[caption id="attachment_289362" align="aligncenter" width="585" caption="Ilustrasi/ Admin (shutterstock)"][/caption] Menteri Perindustrian MS Hidayat mengatakan rakyat kecil harus diberikan kesempatan untuk bisa membeli mobil murah (lihat http://kom.ps/AF1nnn). Apa kriteria murah? Bukankah murah karena bebas Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM)? Bukankah murah karena cc-nya kecil? Bagaimana dengan ramah lingkungan? Apa karena irit bensin? Bukankah irit karena cc-nya kecil? Julukan low cost green car (LCGC) atau mobil murah ramah lingkungan saja sudah cenderung menyesatkan. LCGC beda dengan mobil hybrid yang diproduksi di Thailand yang sudah pasti jauh lebih ramah lingkungan. Bukan juga mobil listrik yang dipelopori oleh Meneg BUMN, Dahlan Iskan. Kementerian Perindustrian merekomendasikan LCGC menggunakan BBM non subsidi. Namun, karena sifatnya imbauan, pihaknya tidak bisa memaksa pemilik kendaraan menggunakan Pertamax. "Kalau di jalan saya tidak paksa pemilik kendaraan beralih dari premium," kata Budi. Lihat http://www.kemenperin.go.id/artikel/5289. Beda lagi dengan Menteri Keuangan yang mengatakan mobil murah sudah dirancang sedemikian rupa tidak menggunakan BBM bersubsidi (lihat http://de.tk/vg2ml). Mercedes Benz saja banyak yang pakai BBM bersubsidi. Maka sangat mudah mengakali LCGC pakai BBM bersubsidi. Kalau LCGC dilarang pakai BBM bersubsidi, mengapa tak ada sanksi bagi mobil yang lebih mewah jika pakai BBM bersubsidi? Bukankah menurut Menperin LCGC ditujukan untuk rakyat kecil dan menengah? Kenapa rakyat kecil tak boleh menikmati subsidi BBM? Kita mendukung pengembangan industri, apalagi yang ramah lingkungan dan memberikan efek berganda (multiplier effect) yang besar bagi perekonomian. Misalnya mobil itu meningkatkan nilai tambah di dalam negeri yang sehingga menghemat devisa. Katakanlah, jika mobil itu senilai 100, maka 70 mengalir di dalam negeri, bukan sebaliknya lebih banyak yang mengalir ke luar negeri. Jadi, jangan semata-mata menggunakan kriteria kandungan lokal yang semua, misalnya sebagian besar komponen diproduksi di dalam negeri, tetapi komponen tersebut tidak signifikan dari nilainya dan hanya hasil perakitan semata. Niscaya program pemerintah akan memperoleh dukungan luas kalau yang dihasilkan adalah transportasi yang dibutuhkan rakyat banyak. Mulailah dengan bajaj ramah lingkungan atau bus untuk transportasi umum atau transportasi yang menopang pembangunan pedesaan dan kota-kota di luar Jawa. Hasilnya bisa dibeli oleh pemerintah pusat dan pemerintah daerah untuk mendukung transportasi umum. Tak diperlukan teknologi yang canggih untuk produksi bajaj ramah lingkungan. Pemerintah tinggal menyediakan stasiun pengisian bahan bakar gas. Dana bebas PPnBM yang pasti triliunan rupiah bakal cukup untuk menggerakkan industri otomotif secara proper dan pro-rakyat. Kebijakan yang tidak cermat memang niscaya menimbulkan kontroversi luas.