merendam tangan dan kakinnya untuk menikmati sejuknya air telaga, sambil termenung memikirkan apa yang dilihatnya, maklum pemikiran pengembara ini memang cepat berkembang karena faktor kepiawaiannya memainkan pola tarian di otaknya.

Tidak membutuhkan waktu lama untuk berfikir mencari ikan, malah seekor ikan bermain-main didekatnya, ikan inilah yang membuatnya terpancing untuk menjalankan niatnya setelah bangun tadi, dilihat sekelilingnya ada patahan ranting runcing seakan memanggilnya untuk membuat mata tombak buat penangkap ikan, dan akhirnya tidak menunggu waktu lama pemuda tersebut pun mengambil beberapa ranting tersebut , jleb jleb jleb, sipemuda pengembara itu tidak berfikir panjang, sekali lempar 15 tusukan jatuh menghujam telaga , telaga pun berbuih bahkan ikan kecil berlarian, hari itu tidak satupun ikan yang dia dapatkan, sampai perutnya makin mengeluarkan suara yang berdenging ditelinga, untuk mengajaknya mempercepat gerakannya menancapkan ranting lebih banyak lagi dengan maksud agar ikan lebih cepat tertangkap.

Jleb seekor ikan terapung pecah kepalanya terkena tusukan ranting tersebut, senangnya bukan main ketika pemuda itu mendapatkan ikan yang dia habisi dengan tangannya sendiri, karena selama ini dia hanya bisa makan ikan atas pemberian orang disekitar tempat pengasingannya saja, tanpa tahu bagaimana cara mendapatkannya, dia hanya pernah melihat orang memasak ikan, maka dengan ingatannya itu dipangganglah ikan dengan bara api yang sudah dinyalakannya, dan akhirnya dengan makan ikan tersebut hilang pulalah bunyi diperutnya lapar pun enggan datang seketika.

Sepemuda pengembala itu berfikir bahwa untuk makan saja diperlukan usaha yang sangat luar biasa, itupun hanya mendapatkan seekor ikan saja, dari telaga inilah dia mulai belajar satu bagian dalam hidup untuk mencari makan dengan menggunakan sebuah tombak kayu saja, hari demi hari ia lewati hanya dipinggir telaga itu saja, tempat dia tidur makan dan mandi, tidak jarang dia juga mencuci pakaian yang hanya dua potong saja, karena cuma itu yang ia bawa dari tempat pengasingan.

Hari demi hari ia lewati dengan membuka jalan fikiran lainya sampai dia pun memutuskan untuk keliling telaga itu, tidak butuh waktu lama bagi dia untuk mengelilingi telaga itu, hanya 1 jam lebih dia sudah berkeliling telaga dan banyak mendapatkan pelajaran dari hasil dia berkeliling, salah satu pelajaran yang dapat dia petik ialah sejauh apapun dia mengitari telaga yang sama sekali belum dia ketahui, maka dia tetap saja kembali kepada satu titik itu lagi, dimana dirinya semula berada.

Dilihat sekelilingnya, bahkan dia jenuh makan ikan dari perut telaga itu saja, sampai suatu hari saat dia duduk di bibir telaga itu dia melihat ada seekor ikan yang tidak seperti biasa yang ia makan, diapun memutuskan untuk menangkap ikan itu kembali dengan tombak tajamnya, maklum saja ikan itu berwarna emas yang menarik perhatiannya, karena saat berada di tempat pengasingan , sesuatu yang berwarna emas itu sangat mahal harganya.

Disiapkan beberapa anak tombak untuk memburu kawanan ikan berwarna keemasan itu, tidak butuh waktu lama juga, karena sudah terbiasa dan akhirnya, jleb , seekor ikan berwarna emas timbul dan diangkat dengan luka parah di kepala terkena tombak pemuda itu, buntut ikan itu masih menggelepak-lepak saat menghembuskan nafas terakhirnya, pemuda itu berfikir bahwa yang berwarna emas itu bukan seperti yang dilihat sebelumnya, namun yang berwarna emas kali ini adalah binatang sama seperti yang dimakannya setiap hari , sama saja itu ikan . dari sini dia semakin banyak belajar bahwa untuk tinggal disebuah telaga pun dia harus banyak belajar, bahkan tidak cukup setahun untuk menyelami telaga itu untuk melihat isi perut telaga, hari demi hari dihabiskan waktu dengan berkeliling telaga yang kini sudah menjadi tempat tinggal sementaranya.

Terpujilah dikau pengembara telaga yang berada di bibir telaga mengitari setiap hari dengan penuh kesetiaan , dengan penuh harapan bahwa dia tidak sendiri saat pelariannya, dia ditemani jenis ikan yang berbeda yang banyak mengajarkannya arti kehidupan.

Dari sini kita belajar, dari sini kita awali, dan akan kesini kita kembali dan menghembuskan nafas terakhir, ikan adalah guru, telaga adalah sekolah baginya yang sadar.

Medan, 1 mei 2017

Faisal Fahmi Marpaung

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun